Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Sindrom Tuyul, Kriminalisasi dan Pasal Imunitas
22 Mei 2020 9:24 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Sigit Pramono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi mereka yang belum tahu tuyul adalah semacam makhluk mitologi di Jawa, makhluk halus, berwujud anak kecil berbadan agak gempal, gundul dan biasanya memakai cawat. Tuyul ini pekerjaannya adalah mencarikan harta kekayaan bagi yang memeliharanya. Kalau di tanah Pasundan disebut babi ngepet.
ADVERTISEMENT
Di pedesaan Jawa di masa lalu kalau ada warga yang kaya raya selalu dicurigai dia kaya karena memelihara tuyul.
Orang desa yang sederhana cara berpikirnya, rupanya sulit memahami bahwa ada tetangganya yang punya sawah sama luas dengannya, bisa lebih kaya. Padahal tetangga itu jadi lebih kaya karena lebih rajin ke sawah, pilih bibit unggul, pakai pupuk bagus, dan pemeliharaan lebih baik.
Di perkotaan, sindrom tuyul ini bisa muncul, misal kalau ada kecelakaan di jalan. Jika kecelakaan melibatkan sepeda dan sepeda motor, yang langsung disalahkan biasanya pengemudi sepeda motor. Kalau melibatkan sepeda motor dan mobil, yang disalahkan pengemudi mobil. Kalau kecelakaan melibatkan pejalan kaki dan sepeda, yang disalahkan pasti yang naik sepeda. Apalagi kalau sepedanya merek terkenal dengan harga mahal.
ADVERTISEMENT
Adapun Sindrom Tuyul adalah semacam penyakit psikososial yang diderita oleh seseorang, dengan gejala menganggap orang yang lebih kaya, lebih tinggi pendidikannya, lebih tinggi kedudukan sosialnya, atau pihak yang sedang berkuasa, jika terlibat dalam perselisihan, pertengkaran atau kasus hukum, cenderung dianggap sebagai pihak yang jahat. Pihak yang salah.
Webinar Kriminalisasi Terkait Kebijakan di Tengah Krisis
Pada tanggal 20 Mei 2020 berlangsung seminar yang diselenggarakan oleh Kumparan dan DNT Lawyers. Webinar ini sangat menarik selain karena topiknya yang relevan: Kriminalisasi Terkait Kebijakan di Tengah Krisis, juga para nara sumbernya cukup beragam. Ada Yunus Husein mantan Ketua PPATK dan pejabat BI, ada Prof Denny Indrayana mantan Wamen HumHam, Prof Surya Jaya seorang Hakim Agung, Narendra Jatna selaku Staf Khusus Jaksa Agung, dan Bivitri Susanti akademisi bidang Hukum. Saya juga diundang sebagai salah satu narasumber dan satu-satunya yang bukan ahli hukum.
ADVERTISEMENT
Diskusi berjalan sangat baik karena para narasumber memang pakar di bidangnya. Saya belajar banyak dari para ahli hukum itu. Namun demikian ketika diskusi menyentuh soal kriminalisasi kebijakan, mereka umumnya memberikan pendapat yang normatif. Misalnya bahwa para penegak hukum itu tidak mengenal istilah kriminalisasi
Apalagi jika kriminalisasi didefinisikan sebagai mengada-ada dengan cara mempidanakan kasus yang seharusnya tidak memenuhi syarat untuk dipidanakan. Mereka menyatakan tidak pernah melakukan itu. Para ahli hukum itu juga berpendapat bahwa sebetulnya tidak perlu ada kekhawatiran "kriminalisasi", jika pejabat pengambil keputusan selalu melakukan tugasnya dengan iktikad baik, mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta melaksanakan dengan tata kelola yang baik. Saya tentu saja setuju dengan pendapat para pakar hukum itu. Sekaligus sangat memaklumi jika mereka harus memberikan penjelasan yang normatif itu.
ADVERTISEMENT
Masalahnya di dunia nyata kejadiannya sangat berbeda. Kriminalisasi itu benar-benar terjadi.
Ketika seminar berlanjut, diskusi tanpa direncanakan menempatkan saya menjadi “pembela” para pihak yang menolak kriminalisasi dan menghendaki adanya imunitas hukum pada saat krisis. Bagi saya ini sebuah nostalgia dan sekaligus ironi masa lalu.
Ketika krisis 2008 terjadi saya kebetulan menjadi Ketua Perbanas dan Plt. Ketua IBI (karena Ketua Terpilih menjadi Menteri). Karena posisi itulah saya sering ke DPR mewakili kepentingan industri perbankan memberikan masukan RUU sektor keuangan. Saya tentu harus menyampaikan secara kritis kepentingan industri perbankan. Saya juga menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi untuk kasus gugatan undang-undang LPS dan Undang-undang OJK. Juga menjadi saksi ahli pada pengadilan Tipikor untuk kasus yang melibatkan pejabat BI dan OJK, serta Ketua BPPN. Tetapi ironisnya karier saya di sektor jasa keuangan terpaksa harus terhenti karena ulah oknum pejabat otoritas yang tidak bisa menerima kritik. .
