Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Revitalisasi Retribusi Pariwisata: Potensi Ekonomi & Pembangunan Daerah
4 Februari 2025 11:23 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Silvester Arche Pratama Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Revitalisasi retribusi pariwisata di Indonesia adalah kunci untuk meningkatkan potensi ekonomi daerah dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Dengan kekayaan budaya dan alam yang luar biasa, Indonesia memiliki peluang besar untuk memaksimalkan sektor pariwisata melalui pengelolaan retribusi yang efektif. Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman budaya, adat istiadat, dan potensi alam yang luar biasa. Kondisi ini menyebabkan negara kita merupakan salah satu pusat tujuan destinasi wisata yang terkenal di dunia. Dari Sabang sampai Merauke memiliki keunikan dan keindahannya masing-masing yang dapat menarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk datang berkunjung. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan ada sekitar 12,6 juta wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia dari Sabang sampai Merauke melalui pintu darat, laut, dan udara. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir terutama sejak mengalami penurunan signifikan di masa pandemi COVID-19 dan belum termasuk wisatawan domestik yang tentunya jumlahnya lebih besar. Diproyeksikan angka ini akan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya seiring perkembangan pariwisata Indonesia di daerah-daerah selain yang selama ini sudah terkenal di dunia internasional seperti Bali, Lombok, Yogyakarta, Raja Ampat, dan Labuan bajo.
ADVERTISEMENT
Namun meskipun angka wisatawan yang terus bertambah setiap tahun dan sumbangan sektor pariwisata yang signifikan terhadap penerimaan nasional, retribusi tempat wisata yang ada di daerah masih jauh dari potensi optimal yang sebenarnya bisa dicapai. Daerah-daerah di Indonesia kebanyakan masih belum bisa mengelola sistem pungutan retribusi pariwisata secara optimal. Provinsi Bali contohnya sebagai daerah yang telah menerapkan retribusi pariwisata dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2023 tentang Pungutan bagi Wisatawan Asing untuk Perlindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali, penerimaan retribusinya masih belum efisien dan mencerminkan potensi optimal yang dapat diperoleh dari seluruh wisatawan mancanegara yang datang ke Bali.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB Indonesia adalah 3,9% di tahun 2023 dan 4,01% di semester pertama tahun 2024. Dengan perkembangan pariwisata yang begitu pesat sangat disayangkan apabila penerimaan retribusi pariwisata daerah masih belum optimal, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain banyak tempat wisata yang tarif retribusinya rendah, sistem yang belum terintegrasi, dan kurangnya pemanfaatan teknologi dalam pemungutan retribusi.
ADVERTISEMENT
Retribusi daerah di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam hal ini, masing-masing pemerintah daerah berwenang untuk menetapkan tarif, subjek, dasar pengenaan, cara perhitungan, waktu dan tempat pembayaran, serta tata cara penagihan retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Mengapa Revitalisasi Retribusi Pariwisata Penting?
Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, terdapat beberapa kesenjangan yang dapat diidentifikasi dan diperbaiki dalam pelaksanaan pengenaan retribusi pariwisata daerah yang ada di Indonesia. Salah satu permasalahan mendasar adalah sistem yang ada kurang terintegrasi antara objek wisata dengan pemerintah daerah setempat. Kebanyakan daerah masih menggunakan metode manual atau berbasis kas dalam pemungutan retribusi, hal ini bisa menyebabkan adanya ketidakakuratan dan bocornya pendapatan yang seharusnya masuk ke kas daerah. Akan sangat disayangkan apabila tempat-tempat pariwisata daerah di Indonesia yang dapat dikunjungi ratusan ribu wisatawan setiap tahunnya kehilangan potensi penerimaan karena kurang terintegrasinya sistem pembayaran dan pemantauan yang efisien. Permasalahan berikutnya yang perlu dikaji adalah masih banyak pariwisata daerah yang memiliki tarif retribusi sangat rendah apabila dibandingkan dengan kualitas fasilitas dan potensi yang ada. Padahal dengan adanya tarif yang lebih realistis dan sesuai dengan biaya pengelolaan dan konservasi, pemerintah daerah dapat menghasilkan dana lebih banyak untuk perbaikan, pengembangan, dan perawatan sarana prasarana serta fasilitas pariwisata daerah tersebut. Sebagai contoh, tempat pariwisata daerah seperti taman nasional dan cagar alam harusnya memperhatikan biaya operasional dan upaya konservasi dalam komponen tarif retribusi sehingga tarif yang dikenakan sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengelola objek pariwisata daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Penambahan objek sumber retribusi juga perlu dilakukan untuk menambah penerimaan dari retribusi pariwisata daerah. Kebanyakan tempat wisata yang ada di daerah hanya mengenakan retribusi tiket masuk yang merupakan satu-satunya sumber pendapatan. Padahal, dalam hal ini pariwisata daerah memiliki banyak potensi pendapatan yang masih bisa dikenakan retribusi, seperti makanan dan minuman, penginapan, biaya aktivitas tambahan, layanan sewa alat wisata, sewa transportasi khusus, pelayanan khusus (pemandu wisata lokal dan workshop budaya), fasilitas kesehatan dan keamanan, fasilitas khusus keluarga, retribusi sampah dan daur ulang, dokumentasi di tempat wisata tertentu, dan masih banyak lagi. Seperti yang kita ketahui bahwa sektor penginapan dan restoran merupakan penyumbang yang cukup besar dalam ekonomi pariwisata, namun pemungutan retribusinya di kebanyakan pariwisata daerah masih rendah atau bahkan tidak ada.
