Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Urgensi Melakukan Penerapan PSBB yang Lebih Ketat
11 Mei 2020 10:10 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Sigit Pramono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir pekan lalu, merupakan salah satu momen yang cukup mencemaskan banyak kalangan yang mencermati perkembangan kasus COVID-19 di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada hari Sabtu, 9 Mei 2020, tercatat penambahan kasus COVID-19 sebanyak 533 kasus. Ini merupakan penambahan kasus harian tertinggi sejak COVID-19 terdeteksi pada bulan Maret lalu.
Jumlah kasus baru pada tanggal yang sama melonjak 58,6% dari hari sebelumnya. Jumlah kasus baru tersebut juga lebih dari dua kali lipat dari rata-rata harian yang sebanyak 198 kasus. Rata-rata bergerak (moving average) 7 hari, kembali menunjukkan tren kenaikan dalam satu minggu terakhir, setelah seminggu sebelumnya sempat melandai.
Sementara itu jumlah orang yang dites per 1 juta orang masih rendah yaitu 444 orang. Sebagai perbandingan Zimbabwe 514 orang dan Swedia 14.705 orang per satu juta orang.
Jadi di hari-hari ke depan jangan terkaget-kaget jika kurvanya masih naik turun dan belum bisa melandai.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami data yang dikemukakan di atas, seseorang tidak perlu menjadi seorang ahli epidemiologi. Fakta-fakta di atas sudah cukup 'berbicara' sendiri. Dan karenanya sudah sepatutnya kita respons dengan melakukan tindakan koreksi dalam penerapan PSBB.
Ada dua pilihan yang bisa dilakukan. Pertama, sebaiknya dilakukan koreksi kebijakan PSBB yang sudah berjalan selama ini. Kedua, jangan terburu-buru melonggarkan PSBB sampai angka kasus yang terinfeksi tidak bertambah lagi.
Jadi alih-alih melonggarkan PSBB, pemerintah harus mempertimbangkan penerapan PSBB yang lebih ketat.
Harus selalu diingat bahwa penerapan PSBB yang tidak konsisten, tidak disiplin dan terlalu longgar, selain tidak efektif dalam upaya mencegah penularan COVID-19, ujung-ujungnya bisa menjadi sebab pembengkakan biaya krisis.
Seperti sudah diumumkan, PSBB di Jakarta yang dimulai 10 April 2020, sejak 23 April sudah diperpanjang 28 hari sehingga 25 Mei 2020. Sementara per tanggal 12 Mei 2020 PSBB di Surabaya diperpanjang 14 hari hingga 25 Mei 2020. Juga beberapa di daerah melakukan perpanjangan PSBB.
ADVERTISEMENT
Ada 2 pilihan untuk memperbaiki penerapan kebijakan PSBB. Pertama, dengan memperbaiki strategi pengendalian pergerakan warga dengan sasaran yang lebih kecil dan terseleksi. Kedua, meneruskan kebijakan yang sudah berjalan dengan memperketat penerapannya di lapangan.
Kita perlu mempertimbangkan pilihan pertama dengan target sasaran pengendaliannya diubah. Kali ini bukan pergerakan warga di seluruh Indonesia, tetapi difokuskan pada 10 kota besar di Indonesia. Syaratnya kali ini harus lebih ketat dan lebih disiplin. Penerapan PSBB di 10 kota ini diperpanjang sekali lagi tetapi harus serentak.
Adapun 10 Kota besar itu adalah Jabodetabek, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, Semarang, Palembang, Padang, Batam, Bandar Lampung. Total penduduk 10 kota besar itu kurang lebih 44,4 juta. Hampir mendekati 20% penduduk Indonesia ( 267 juta). Jika kita mau menggunakan prinsip Pareto atau Pareto's Law 80:20, di mana 20% populasi, akan mempengaruhi 80% populasi yang lainnya, maka penetapan penduduk 10 kota besar sudah cukup mewakili. Artinya PSBB diterapkan pada penduduk perkotaan sebagai prioritas pengendalian pergerakan warga untuk memutus rantai penularan virus.
ADVERTISEMENT
Mengapa sasaran PSBB sebaiknya penduduk perkotaan?
Berikut ini adalah alasannya:
1. Penduduk kota lebih padat daripada penduduk pedesaan. Dengan demikian pencegahan penularan dengan "social distancing" lebih mendesak bagi penduduk kota daripada warga pedesaan.
2. Penduduk kota lebih tinggi mobilitasnya. Sehingga upaya pencegahan penularan virus dengan peraturan tinggal di rumah, lebih mendesak bagi penduduk perkotaan daripada penduduk pedesaan.
3. Secara ekonomi kelompok penduduk perkotaan paling bawah, khususnya pekerja sektor informal, paling rentan terhadap dampak isolasi wilayah atau PSBB, dibandingkan kelompok yang sama di pedesaan. Dengan demikian bantuan sosial kepada kelompok ini akan lebih tepat sasaran.
