Claudia Goldin: Motherhood dalam Isu Kesenjangan Upah pada Pekerja Wanita

Silva NF Lestari
Alumnae of Major Developmental Economic, Economic Faculty, Universitas Terbuka. An Economics Enthusiast Mom
Konten dari Pengguna
12 November 2023 10:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Silva NF Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Pada 9 Oktober 2023, Nobel Prize di bidang ekonomi menganugerahi wanita ketiga yang berhasil meraih penghargaan ini, Claudia Goldin. Sejak tahun 1969, peraih Nobel Prize di bidang ekonomi didominasi oleh para pria, yaitu 90 penerima, dan hanya tiga orang wanita yang mampu bersanding dengan para ekonom luar biasa tersebut. Goldin memberikan kontribusinya kepada perekonomian global melalui penelitiannya pada tenaga kerja wanita.

Claudia Goldin. Sumber: wikipedia.org
zoom-in-whitePerbesar
Claudia Goldin. Sumber: wikipedia.org
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kemenangan Goldin pada ajang paling bergengsi dalam bidang keilmuan ini disinyalir tidak hanya menjadi kemenangan bagi dirinya secara pribadi, namun juga membuka secercah harapan dalam mengatasi isu disparitas gender, khususnya dalam hal kesenjangan penghasilan yang dialami oleh tenaga kerja wanita.
ADVERTISEMENT
Isu ketertinggalan pekerja wanita dibandingkan dengan pekerja pria merupakan isu yang telah muncul lebih dari seabad. Terdapat kecenderungan bahwa pekerja wanita memiliki penghasilan yang lebih rendah daripada pekerja pria. Secara global, seorang pekerja wanita hanya memperoleh 77 sen ketika seorang pekerja pria mampu memperoleh 1 US Dollar (UN Women, 2016). Di samping itu, tingkat partisipasi kerja wanita juga dinilai lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi kerja pria. Berdasarkan data dari International Labour Organization (2022), tidak lebih dari 47% dari total wanita usia produktif di seluruh dunia yang berpartisipasi dalam tenaga kerja. Angka tersebut sangat senjang jika dibandingkan pada tingkat partisipasi tenaga kerja pada pria yang bernilai 72% secara global. Kesenjangan ini menimbulkan ketidakefisienan dalam perekonomian dunia. Padahal, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelajutan, dibutuhkan peran dan keikutsertaan wanita yang lebih tinggi dalam aktivitas ekonomi (United Nations, n.d.).
ADVERTISEMENT
Banyak yang beranggapan bahwa kesenjangan gender di bidang ekonomi diakibatkan adanya konsep pada struktur sosial bahwa wanita hanya memiliki peran dan tanggung jawab di ranah domestik. Konsep tersebut berimplikasi pada munculnya diskriminasi terhadap wanita, antara lain diskriminasi di bidang pendidikan, lowongan pekerjaan, dan jumlah penghasilan yang dibayarkan. Terkhusus diskriminasi di bidang pendidikan, terdapat asumsi bahwa rendahnya tingkat pendidikan yang dikenyam oleh wanita menjadi alasan utama mengapa pekerja wanita dibayar lebih rendah dibandingkan pekerja pria. Goldin melalui penelitiannya menyatakan bahwa ternyata kesenjangan penghasilan tidak hanya didasarkan pada latar belakang pendidikan, karena pada faktanya dewasa ini cukup banyak wanita yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi daripada pria namun tetap memperoleh penghasilan yang lebih rendah daripada pria.
Ilustrasi disparitas gender dalam penghasilan. Sumber: Shutterstock.
Gagasan utama dari penelitian Claudia Goldin, adalah bahwa siklus motherhood mempengaruhi seberapa besar seorang wanita menerima upah. Siklus motherhood ini tidak saja menyebabkan seorang ibu pekerja mengalami disparitas upah terhadap pria, namun juga kesenjangan jika dibandingkan dengan rekan wanitanya yang tidak memiliki anak. Penelitian dilakukan pada wanita kulit putih berumur 25 tahun sampai dengan 64 tahun yang pada saat penelitian tersebut merupakan penduduk kelahiran tahun 1943-1983. Kondisi para objek penelitian merupakan pekerja lulusan perguruan tinggi yang setidaknya memperoleh penghasilan tahunan sebesar setengah dari upah minimum federal untuk pekerja purnawaktu pada saat itu (1.400 jam per tahun) (Goldin et al., 2022).
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, penilitian ini menyajikan gambaran bahwa pada saat momentum seorang pekerja wanita menjadi seorang fresh graduate, kesenjangan penghasilan antara pekerja wanita dan pria tidak terlalu lebar. Namun demikian, grafik menunjukan adanya penurunan penghasilan ketika wanita pekerja rata-rata berusia sekitar tiga puluhan sampai dengan empat puluhan tahun. Pada usia ini kebanyakan pekerja wanita mulai membangun rumah tangga dan mulai memiliki anak. Penurunan penghasilan disebabkan berkurangnya waktu bekerja diakibatkan kebutuhan pengasuhan anak.