ADVERTISEMENT
Permasalahan lain yang hampir selalu ada adalah banyak tempat pariwisata daerah yang tidak dikelola dengan baik dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah setempat. Hal ini bisa menyebabkan peningkatan kerusakan lingkungan secara signifikan, kemacetan, dan buruknya kualitas fasilitas yang tersedia di tempat wisata tersebut. Misalnya, pada tempat-tempat wisata yang memiliki keindahan dan daya tarik alam yang luar biasa sering mengalami masalah seperti banyaknya sampah berserakan terutama sampah plastik, pencemaran air, kerusakan hutan dan flora akibat jumlah pengunjung yang tidak bisa dikontrol, rusaknya terumbu karang pada pariwisata bahari, dan sebagainya. Retribusi yang dikumpulkan dari para wisatawan seharusnya dapat dialokasikan untuk membiayai pengelolaan yang lebih baik dan berkelanjutan. Namun, realitanya sering kali penggunaan retribusi yang masuk tidak dikelola dengan transparan dan tidak dimanfaatkan dengan baik untuk pengembangan dan konservasi tempat wisata daerah. Di sisi lain, dalam era digital ini, masih banyak daerah yang belum menerapkan teknologi pembayaran yang efisien. Pembayaran yang ada saat ini kebanyakan masih menggunakan sistem tunai sehingga dapat menyebabkan antrean panjang wisatawan, ketidaknyamanan wisatawan, dan memiliki risiko mengurangi jumlah retribusi yang seharusnya dapat diterima akibat adanya kebocoran pendapatan yang sulit untuk diawasi. Daerah-daerah wisata terkenal di Indonesia seperti Bali dan Yogyakarta telah mengadopsi sistem pembayaran digital, namun hal ini belum diterapkan secara luas di daerah-daerah lain di Indonesia. Padahal, dengan adanya sistem pembayaran digital dapat mengurangi potensi kebocoran pendapatan dan meningkatkan efisiensi dalam pemungutan retribusi pariwisata daerah.
ADVERTISEMENT
Solusi Digital untuk Mengoptimalkan Retribusi Pariwisata Daerah
Dalam upaya untuk meningkatkan efektivitas retribusi pariwisata daerah di Indonesia, kita bisa melihat penerapan pengelolaan pariwisata dan retribusi yang baik dari negara-negara lain. Thailand adalah negara yang juga merupakan salah satu pusat destinasi wisata dunia memiliki pengelolaan retribusi yang baik. Di Thailand, retribusi dikenakan secara terorganisir mulai dari tiket masuk wisata, biaya parkir, hingga berbagai biaya tambahan lain untuk fasilitas wisata yang disediakan. Thailand juga menerapkan pembayaran digital di tempat-tempat pariwisata secara luas baik di tempat wisata utama maupun di fasilitas pendukung lainnya. New Zealand juga bisa dijadikan contoh yang baik bagaimana mengelola retribusi di tempat pariwisata. Di New Zealand, sebagian besar objek wisata berbasis alam dikelola oleh pihak berwenang dan dijaga dengan baik untuk keberlanjutan ekosistemnya. Terdapat retribusi bagi wisatawan yang berkunjung ke tempat-tempat wisata berbasis alam atau tempat konservasi yang tujuannya untuk pendanaan pengelolaan, pemeliharaan fasilitas, dan konservasi alam. Selain itu, New Zealand juga mengembangkan aplikasi digital yang secara luas digunakan untuk membuat pembayaran retribusi lebih efisien dan transparan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga perlu melakukan langkah-langkah untuk mengatasi masalah yang mungkin muncul yaitu menurunnya minat masyarakat akibat revitalisasi tarif dan sistem retribusi. Untuk mengatasi masalah tersebut, solusi yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan sosialisasi manfaat retribusi bagi pembangunan ekonomi daerah dan keberlanjutan objek wisata. Kepercayaan masyarakat dapat dijaga dengan menerapkan tarif yang adil, transparan, dan mempublikasikan alokasi dana retribusi kepada masyarakat. Sinergi yang baik antara pemerintah daerah dengan pihak pengelola dan masyarakat setempat penting untuk dilakukan, selain itu pemerintah daerah dapat memberikan insentif atau potongan harga untuk wisatawan lokal setempat.
Untuk mengoptimalkan penerimaan retribusi daerah melalui sektor pariwisata, revitalisasi sistem retribusi pariwisata daerah di Indonesia adalah hal yang penting untuk dilakukan. Kekayaan dan keindahan alam serta budaya yang dimiliki Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi kekuatan pariwisata yang dapat meningkatkan ekonomi daerah. Terdapat beberapa kesenjangan yang perlu untuk diperbaiki, mulai dari kurang terintegrasinya sistem retribusi, tarif yang perlu disesuaikan kembali dengan potensi objek wisata, diversifikasi sumber retribusi, dan pengelolaan yang lebih berkelanjutan. Langkah ini dapat dimulai dengan melakukan benchmarking dengan negara-negara yang telah berhasil mengelola retribusi sektor pariwisata dengan baik seperti penggunaan teknologi, pembayaran retribusi yang efisien, dan kebijakan tarif yang berkelanjutan. Diharapkan revitalisasi yang dijalankan tidak semata-mata untuk meningkatkan penerimaan pemerintah daerah setempat tapi juga dialokasikan dan memberikan dampak baik bagi tata kelola dan kelestarian lingkungan. Pada akhirnya diperlukan kerja sama antara pemerintah daerah, masyarakat setempat, dan pengelola objek wisata demi menciptakan sistem retribusi pariwisata daerah yang baik dan berkelanjutan, serta menjadikan sektor pariwisata daerah sebagai salah satu pilar utama peningkatan perekonomian daerah. Dengan perbaikan sistem retribusi, sektor wisata daerah dapat mendorong pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT