Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pelajaran dari Retorika Megawati soal Minyak Goreng
23 Maret 2022 14:17 WIB
Tulisan dari SILVANUS ALVIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri perihal para emak-emak rebutan minyak goreng mengundang kehebohan. Mega menyampaikan hal tersebut dalam acara webinar bertajuk 'Mencegah Stunting untuk Generasi Emas' pada Kamis 17 Maret lalu.
ADVERTISEMENT
Analisis sentimen dilakukan menggunakan aplikasi news media monitoring bernama Media Tool Kit. Kata kunci yang digunakan adalah Megawati Soekarnoputri dan minyak goreng. Pemantauan berbasis aplikasi ini dilakukan di seluruh platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, dan situs-situs (termasuk portal berita daring) dalam rentang 17 Maret hingga 23 Maret 2022.
Dari grafik di atas terlihat perjalanan isu Megawati dan minyak goreng ini pra-viral. Isu ini baru meroket pada 21 Maret 2021. Selain itu, tampak pula dari hasil monitoring Media Tool Kit, terlihat sentimen negatif terhadap pernyataan Megawati.
Data di atas memperlihatkan sebuah temuan unik bahwa isu Megawati ini baru mulai jadi perbincangan atau viral empat hari setelah kejadian. Dalam Ilmu Komunikasi ada teori agenda setting yang dicetuskan oleh McComb dan Donald L. Shaw pada 1968. Asumsi teori tersebut adalah media memiliki kemampuan untuk memberi sorotan terhadap sebuah isu yang dianggap penting.
ADVERTISEMENT
Dari Media Tool Kit ini, diketahui pula pihak-pihak yang menjadi top influencer.
Dari dua data di atas terlihat peran besar dari media arus utama untuk mendorong isu Megawati dan minyak goreng ini jadi perbincangan di publik.
Media juga memiliki sikap terhadap sebuah isu, baik positif atau negatif, yang dapat berimplikasi pada publik. Sikap media online biasanya sudah tampak di judulnya. Mari menengok beberapa judul berita berikut.
Pemaparan ini bukan untuk memperkeruh atau ikut mencibir Megawati, melainkan mengajak para politisi untuk lebih mengasah kemampuan komunikasi politiknya.
ADVERTISEMENT
Dalam kajian komunikasi politik, retorika yang dilontarkan oleh seorang politisi sejatinya bertujuan untuk menarik perhatian publik, sehingga nanti dapat dikonversikan menjadi dukungan politik (dipilih saat Pemilu). Tujuan utama dari komunikasi politik tentunya membangun kepercayaan publik: agar publik bisa mendelegasikan suara mereka untuk diperjuangkan politisi.
Prof. Jonathan Charteris Black dari University of the West of England menegaskan retorika yang diucapkan politisi sebaiknya memperhatikan tiga elemen yang ditekankan oleh Aristoteles, yaitu ethos, logos, dan pathos.
Pernyataan yang disampaikan politisi harus bermoral (ethos), yang dibangun berdasarkan argumen logis (logos), dan mampu mempengaruhi emosi pendengarnya (pathos). Kesuksesan dari retorika politisi ini tampak dari penerimaan sosial (social approval) pasca-pernyataan tersebut disampaikan.
Bukan perkara mudah membuat retorika politik yang baik dan diterima oleh publik. Politisi andal sekalipun membutuhkan bantuan. Sebab, tidak semua politisi adalah Bung Karno, yang mampu beretorika secara impromtu.
ADVERTISEMENT
Presiden Amerika Serikat ke 44, Barrack Obama yang terkenal dengan kemampuan retorikanya ternyata masih memerlukan bantuan dari seorang profesional. Profesional tersebut adalah Jon Faverau. Favreau telah menjadi penulis pidato Obama sejak 2005.
Retorika memang untaian kata-kata, tapi kata-kata tersebut merupakan political brand. Retorika politik wajib memberi kesan bahwa politisi berada di pihak rakyat. Bila tidak demikian, maka argumen atau narasi apa pun tidak dapat mempersuasi rakyat lagi. Dengan kata lain, kepercayaan terkikis.
Secara singkat, dari kasus Megawati dan minyak goreng, ada pelajaran yang dapat kita petik. Pertama, politisi perlu kembali mengasah kemampuan beretorika, utamanya memenuhi tiga elemen: ethos, pathos, dan logos. Kedua, dampak dari retorika yang kurang tepat bisa berkali-kali lipat di era media sosial saat ini: dikritik media arus utama dan jadi buah bibir warganet.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, politik tidak didasari oleh garis keturunan melainkan siapa yang dapat memikat dan menginspirasi pengikut serta publiknya. Selain itu, banyak orang tidak memahami ide atau ideologi, mereka lebih cenderung mempercayai mereka naluri ketika mengevaluasi politisi individu. Publik akan lebih tertarik kepada seorang individu yang menawarkan mereka masa depan yang lebih baik dari masa lalu dan yang memberi mereka harapan dengan membuat segala sesuatu tampak mungkin. Bukan sekadar mengelus dada.