Fase Puncak Stres Mahasiswa: Andai Saja Skripsi Dihapuskan

Silvia Ekarahayu
Mahasiswa FKIP Universitas Jember Prodi Pendidikan Sejarah Angkatan 2020
Konten dari Pengguna
31 Maret 2023 10:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Silvia Ekarahayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan stres di tempat kerja. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan stres di tempat kerja. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pihak perguruan tinggi masih mewajibkan mahasiswa program S1 semester enam atau tujuh untuk mulai aktif mencari judul, seminar proposal, sidang. Di abad ke-21 ini tentunya penggunaan sejumlah teknologi dan ilmu pengetahuan masih akan terus berkembang, namun dunia pendidikan tinggi masih menerapkan sistem lama.
ADVERTISEMENT
Hal ini berbanding terbalik dengan banyak negara khususnya dunia barat dan timur mulai bersaing untuk menggunakan produk lain. Namun, di Indonesia jika ingin lulus dari universitas, persyaratan kelulusan sarjana mengharuskan mahasiswa menyelesaikan skripsi.
Sebagian kalangan, terutama generasi Z, menganggap fungsi skripsi sudah tidak penting lagi. Di sisi lain, guru besar lain, terutama dosen senior atau yang lebih tua, berpendapat bahwa tugas akhir harus selalu fokus pada penelitian ilmiah.
Mahasiswa perlu mengatasi berbagai rintangan dan ujian yang menantang agar berhasil menyelesaikan esai ilmiah ini. Karena ini adalah upaya yang melelahkan secara mental dan emosional, tidak mengherankan jika sebagian besar mahasiswa menunda mengerjakan tugas akhir mereka sampai orang lain terjebak mengerjakannya terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Tekanan yang muncul saat menulis skripsi atau tugas akhir telah dikaitkan dengan sejumlah dampak negatif bagi mahasiswa, termasuk stres, masalah kesehatan mental, bahkan bunuh diri. Sebagian pihak merasa hal ini tidak adil karena arah perkuliahan empat tahun ke depan hanya ditentukan oleh kumpulan makalah tertulis yang disebut skripsi.
Kandungan lactium dalam susu dapat bekerja sebagai reseptor di otak untuk membantu mengendalikan kecemasan dan stres. Foto: Shutterstock
Lain halnya dengan persyaratan penelitian ilmiah berupa artikel jurnal saja sudah cukup rasanya untuk meluluskan mahasiswa dan mahasiswi selain itu, penelitian ini lebih ringan dan efisiensinya jauh lebih kecil, sehingga para pejuang tugas akhir bisa lulus dengan jangka waktu setahun bahkan lebih awal.
Tantangan zaman yang semakin jelas dan cepat seharusnya diperhatikan betul oleh para pemangku kebijakan, sebenarnya isu penghapusan skripsi sempat muncul di sebuah platform petisi online change.org yang menuntut penghapusan skripsi karena menilai sudah seharusnya skripsi dihapuskan seperti Ujian Nasional (UN). Apabila ini benar terjadi, tentu saja pihak yang paling bahagia adalah mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Mengingat skripsi layaknya beban hidup paling berat bagi para mahasiswa di semester akhir. Penghapusan skripsi berarti sama dengan pembebasan penderitaan bagi mahasiswa. Hal ini laras akan maraknya berita terkait meninggalnya mahasiswa semester akhir lantaran skripsinya kerap mengalami penolakan dari dosennya.
Pada September tahun 2022, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM berinisial TSR (18) tewas bunuh diri dengan cara lompat dari rooftop salah satu hotel di kawasan Colombo, Sleman.
Pada November tahun 2022, juga diduga stres karena skripsi, mahasiswa di Palembang bunuh diri. Mahasiswa tersebut ditemukan tewas gantung diri menggunakan tali nilon sekitar 02.30 WIB. Pemuda bernama Beston Gabrieman L (BGL) merupakan seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Palembang.
Ilustrasi perempuan marah-marah. Foto: wavebreakmedia/Shutterstock
Pada Maret tahun 2023, Seorang mahasiswa Universitas Jambi bernama Gusti Randa ditemukan tewas tergantung di kamar indekosnya di Kecamatan Jaluko, Kabupaten Muaro Jambi. Dia diduga berbuat nekat karena depresi menghadapi banyak persoalan, mulai dari pembuatan skripsi, masalah keuangan, hingga bertengkar dengan kekasihnya.
ADVERTISEMENT
Menurut DeAnnah R. Byrd dan Kristen J. McKinney dalam “Individual, Interpersonal, and Institusional Level Factors Associated with the Mental of College Students” (2012), ada beberapa faktor yang memengaruhi kesehatan mental mahasiswa. Di tingkat individu, kondisi emosional, kognisi, fisik, dan fungsi intrapersonal menentukan kondisi psikis mahasiswa. Selain itu, kemampuan individu dalam hal kepercayaan diri, persepsi terhadap kompetensi dan keahlian, serta kesanggupan mengatasi masalah turut berkontribusi.
Berkaca pada hal di atas, stres atau depresi akan berpengaruh pada kesehatan mahasiswa berikut pendidikan yang sedang mereka jalani apabila tidak segera ditangani. Berbagai cara untuk mengatasi ketegangan kala mengerjakan skripsi pun mesti diusahakan. Upaya kecil seperti membuat rencana kerja, tidur yang cukup, dan meluangkan waktu buat diri sendiri dapat dilakukan agar stres berkurang.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, universitas harus menciptakan kultur di mana stigma terhadap kesehatan mental tak lagi ada sehingga mahasiswa tidak segan untuk meminta pertolongan.