Konten dari Pengguna

Runi, Mimpi, dan Kenyataan

Silvia Wulandari
Journalism Student of Polytechnic State Jakarta
21 Juni 2022 15:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Silvia Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi perempuan yang dikendalikan. Sumber foto: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan yang dikendalikan. Sumber foto: Unsplash.com
Menjadi anak yang baik bagi orang tua dan keluarga, merupakan kewajiban yang diberikan oleh semua orang kepada sang anak. Mengikuti semua perintah dan larangan yang diberikan, seakan adalah tanggung jawab yang tidak boleh dilupakan. Banyak hal yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan kita sendiri karena harus patuh kepada aturan mereka.
ADVERTISEMENT
Terlahir sebagai gadis minang yang memiliki banyak aturan untuk perempuan, ditambah lagi dengan keluarga yang masih sangat kental adatnya, membuat Runi harus merelakan banyak mimpi yang ia punya.
Gadis manis penyuka coklat itu merasakan tekanan dari banyak pihak, entah itu dari sang ibu, ayah, keluarga ibu, keluarga ayah, bahkan tetangga sekalipun. Ia banyak diatur dalam menjalani hidupnya, tidak boleh melakukan ini, tidak boleh melakukan itu, harus begini, dan harus begitu. Sepertinya kehidupan yang Runi jalani bukanlah miliknya sendiri.
Sedari kecil ia telah dituntut untuk bisa melakukan apa-apa sendiri, dengan dalih harus mandiri karena merupakan anak pertama. Di usia remaja ia kembali dituntut untuk bisa menjaga adik-adiknya, mengajari apa-apa yang tidak diketahui oleh mereka. Meski, belum tentu juga Runi paham dan mengerti harus berbuat apa.
ADVERTISEMENT
Tidak sebatas menjadi guru untuk sang adik, Runi juga dituntut untuk bisa ini dan itu meski ia tidak menyukainya. Runi amat menyukai seni tari, namun orang tuanya selalu melarang Runi untuk menekuni itu. Bagi keluarga Runi, menari didepan orang banyak seperti itu tidak sopan dan tidak enak dipandang sebagai gadis minang yang baik. Bahkan meski itu adalah seni tari tradisional, Runi tidak mengantongi izin dan restu orang tuanya untuk melakukan itu.
Bagi kedua orangtuanya, gadis yang baik itu adalah gadis yang diam saja dirumah, melakukan pekerjaan rumah dengan baik, dan belajar dengan sungguh-sungguh. Jika sudah waktunya nanti menikah dengan lelaki minang yang baik pula.
Tidak sampai disana, Runi juga harus menyerah untuk cita-citanya. Sedari kecil Runi bermimpi untuk menjadi seorang Penulis yang hebat, ia ingin membuat banyak karya yang disukai banyak orang. Namun kembali lagi kepada kenyataan bahwa orang tuanya tidak mendukung itu semua. Sebagai anak pertama, Rumi diharapkan bisa mendapat pekerjaan yang jelas dan tetap agar bisa menjadi tumpuan adiknya kelak.
ADVERTISEMENT
Terkadang Runi sangat lelah dengan semua yang dituntut oleh orang tuanya, semua beban itu diberikan kepadanya. Tapi ia tidak diperbolehkan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Meski begitu, Runi masih merasa sedikit beruntung karena tetap diperbolehkan untuk melanjutkan pendidikannya.
Mungkin terdengar sepele untuk orang-orang yang dengan mudah mendapatkan izin untuk kuliah, tapi tidak dengan Runi. Karena dalam keluarga besar Runi, anak perempuan itu tidak harus memiliki pendidikan yang tinggi. Runi diminta cukup jadi gadis yang baik agar bisa bertemu lelaki minang yang baik pula. Pemikiran kuno keluarganya inilah yang membuat beban Runi semakin berat.
Sifat patriarki yang selalu diturunkan dari leluhurnya ini amat sangat ingin Runi hilangkan. Ia tidak mau perempuan seperti dirinya dipandang sebelah mata bahkan di dalam keluarga sendiri. Perlahan namun pasti saat ini Runi mulai menepis sifat itu dari keluarganya, meski itu terasa sangat susah mengingat ia terlahir dalam keluarga yang budaya dan adatnya yang masih kental.
ADVERTISEMENT
Runi tidak masalah dengan kentalnya adat dalam keluarganya, ia masih bersyukur atas hal itu. Tapi tidak dengan sifat patriarki ini, ia sudah lelah dengan perlakuan tidak adil orang-orang terhadap perempuan seperti dirinya.
Ia sangat berharap kedepannya sifat patriarki itu ditanggalkan, tidak hanya dalam keluarganya tapi juga di masyarakat umum. Karena pada kenyataannya saat ini masih banyak yang menggunakan sifat patriarki ini, padahal antara laki-laki dan perempuan itu tidak boleh dibedakan karena semuanya memiliki hak yang sama.
(Silvia Wulandari/Politeknik Negeri Jakarta)