Konten dari Pengguna

Pinjol dan Etika: Mahasiswa di Persimpangan Finansial

Hotnauli Sihombing
Saya adalah seorang mahasiswa semester 6 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Unika Santo Thomas
16 Maret 2025 16:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hotnauli Sihombing tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Hotnauli Sihombing
ilustrasi pinjol dan krisis etika sumber gambar: canva
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pinjol dan krisis etika sumber gambar: canva
Perkembangan teknologi finansial telah membuka akses luas bagi Generasi Z untuk memperoleh pinjaman secara daring (pinjol) dengan cepat dan mudah. Di satu sisi, kemudahan ini menjadi solusi bagi mahasiswa dan pekerja muda yang membutuhkan dana darurat. Namun, di sisi lain, maraknya pinjol memunculkan dilema etika serta ancaman krisis finansial yang dapat menggoyahkan masa depan mereka.
ADVERTISEMENT
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang akrab dengan teknologi, tetapi belum tentu memiliki literasi finansial yang memadai. Pinjol dengan persyaratan longgar dan pencairan cepat sering kali mendorong keputusan impulsif tanpa pertimbangan matang. Akibatnya, banyak yang terperangkap dalam jerat utang berbunga tinggi, bahkan terpaksa berutang kembali untuk melunasi pinjaman sebelumnya.
Dengan kemudahan akses dan proses yang cepat, pinjol menawarkan keuntungan yang sulit untuk diperoleh. Namun dibalik itu, terdapat sejumlah bahaya yang dapat mengancam stabilitas finansial dan kesejahteraan di kalangan anak muda sekarang. Menurut otoritas jasa keuangan (OJK) masyarakat Indonesia semakin gencar menggunakan layanan pinjaman online. Pada agustus 2024, nilai penyaluran Pinjaman online mencapai rekor baru sebesar Rp. 27,44 triliun, dengan jumlah penerima pinjaman tercatat sebanyak 12,93 juta akun (sumber: Statistik OJK).
ADVERTISEMENT
Pinjol Memperparah Gaya Hidup Konsumtif Generasi Muda
Generasi muda saat ini hidup di era digital yang sarat dengan budaya konsumtif. Media sosial dan tren FOMO (Fear of Missing Out) sering kali mendorong mereka untuk membeli barang atau pengalaman tanpa mempertimbangkan kebutuhan nyata. Kemudahan mengakses pinjol justru memperparah kebiasaan ini, karena mereka merasa dapat memperoleh uang dengan cepat tanpa harus menabung atau bekerja lebih keras. Dalam jangka panjang, pola pikir seperti ini berbahaya karena mengikis kesadaran finansial dan tanggung jawab dalam mengelola pengeluaran. Jika tidak diimbangi dengan literasi keuangan yang baik, generasi muda dapat terjebak dalam lingkaran utang yang terus membesar.
Minimnya Etika dalam Berutang dan Kesadaran Finansial
Dalam perspektif etika, pinjaman seharusnya disertai dengan kesadaran penuh akan kewajiban untuk mengembalikannya. Namun, banyak generasi muda yang menggunakan pinjol tanpa mempertimbangkan kemampuan mereka untuk membayar kembali. Beberapa bahkan meminjam hanya untuk memenuhi keinginan sesaat, bukan kebutuhan yang mendesak. Selain itu, banyak yang mengabaikan transparansi dalam membaca syarat dan ketentuan pinjaman. Suku bunga tinggi, denda keterlambatan, serta ancaman dari penagih sering kali diabaikan hingga akhirnya menjadi beban berat. Kurangnya kesadaran ini menunjukkan lemahnya etika dalam berutang, di mana aspek tanggung jawab sering kali diabaikan demi kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Dampak Psikologis dan Sosial yang Merugikan
Jeratan utang akibat pinjol tidak hanya berdampak pada kondisi finansial, tetapi juga pada kesehatan mental. Rasa cemas yang berlebihan, tekanan akibat tagihan yang terus menumpuk, serta ancaman dari penagih yang sering kali menggunakan cara-cara intimidatif dapat menyebabkan stres berat hingga depresi. Dari sisi sosial, banyak hubungan pertemanan dan keluarga yang terganggu akibat pinjaman online. Tidak sedikit orang yang meminjam atas nama orang lain atau memanfaatkan kepercayaan teman dan keluarga untuk mendapatkan pinjaman. Akibatnya, konflik dan kehilangan kepercayaan menjadi dampak yang tidak terhindarkan.
Regulasi dan Pendidikan Literasi Keuangan Sebagai Solusi
Pinjaman online memang menawarkan kemudahan, tetapi tanpa pemahaman dan pengelolaan yang bijak, justru menjadi ancaman serius bagi generasi muda. Gaya hidup konsumtif, minimnya etika dalam berutang, serta dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkan membuat pinjol bukan sekadar solusi finansial, melainkan potensi permasalahan yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, diperlukan edukasi finansial yang lebih kuat agar generasi muda dapat memahami risiko pinjaman dan mengembangkan pola piker yang lebih bertanggung jawab dalam mengelola keuangan. Pemerintah juga perlu memperketat regulasi terhadap pinjaman online agar tidak semakin banyak korban yang terjerat dalam praktik yang merugikan. Dengan kesadaran dan kebijakan yang tepat, generasi muda dapat terhindar dari jebakan pinjol dan membangun masa depan finansial yang lebih stabil dan sehat.
Pinjaman online menawarkan akses mudah ke pembiayaan, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki akses ke layanan perbankan tradisional. Pada 2021, jumlah peminjam usia 19 hingga 34 tahun meningkat 30%, dan terus bertumbuh hingga 40% pada 2022. Pada 2023, angka ini naik lagi menjadi 45%, dengan total pinjaman mencapai Rp 200 triliun. Tren ini diperkirakan akan terus meningkat pada 2024, mencapai 50%.
ADVERTISEMENT
Sebagai generasi yang akan memimpin Indonesia menuju Indonesia Emas 2045, generasi z dan milenial harus diberikan bekal literasi keuangan yang memadai untuk mengelola keuangan dengan baik. Kolaborasi antara pemerintah, institusi keuangan, penyedia layanan fintech, dan masyarakat, termasuk peran penting Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan Kominfo, diharapkan dapat menghasilkan generasi yang tangguh secara finansial dan tidak terjebak dalam jeratan utang. (Iskandar Zulkarnaen)
Saatnya Generasi Z mengambil keputusan finansial yang lebih cerdas dan bertanggung jawab!
Penulis Mahasiswa Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Unika Santo Thomas Medan