Konten dari Pengguna

Pilihan Kita Bukan Lokdon Bung

Sigit Pramono
Pelaku dan Pemerhati Pariwisata
22 Maret 2020 10:30 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Pramono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wilayah yang sepi usai ditetapkan lockdown. Foto: REUTERS / Remo Casilli
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wilayah yang sepi usai ditetapkan lockdown. Foto: REUTERS / Remo Casilli
ADVERTISEMENT
Pada judul di atas, saya sengaja menulis sebuah istilah dari kata Bahasa Inggris "lockdown" sesuai bunyinya, bukan karena tidak bisa mengejanya dengan benar. Saya mengajak Anda semua menggunakan kata "lokdon," karena istilah itu sudah terlanjur terkenal. Sebaiknya kita pungut saja istilah ini ke dalam kosa kata baru Bahasa Indonesia menjadi "lokdon".
ADVERTISEMENT
Istilah lokdon ini tiba-tiba menjadi sering diucapkan orang di seluruh dunia bersama dengan kata "Corona". Dua kata ini barangkali kata yang paling banyak ditulis dan diucapkan manusia di muka bumi akhir-akhir ini.
Tanpa bermaksud untuk merendahkan atau melecehkan, tukang listrik saya yang asli dari daerah Songgon, Banyuwangi, yang namanya Pak Sakerah, paham arti kata lokdon.
Pak Sakerah beberapa hari yang lalu dengan cara halus menolak ketika saya tugaskan ke Semarang, dengan alasan karena Semarang sedang dilokdon, katanya. Meskipun kita tahu kenyataannya bahwa tidak benar Semarang dilokdon, saya tidak berani memaksa dia berangkat ke Semarang.
Tetapi ada yang menarik di sini. Di zaman yang sangat maju di sektor komunikasi dan pemakaian media sosial ini, seorang Sakerah yang tinggalnya di desa Songgon yang terkenal dengan durennya yang enak, yang jarak tempuhnya 2 jam naik sepeda motor dari kota Banyuwangi, ternyata tahu artinya "lokdon". Sekurang-kurangnya dia paham intinya bahwa jika ada kota atau daerah yang dilokdon, maka orang dari luar kota itu tidak boleh masuk, dan orang yang sudah berada di dalam kota itu tidak boleh ke luar.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai pertimbangan, dari mulai aspek politik, sosial, budaya dan yang terutama pertimbangan ekonomi, pemerintah kita sudah menetapkan bahwa untuk menangani wabah virus Corona ini tidak dilakukan dengan cara lokdon. Tidak dengan cara menutup atau mengisolasi negara, daerah atau kota di Indonesia. Pilihan Pemerintah Indonesia adalah mirip dengan cara yang dipilih Korea Selatan, yaitu melakukan pengetesan massal yang cepat untuk mendeteksi orang yang terkena Covid-19. Singkatnya pilihan Pemerintah adalah tes cepat Covid 19 secara massal
Jadi jangan diperdebatkan atau ditafsirkan lagi.
Negeri kita tidak dilokdon seperti Italia. Jakarta tidak dilokdon seperti Wuhan. Di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Banyuwangi atau kota lainnya di Indonesia, tidak ada lokdon.
Pemerintah akan melakukan pengetesan massal warga.
ADVERTISEMENT
Mari kita dukung pemerintah agar bisa bekerja baik melakukan tugasnya melakukan pengetesan massal. Dukungan masyarakat sangat penting karena ini bukan pekerjaan yang ringan. Kita belum tahu apakah akan dilaksanakan seperti kata Presiden Jokowi, yaitu petugas kesehatan yang akan mendatang ke rumah-rumah warga, atau warga yang akan mendatangi tempat pengetesan massal yang ditetapkan, bisa puskesmas, kantor kelurahan, kantor kecamatan, Rumah Sakit, dan sebagainya, tentu dengan tetap menjaga kaidah jaga jarak antar orang.
Lalu apa tugas dan kewajiban kita sebagai warga negara?
Pertama, kita harus patuhi petugas jika harus mengikuti tes cepat Covid-19.
Selain itu warga harus terus mematuhi peraturan untuk tetap tinggal di rumah, jauhi kerumunan orang, jaga jarak (social distancing), tidak bersentuhan langsung satu sama lain. Itu semua harus terus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Mengingat salah satu syarat keberhasilan cara tes Covid-19 massal harus dibarengi dengan kepatuhan warga untuk tetap tinggal di rumah
Mengapa itu penting?
Karena begitu hasil test diketahui dan seseorang dinyatakan positif Covid-19, dia akan segera dirawat dan diisolasi agar tidak menulari orang lain dan bisa sembuh.
Seperti sudah diantisipasi sebelumnya, pada tahap-tahap awal setelah hasil tes diketahui, akan semakin banyak orang yang diketahui sakit Covid-19. Ini sebetulnya wajar saja karena sebelumnya banyak orang sakit yang tidak terdeteksi sebelum tes dilakukan. Lonjakan jumlah pasien yang diketahui sakit akan berlomba dengan ketersediaan tempat tidur di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
Para ahli kedokteran kesehatan masyarakat menyebutnya sebagai masa paling kritis, dalam penanganan virus Corona ini, karena kita akan kekurangan tempat tidur di RS.
