news-card-video
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Cyberbullying dan Krisis Etika: Saat Jari Menjadi Senjata

Hotnauli Sihombing
Saya adalah seorang mahasiswa semester 6 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Unika Santo Thomas
13 Maret 2025 12:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hotnauli Sihombing tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Hotnauli Sihombing
Ilustrasi cyberbullying sumber foto: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cyberbullying sumber foto: Canva
Cyberbullying adalah bentuk perundungan yang terjadi di dunia digital, seperti media sosial, pesan instan, atau platform daring lainnya. Pelaku biasanya menggunakan komentar kasar, penghinaan, penyebaran hoaks, atau bahkan ancaman untuk merendahkan dan menyakiti korban.Dampaknya bisa sangat serius, mulai dari stres, depresi, gangguan mental, hingga kasus ekstrem seperti bunuh diri. Anak muda menjadi kelompok yang paling rentan karena mereka aktif di dunia maya dan sering kali kurang menyadari batasan etika digital. Saat ini, cyberbullying semakin marak karena orang merasa bebas berbicara di dunia maya tanpa konsekuensi. Krisis etika digital semakin terlihat, di mana kebebasan berekspresi sering kali berubah menjadi kebebasan untuk menyakiti. Krisis etika di dunia digital semakin terlihat ketika orang merasa bebas menghujat tanpa memikirkan dampaknya. Tanpa disadari, jari-jemari yang mengetik di layar dapat menjadi senjata yang melukai orang lain. Sebuah berita bohong yang dibagikan tanpa verifikasi dapat menyesatkan ribuan orang. Sebuah komentar kasar dapat menghancurkan mental seseorang.
ADVERTISEMENT
Mengapa Cyberbullying Marak di Kalangan Generasi Muda?
Cyberbullying semakin merajalela, terutama di kalangan anak muda, faktor utama yang menyebabkannya adalah anonimitas di internet membuat banyak orang berani menghina karena identitas mereka tersembunyi. Kurangnya kesadaran etika digital membuat banyak pengguna media sosial tidak menyadari bahwa kata-kata mereka bisa berdampak besar bagi korban.Serta minimnya regulasi dan sanksi hukum bagi pelaku cyberbullying yang tidak tegas, sehingga tidak memberikan efek jera. Saat tidak ada batasan yang jelas, internet bisa menjadi tempat yang beracun bagi siapa pun yang menggunakannya.
Berbicara mengenai hukum bullying, khususnya tentang cyberbullying, di Indonesia belum ada aturan spesifik yang mengatur tentang kasus ini. Cyberbullying dalam konteks penghinaan yang dilakukan di media sosial diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE") sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016).
ADVERTISEMENT
Pada prinsipnya, tindakan menunjukkan penghinaan terhadap orang lain tercermin dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
Hasil Survei Kementerian PPA dan Child Fund Internasional pada 2023 yang dilakukan terhadap 1.600 remaja berusia 13 hingga 24 tahun di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengungkap 49,1% remaja mengaku sebagai pelaku perundungan dan 51% sebagai korban perundungan. Sucipta. (2024, Mei 19). Cyber bullying marak, Kementrian PPPA: 70% orang tua tak batasi anak gunakan gawai. (SindoNews)
Perkembangan teknologi membuat tindakan ini semakin mudah dan marak terjadi. Ketidakdewasaan merupakan periode ketika remaja rentan terhadap kelemahan dan mudah mengalihkan perasaan kepada orang lain. Konflik yang terjadi di antara dua orang yang sebelumnya dekat atau menjalin suatu hubungan.Selain itu, ternyata ada riset yang mengungkapkan fakta mengejutkan kenapa cyberbullying bias marak terjadi di Indonesia yaitu semakin lama bermain media sosial, semakin besar kemungkinan munculnya rasa iri hati dalam diri kita. Iri hati bias tumbuh karena di medsos kita terpapar oleh berbagai macam konten materialistis yang membuat kita selalu membandingkan diri dengan apa yang dicapai orang lain.
ADVERTISEMENT
Cyberbullying bukan masalah kecil yang bisa diabaikan. Untuk mengatasinya, generasi muda harus lebih sadar akan etika digital dan tanggung jawab dalam menggunakan media sosial. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
• Pikirkan sebelum mengetik: Jangan mudah terpancing emosi dan menuliskan sesuatu yang bisa menyakiti orang lain.
• Tingkatkan kesadaran etika digital: Ajarkan sejak dini bahwa kebebasan berbicara harus disertai dengan tanggung jawab.
• Laporkan dan blokir pelaku: Jangan ragu untuk melaporkan komentar negatif atau akun yang menyebarkan kebencian.
• Jangan mengikuti tren toxic: Jangan menambah api dalam perundungan digital, meskipun kontennya viral.
• Dukung konten positif : Sebarkan dan apresiasi konten yang menginspirasi daripada menyebarkan ujaran kebencian.
• Keluarga dan sekolah memberikan peran: Orang tua dan guru harus aktif mengawasi aktivitas digital anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
• Mendorong regulasi yang lebih kuat: Pemerintah dan platform digital harus lebih tegas dalam menangani kasus cyberbullying.
Kesimpulannya adalah generasi muda harus lebih bijak dalam bermedia sosial agar ruang digital tetap aman. Cyberbullying bukan sekadar masalah dunia maya, tetapi krisis etika yang nyata. Jika dibiarkan, dampaknya bisa berujung pada gangguan mental, depresi, bahkan kehilangan nyawa.
Penulis Mahasiswa Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Santo Thomas