Sebagai seorang ibu pekerja, statement yang disampaikan Goldin pada penilitiannya sangat relevan dengan pengalaman penulis. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan seorang ibu pekerja harus mengorbankan jam bekerja sebagai opportunity cost dalam pengasuhan, misalnya ketika harus menemani anak yang tengah sakit atau menghadiri acara sekolah. Namun berdasarkan data yang dihimpun oleh Goldin, seorang ibu pekerja tidak perlu mencemaskan hal tersebut karena ada masanya seorang ibu pekerja mampu berkarya lebih banyak bahkan jika dibandingkan dengan para pekerja pria. Pada usia di atas empat puluh tahun, ketika sang anak telah memiliki kemandirian atau setidaknya tidak terlalu bergantung terhadap pengasuhan orang tua, ibu pekerja memiliki kecenderungan untuk menambah jam kerja yang berimplikasi pada kenaikan penghasilan. Jika pekerja wanita mengalami penurunan penghasilan sebagai akibat dari pengasuhan anak (motherhood penalty), sebaliknya pekerja pria cenderung mengalami kenaikan upah ketika mulai memasuki fase sebagai seorang ayah (parenthood premium).
Ilustrasi pembagian ibu dan ayah yang seimbang dalam keluarga. Sumber: Shutterstock
Pekerja wanita memerlukan solusi untuk menjembatani konflik antara tanggung jawab seorang ibu dalam pengasuhan anak dan kebutuhan untuk tetap berpartisipasi dalam dunia kerja. Salah satu solusi yang bisa diberikan untuk setidaknya menekan tingkat absensi pekerja wanita pada jam kerja adalah dengan memberikan pola bekerja secara flexible-hour dan flexible-place. Merujuk pada tren cara bekerja pada saat pandemi COVID-19, work from home secara global memberikan kepuasan kepada para pekerja. Dilansir dari survey yang dilakukan oleh Global Workplace Analytics (2020) 77% responden merasa puas dengan sistem kerja yang fleksibel dan 69% merasakan bahwa sistem kerja yang fleksibel memberikan kebaikan untuk kesehatan mental mereka. Bernhardt et al. (2020) dalam studinya menyatakan bahwa sistem kerja dari rumah sangat baik untuk ibu pekerja karena memungkikan seorang ibu pekerja tetap menjalankan peran sebagai orang tua disamping tugas menyelesaikan pekerjaan kantor. Dengan demikian, konflik antara urusan rumah tangga dan pekerjaan dapat ditekan. Sebagai seorang ibu pekerja yang sampat menikmati fasilitas bekerja dari rumah, penulis tidak menyangkal bahwa sistem kerja yang demikian lebih bermanfaat daripada sistem bekerja ortodoks. Tentunya para perusahaan dan instansi perlu mengembangkan sistem penilaian kinerja yang inovatif untuk memverifikasi kinerja para pegawai yang bekerja secara fleksibel. Sudah saatnya perusahaan dan instansi lebih mengutamakan pencapaian output dibandingkan presensi pegawai dalam penilaian kinerja.
ADVERTISEMENT
Solusi selanjutnya adalah perlunya konsensus di antara masing-masing keluarga, bahwa peran pengasuhan merupakan tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu. Ayah dan ibu dapat bergantian dalam menemani anak dan saling memberi kesempatan untuk berkarya di ruang publik secara proporsional. Kesadaran bahwa pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu bukan semata-mata untuk memenuhi ego wanita dalam berkarir, namun juga untuk membentuk karakter dan emosi anak yang lebih sehat sebagai hasil dari besarnya peran ayah dalam pengasuhan. Sebagai contoh, keikutsertaan ayah dalam kegiatan anak di sekolah yang mewajibkan kehadiran orang tua perlu semakin dipopulerkan. Hal tersebut merupakan bentuk tanggung jawab seorang ayah dalam perkembangan pendidikan keturunannya.
Hasil penelitian Goldin memang tidak dapat mewakili kondisi tenaga kerja wanita secara global dan tidak juga dapat sepenuhnya menghapuskan disparitas upah antara pekerja wanita dengan pekerja pria. Mengatasi kesenjangan gender dalam dunia kerja merupakan masalah yang kompleks. Namun setidaknya, pandangan ini dapat menjadi dasar untuk memahami dan menyusun kebijakan terkait tenaga kerja wanita dalam rangka mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Bernhardt, J., Recksiedler, C., & Linberg, A. (2020). Work from Home and Parenting: Examining the Role of Work‐Family Conflict and Gender During the COVID‐19 Pandemic. Journal of Social Issues . https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9349714/
Global Workplace Analytics. (2020). About the Global Work-from-Home Experience Survey. https://globalworkplaceanalytics.com/global-work-from-home-experience-survey
Goldin, C., Kerr, S. P., & Olivetti, C. (2022). The other side of the mountain: women’s employment and earnings over the family cycle. https://scholar.harvard.edu/goldin/publications
International Labour Organization. (2022). The Gender Gap in Employment: What’s Holding Women Back? https://www.ilo.org/infostories/en-GB/Stories/Employment/barriers-women#intro
UN Women. (2016). Equal Pay for Work of Equal Value. https://www.unwomen.org/en/news/in-focus/csw61/equal-pay
United Nations. (n.d.). The 17 Goals. Retrieved October 24, 2023, from https://sdgs.un.org/goals