ADVERTISEMENT
Itulah pentingnya pada masa kritis ini warga tetap tinggal di rumah, jaga jarak, jangan bersentuhan agar bisa membantu memutus rantai penularan.
Kalau kita tidak patuh, ada risiko jumlah pasien tertular virus Corona akan semakin banyak dan sudah dapat dipastikan jumlah tempat tidur di rumah sakit semakin tidak mencukupi.
Para ahli kedokteran bidang keahlian kesehatan masyarakat menyebutnya sebagai: Kita gagal dalam upaya melandaikan kurva jumlah penderita Covid-19 (flattening the curve). Ini artinya sebuah bencana bagi bangsa kita. Oleh karena itu kita sebagai warga negara harus disiplin dan mau melakukan pengorbanan kecil dengan tetap tinggal di rumah guna memutus rantai penularan. Tetaplah tinggal di rumah untuk menolong nyawa orang lain.
Di masa kritis yang taruhannya nyawa ini, diharapkan para pemimpin apa pun, termasuk kepala daerah, para tokoh masyarakat, tokoh politik, pemuka agama, pemimpin informal, para tokoh panutan dan tokoh yang punya pengaruh (influencer) bersatu melawan virus Corona ini. Mari kita lupakan perbedaan apa pun dan menempatkan kepentingan kesehatan masyarakat yang menyangkut nyawa ini di atas kepentingan politik, agama, bisnis, dan kepentingan lainnya. Kalau kita mau "bertengkar" untuk urusan yang berkaitan dengan kepentingan politik kita tunda dulu hingga menjelang tahun 2024. Kini saatnya kita fokus dan konsentrasi bergotong royong mengatasi Corona.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan kita menangani pandemi atau wabah Corona salah satunya adalah menekan jumlah kematian. Tetapi tidak hanya itu. Masyarakat dunia internasional juga mengamati bagaimana Bangsa Indonesia menangani wabah Corona ini. Akan dinilai bagaimana keberhasilan kita memutus rantai penyebarannya dalam waktu singkat.
Suka tidak suka, sekarang ini dunia internasional meragukan kemampuan Pemerintah dan bangsa Indonesia dalam menangani Corona. Apa buktinya? Lihat saja berbagai tulisan yang tersebar di berbagai media internasional. Dan bukti yang paling nyata adalah kita ini warga negara yang sangat dibatasi masuk ke Singapura.
Jemaah umrah Indonesia termasuk yang dilarang masuk ke Arab Saudi. Menyakitkan hati bukan?
Tetapi itulah persepsi bangsa lain terhadap kemampuan Indonesia menangani wabah penyakit. Kita tidak bisa menyalahkan bangsa lain, kita sendiri yang harus mengubah persepsi buruk bangsa lain terhadap bangsa kita.
ADVERTISEMENT
Kini saatnya para pemimpin politik, kepala daerah, pemuka agama dan semua pemimpin apa pun membuktikan bahwa mereka mencintai negeri ini, mencintai rakyatnya dan mencintai umatnya. Kini bukan saatnya lagi menyampaikan khotbah dengan retorika yang mengarahkan kepada kesimpulan jemaah bahwa jika jemaah mematuhi anjuran untuk beribadah di rumah, mengurangi kerumunan, mencegah kontak langsung antar jemaah, berarti kita lebih takut Corona dari pada kepada Allah.
Kini bukan lagi saatnya mendemonstrasikan keimanan dengan tidak takut dan menantang virus Corona , padahal seorang Sayidina Umar bin Khattab saja menurut riwayat, beliau takut dan menghindari daerah yang terjangkit wabah penyakit. Memang sampeyan lebih sakti mandraguna dari Umar bin Khattab? tanya seorang kyai sepuh yang sangat berpengaruh, sambil mengingatkan jemaahnya.
ADVERTISEMENT
Peran para kyai, da'i dan para pemuka agama sangat penting dalam membantu Pemerintah menjalankan program tes massal Covid-19 ini.
Karena jika gagal maka persepsi negatif dunia internasional terhadap kemampuan Indonesia menangani wabah virus Corona ini tidak akan membaik.
Apa anda tidak malu jika sebagai warga negara Indonesia masih terus dipersulit masuk ke negara lain?
Apa sampeyan para kyai, da'i yang masih tidak mendukung penanganan wabah Corona, bersedia bertanggung jawab dunia akhirat jika jemaah sampeyan masih saja tidak bisa umrah atau naik haji karena ditolak Pemerintah Arab Saudi? Karena kita dianggap sebagai bangsa yang tidak becus menangani Corona?
Kinilah saatnya kita lupakan perbedaan, dan bersatu melawan virus Corona. Semoga Allah mempersatukan Indonesia melalu virus Corona.
ADVERTISEMENT
Ingat ya,
Pilihan kita adalah Tes Massal Covid-19. Bukan lokdon.
Sigit Pramono
Ditulis dari rumah