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran Kriminalisasi dan Jaminan Perlindungan
Kekhawatiran adanya kriminalisasi kebijakan di masa krisis, dan adanya kebutuhan jaminan imunitas hukum muncul karena adanya trauma dari pengalaman masa lalu.
Jika kita melakukan kilas balik ke waktu setelah krisis 2008, kita akan melihat sepotong episode yang hiruk pikuk dalam sejarah bangsa Indonesia setelah menangani krisis. Alih-alih para pengambil kebijakan itu mendapatkan apresiasi, mereka malah dipersalahkan. Kita masih ingat bagaimana Dr. Sri Mulyani Indrawati dan Dr. Boediono "diadili" oleh Pansus DPR di parlemen, dan juga menjadi saksi di sidang Tipikor. Mereka setiap hari diberitakan di media dan disalahkan karena mem"bail-out" Bank Century.
Sebagian besar orang pada waktu itu tampaknya mengidap sindrom tuyul. Politisi yang tidak berkuasa, menganggap pihak yang sedang berkuasa merugikan negara melakukan korupsi. Sebagian jurnalis dan masyarakat awam cenderung menyalahkan pejabat pengambil keputusan, meskipun belum ada keputusan peradilan.
ADVERTISEMENT
Para penegak hukum beranggapan bahwa pejabat KSSK dan BI pada waktu itu , dianggap menyalahgunakan wewenang dan menguntungkan orang lain. Mereka sulit memahami bahwa ada orang yang mengambil keputusan karena tugas, dan tujuannya untuk menyelamatkan negara dari krisis.
Belajar dari krisis 97/98 dan krisis 2008 muncullah gagasan perlindungan hukum bagi para pengambil keputusan. Karena siapa pun yang pernah terlibat dalam proses peradilan kasus kriminalisasi pengambil keputusan pada saat krisis, akan merasakan pengalaman yang sangat melelahkan lahir dan batin, serta menyakitkan hati. Sangat traumatis.
Jaminan hukum atau pasal imunitas seperti apa yang diperlukan?
Berikut ini pasal 48 pada Undang Undang No.9 Tahun 2016 : Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan .
ADVERTISEMENT
(1) Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan yang melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini menghadapi tuntutan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Komite Stabilitas Sistem Keuangan maka yang bersangkutan mendapat bantuan hukum dari lembaga yang diwakilinya atau yang menugaskannya.
ADVERTISEMENT
Selain pasal imunitas pada undang-undang PPKSK , belakangan diperkuat oleh Pasal 27 Pada Perppu No 1 Tahun 2020 yang disahkan menjadi Undang-undang No.2 Tahun 2020.
(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Tak Perlu Ragu Menyelamatkan Perekonomian
Dengan jaminan imunitas hukum seperti yang tercantum dalam pasal 48 Undang-Undang No. 9 tahun 2016, dan pasal 27 Perppu No.1 Tahun 2020 ( Undang Undang No.2 Tahun 2020) di atas, seharusnya para pejabat KSSK yaitu Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua OJK, Ketua LPS, tidak ada lagi alasan untuk bimbang dan ragu dalam memutuskan apa pun yang terbaik bagi negara dan bangsa agar bisa segera bangkit dari keterpurukan akibat pandemik covid 19.
Bahwa peristiwa pandemi ini dialami oleh semua negara di dunia, dan presiden sudah resmi mengumumkan adanya krisis, seharusnya menghilangkan kekhawatiran apa pun. Sekadar sebagai perbandingan, ketika saya menjadi saksi ahli kasus “kriminalisasi” pejabat BI yang memutuskan penyelamatan perekonomian dengan mem "bail-out" Bank Century, sulit sekali meyakinkan para hakim pengadilan TIPIKOR bahwa pada tahun 2008 itu benar terjadi krisis. Repotnya lagi Pemerintah (Presiden) pada waktu itu ternyata memang tidak pernah mendeklarasikan bahwa tahun 2008 terjadi krisis.
ADVERTISEMENT
Meski sudah ada jaminan hukum yang kuat, masih tersiar kabar burung bahwa ada pejabat KSSK yang mengkhawatirkan gugatan beberapa pihak ke Mahkamah Konstitusi terhadap Perppu No.1 Tahun 2020.
Saya yakin MK menolak gugatan itu. Tetapi mari kita berandai-andai saja, katakanlah pasal 27 dicabut oleh MK. Menurut hemat saya tidak perlu khawatir, karena pasal 48 Undang Undang No. 9 tahun 2016 sendiri, sudah sangat kuat menjamin imunitas hukum bagi para pengambil keputusan selama krisis.
Jadi? Apa (lagi) yang Kau Cari Palupi?
Oleh: Sigit Pramono, Chairman IICD dan Wakil Ketua Umum Kadin