Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Warna Perak di Tengah Abu Kota: Refleksi Keterpinggiran di Sudut Surabaya
9 November 2024 19:12 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari silfia nikmatus zahiro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Surabaya, kota yang dikenal sebagai kota pahlawan, kini menyimpan ironi di sudut-sudut jalannya. Di antara kepadatan lalu lintas dan hiruk-pikuk kehidupan kota, muncul sosok-sosok "orang silver" yang mencuri perhatian di perempatan jalan. Mereka mengecat tubuhnya dengan warna perak, membuat mereka terlihat mencolok namun juga menyedihkan. Dengan wajah yang tertutup oleh lapisan cat tebal, mereka berdiri dengan ember atau kaleng bekas di tangan, berharap belas kasih dari para pengendara yang melewati mereka. Di balik kilauan perak yang menutupi tubuh mereka, ada kisah pahit tentang kemiskinan, keterpinggiran, dan ketidakadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Fenomena "orang silver" sebenarnya bukan hal baru di Surabaya atau kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kehadiran mereka di jalanan adalah bukti nyata dari ketimpangan sosial yang begitu mengakar di masyarakat. Mayoritas dari mereka adalah orang-orang yang terpaksa hidup dalam kesulitan ekonomi dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka memilih menjadi "patung hidup" di pinggir jalan karena terbatasnya kesempatan kerja yang layak bagi mereka. Di usia yang produktif, mereka terjebak dalam kondisi yang memaksa mereka bertahan hidup dengan cara yang tak lazim ini, mengais rezeki dari belas kasih orang lain.
Menurut pengakuan salah satu "orang silver" yang ditemui di perempatan Jalan Ahmad Yani Surabaya, pekerjaan ini dilakukan bukan karena keinginan, tetapi karena kebutuhan yang mendesak. "Susah cari kerja, apalagi saya tidak punya ijazah. Jadi saya terpaksa begini, demi anak-anak di rumah," ungkap seorang pria paruh baya yang berdiri dengan tubuh penuh cat perak. Kisahnya mencerminkan banyaknya warga miskin kota yang tidak memiliki akses pada pendidikan dan pelatihan kerja yang memadai, sehingga pilihan hidup mereka semakin terbatas.
ADVERTISEMENT
Surabaya, seperti halnya kota-kota besar lain di Indonesia, terus bertumbuh dan berkembang. Namun, perkembangan ini sering kali hanya dinikmati oleh sebagian kalangan saja, sementara kalangan bawah seperti "orang silver" justru semakin terpinggirkan. Banyak dari mereka yang lahir dan besar di kota ini, namun tidak mampu merasakan manfaat dari pembangunan yang seharusnya juga ditujukan untuk mereka. Hal ini menggambarkan lemahnya pemerataan kesejahteraan di Indonesia, di mana pertumbuhan ekonomi seringkali hanya menguntungkan lapisan atas masyarakat.
Keberadaan "orang silver" juga mengungkap kelemahan sistem jaminan sosial di Indonesia. Negara yang seharusnya hadir dalam melindungi warganya dari kemiskinan dan kesulitan ekonomi tampaknya belum mampu menjangkau masyarakat marginal ini. Program-program bantuan sosial yang ada seringkali tidak sampai ke tangan mereka yang benar-benar membutuhkan, entah karena minimnya sosialisasi atau rumitnya persyaratan administrasi. Akibatnya, banyak orang miskin kota yang merasa terabaikan dan tidak tahu harus ke mana mencari bantuan. Keadaan ini mengindikasikan perlunya reformasi dalam sistem jaminan sosial agar lebih inklusif dan bisa benar-benar membantu masyarakat di lapisan bawah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, fenomena ini juga menyiratkan lemahnya akses terhadap pekerjaan yang layak bagi mereka yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Di Indonesia, lapangan kerja yang tersedia lebih banyak mensyaratkan ijazah atau keahlian tertentu, sehingga masyarakat yang kurang berpendidikan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Padahal, dalam konstitusi negara disebutkan bahwa negara berkewajiban menciptakan kesempatan kerja bagi seluruh warga negara. Kenyataannya, kesenjangan antara harapan dan realita ini begitu lebar, membuat sebagian masyarakat harus mencari jalan lain demi bertahan hidup, termasuk menjadi "orang silver".
Tidak hanya dari segi ekonomi, keberadaan "orang silver" juga menyiratkan masalah kesehatan dan lingkungan yang perlu diperhatikan. Penggunaan cat perak pada tubuh mereka bisa berpotensi berbahaya bagi kesehatan kulit dan sistem pernapasan. Di bawah terik matahari, mereka berdiri dengan cat yang dapat menimbulkan iritasi dan bahkan keracunan dalam jangka panjang. Sayangnya, demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka rela mempertaruhkan kesehatan tubuh mereka. Hal ini menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh "orang silver", yang tidak hanya berjuang untuk hidup, tetapi juga mengorbankan kesehatan mereka dalam prosesnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena "orang silver" ini seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Di satu sisi, pemerintah perlu menyadari bahwa adanya "orang silver" di jalanan adalah potret dari gagalnya sistem kesejahteraan yang ideal. Langkah-langkah yang lebih konkrit diperlukan untuk meningkatkan pemerataan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan bagi masyarakat miskin. Program pelatihan keterampilan dan akses ke lapangan pekerjaan yang inklusif dapat menjadi solusi jangka panjang agar masyarakat miskin tidak lagi terpaksa mencari nafkah di jalanan.
Di sisi lain, fenomena ini juga menjadi refleksi bagi masyarakat umum untuk lebih peduli terhadap sesama. Dalam masyarakat yang cenderung individualistis, kehadiran "orang silver" di jalanan seharusnya membuka mata kita tentang pentingnya solidaritas sosial. Bantuan kecil yang diberikan mungkin tidak akan sepenuhnya mengubah hidup mereka, namun setidaknya bisa meringankan beban sementara. Lebih dari itu, kepedulian dan dorongan untuk mendukung kebijakan yang pro rakyat miskin juga merupakan langkah nyata dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dengan munculnya "orang silver" di jalan-jalan Surabaya, kita diingatkan bahwa kemiskinan dan ketimpangan sosial adalah masalah yang nyata dan masih membutuhkan perhatian serius. Di tengah kemajuan yang terlihat di permukaan, ada sisi lain dari kota ini yang belum tersentuh pembangunan dan perhatian. Warna perak yang membungkus tubuh mereka mungkin terlihat mencolok, tetapi di baliknya tersembunyi kegetiran hidup yang belum mendapat jawaban. Di kota sebesar Surabaya, kisah "orang silver" ini seharusnya menggerakkan kita semua untuk berbuat lebih, bukan hanya menutup mata dan berlalu begitu saja.