Kita tahu alasan pemerintah untuk tidak memilih lockdown, yaitu karena konsekuensi ekonominya besar sekali. Bahkan pilihan PSBB yang sekarang berjalanpun tetap saja biaya penanganannya besar. Terutama jika kita masih terus terpaku pada pemikiran dan asumsi bahwa kita harus mengatur, mengawasi, dan mengendalikan pergerakan 267 juta penduduk Indonesia. Atau dengan kata lain melakukan PSBB seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pilihan penerapan PSBB untuk 10 kota besar di Indonesia, adalah pilihan yang paling masuk akal mengingat keterbatasan dana, sumber daya manusia, rumah sakit dan fasilitas yang kita punya.
Penduduk daerah pedesaan tidak perlu di PSBB kan, karena risiko penularan di antara mereka rendah. Selama kita bisa "mengisolasi' penduduk perkotaan agar tidak berinteraksi dengan orang pedesaan, maka penduduk pedesaan tidak ada risiko terinfeksi.
Tentu saja kalau ada penduduk daerah tertentu yang terbukti terinfeksi baru dilakukan PSBB secara kasus per kasus.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penerapan PSBB 10 kota besar ialah:
1. Pemerintah Pusat fokus pada penanganan penduduk 10 kota besar yang jumlahnya 44,4 juta orang. Kelompok penduduk 10 kota ini dikenakan peraturan PSBB ketat. Diberlakukan perpanjangan serentak.Dan setelah itu dilakukan tes massal secara lebih agresif.
ADVERTISEMENT
2. Kemudian dari 44,4 juta orang itu, diidentifikasi warga kelompok bawah yang paling terdampak kehilangan penghasilan karena tinggal di rumah. Mereka akan diberikan bantuan sosial.
3. Penanganan pencegahan penularan Covid 19 untuk 80% penduduk di luar 10 kota terbesar di Indonesia didelegasikan kepada para gubernur, bupati, wali kota masing-masing dengan tetap berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Berdasarkan data yang dikemukakan sebelumnya, mau tidak mau penerapan PSBB yang sudah berjalan selama ini harus diperketat. Jika tidak ada upaya pengetatan PSBB maka yang akan terjadi adalah perpanjangan PSBB tiada henti.
Akibatnya akan sangat melelahkan jiwa raga semua pihak, baik Pemerintah, warga masyarakat maupun pelaku usaha. PSBB yang terlalu panjang akan membuat biaya krisis ini semakin membengkak.
ADVERTISEMENT
Di samping itu orang tidak mungkin berlama-lama tinggal di rumah dan tidak menghasilkan barang dan jasa, yang artinya tidak ada penghasilan. Jika orang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan, dia tidak mampu membeli barang-barang kebutuhannya. Akibatnya, ekonomi bisa lumpuh.
Dalam beberapa hari ke depan kita akan menyaksikan sebuah "pertarungan" antara para ahli epidemiologi dengan ekonom.
Di satu pihak, para epidemiolog akan 'menekan' Pemerintah agar tidak terlalu terburu-buru melonggarkan PSBB, sampai periode tertentu di mana kasus yang terinfeksi tidak bertambah lagi.
Di pihak lain para ekonom akan 'menekan' Pemerintah untuk segera mengakhiri PSBB, supaya ekonomi tidak mati. Kita harus bijak dan hati-hati mencari keseimbangan, mencari kompromi di antara kedua-dua tekanan itu.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan respons masyarakat terhadap PSBB yang terlalu lama?
Bagi kelompok ekonomi tertentu, akan segera sampai pada batas toleransi dan daya tahan. Urusannya sudah soal hidup atau mati jika tinggal di rumah terlalu lama. Pilihan mereka adalah: ke luar rumah dan mati karena COVID-19 atau tetap tinggal di rumah dan mati karena kelaparan. Sangat dilematis.
Sekali lagi tanpa ada rencana dari Pemerintah untuk melonggarkan PSBB pun, warga golongan bawah yang tinggal di perkotaan dan hidup dari sektor informal, pada akhirnya akan melanggar PSBB.
Kita harus selalu ingat bahwa misi kita dalam menangani krisis akibat pandemi COVID-19 ini adalah menyelamatkan nyawa manusia dan menyelamatkan perekonomian. Ini bukan sebuah pilihan yang bisa kita pilih salah satu. Kedua-duanya harus dilakukan secara paralel. Tetapi keberhasilan kita menangani pandemi COVID-19 dalam waktu singkat akan sangat mempengaruhi biaya penyelamatan perekonomian.
ADVERTISEMENT
*Sigit Pramono
Ketua Umum Perbanas 2006-2016