Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Rasa Iri terhadap Teman, Apakah Wajar?
17 Desember 2020 16:27 WIB
Tulisan dari Silvia Putri Alisya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Iri bukanlah suatu hal yang baru-baru ini dirasakan oleh kita. Sebaliknya, sejak kecil rasa iri sudah dapat diamati, seperti mendapati seorang teman membeli mainan baru yang tidak bisa kita miliki. Dapat diamati dari awal perkembangan seorang anak, rasa iri selalu dimaknai dengan konotasi yang negatif. Beranjak dewasa, rasa iri dalam diri manusia juga mulai bergeser. Bukan hanya mainan melainkan fisik, kekayaan, dan kepintaran juga dapat dijadikan sebagai objek rasa iri dari seseorang. Ini dapat memberi poin penting bahwa rasa iri tersebut tidak mengenal usia, fisik, dan bahkan jenis kelamin.
ADVERTISEMENT
Iri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti cemburu, sirik, dengki, dan kurang senang apabila melihat kelebihan orang lain. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, rasa iri yang timbul akan lebih tinggi dengan situasi usaha rendah yang menyebabkan kesuksesan dibandingkan dengan situasi usaha tinggi yang menyebabkan kesuksesan (Armalita & Helmi, 2018). Jadi, tolak ukur rasa iri tidak hanya berpijak pada hasil yang diperoleh, tetapi juga disertai dengan beberapa faktor lainnya, seperti usaha yang telah dilakukan oleh objek rasa iri tersebut.
Iri memiliki perbedaan dengan bentuk emosi manusia yang lain. Kita dapat dengan mudah melihat dan mengetahui apakah seseorang sedang marah, sedih, takut, dan lainnya. Bahkan tidak sedikit orang yang dapat menunjukkan bentuk emosi tersebut dan merasa bangga dengannya. Namun sebaliknya, sangat jarang orang yang mau dengan mudahnya mengakui bahwa dia sedang merasakan iri. Akan banyak sangkalan dan sanggahan yang diucapkan seseorang untuk menolak bahwa ia sedang merasa iri, seperti “Aku juga sebenarnya ga suka itu kok, tapi ...” atau “Aku sih ga iri ya, cuma ….”
ADVERTISEMENT
Rasa iri dapat muncul biasanya hanya dalam lingkup yang kecil. Kita dapat merasa iri dengan sesama anggota keluarga, seperti kakak dan adik. Rasa iri dalam keluarga ini dapat terjadi karena kita merasa memiliki hak dan kedudukan yang sama di dalam keluarga. Selain itu, rasa iri juga dapat muncul dalam lingkup pertemanan. Teman merupakan objek yang seringkali kita temui dan kita merasa telah mengetahui bagaimana usaha dan kemampuan dari orang tersebut. Hampir tidak mungkin untuk kita merasa iri dengan orang yang baru saja kita kenal.
Rasa iri biasanya dapat timbul apabila kita menganggap objek rasa iri tersebut memiliki kemampuan dan tingkatan yang setara dengan kita. Kita dapat merasa iri dengan teman sebaya karena merasa mengetahui bagaimana kemampuan dan keberhasilan yang dapat dicapai oleh orang tersebut. Kecil kemungkinan untuk kita dapat merasa iri dengan seseorang yang memiliki kemampuan jauh melebihi kita, seperti artis, ilmuwan, dan tokoh-tokoh penting lainnya. Biasanya rasa yang timbul dalam kondisi tersebut hanya terbatas pada kekaguman atas pencapaian yang orang tersebut raih.
ADVERTISEMENT
Alasan lainnya mengapa rasa iri ini dapat muncul adalah ketika kita merasa terancam dengan keberadaan objek rasa iri tersebut. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa rasa iri muncul karena kita merasa memiliki kemampuan yang sama dengan orang tersebut. Oleh karena itu, keberadaannya akan terasa mengancam apabila dia mencapai suatu keberhasilan yang melebihi apa yang kita dapatkan. Itulah mengapa akhirnya kita dapat merasa iri atas suatu keberhasilan yang orang lain peroleh.
Rasa iri biasanya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, rasa iri dapat menimbulkan kondisi Schadenfreude. Schadenfreude berasal dari kata schaden yang artinya kerusakan dan freude yang berarti sukacita. Jadi, Schadenfreude yaitu kondisi seseorang yang akan merasa senang dengan ketidakberuntungan orang lain ketika hal ini memberikan perbandingan sosial yang dapat meningkatkan perasaan harga diri mereka. Schadenfreude memang dapat timbul tanpa memerlukan rasa iri. Namun, rasa iri ini dapat menjadi faktor munculnya kondisi tersebut (Abdillah, 2019).
ADVERTISEMENT
Kemudian, apakah rasa iri terhadap seseorang itu merupakan hal yang wajar? Sebagai manusia yang selalu berkompetisi dalam belajar dan bekerja, rasa iri seharusnya merupakan hal yang wajar. Kita selalu berusaha melakukan sesuatu untuk memperoleh hasil yang maksimal. Namun, apabila suatu ketika menemui suatu pencapaian yang kita anggap tidak setimpal dan hasil yang kita inginkan justru didapatkan oleh teman kita, rasa iri yang kita rasakan merupakan hal yang wajar karena kita sedang berada dalam pertandingan dan memperebutkan kemenangan yang sama.
Perlu diingat bahwa rasa iri yang kita rasakan memang merupakan hal yang wajar. Namun, apa yang kita lihat dari suatu pencapaian orang lain merupakan sebagian kecil dari kehidupannya. Kita hanya mengetahui hasil dan sedikit usaha yang telah dia lakukan. Kita tidak mengikuti bagaimana proses awal hingga akhir secara detail usaha yang telah objek rasa iri kita lalui. Kita juga tidak dapat melakukan penilaian secara objektif atas usaha yang telah dilakukan oleh orang tersebut karena kita sudah terpengaruh dengan bias.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, rasa iri yang berdasarkan definisinya merupakan rasa kurang suka atas pencapaian yang orang lain lakukan adalah suatu emosi yang wajar kita rasakan. Rasa iri ini biasanya dapat kita tujukan kepada orang yang memiliki hubungan yang dekat dengan kita. Walaupun demikian, kita tetap harus berada dalam batas yang wajar dan jangan sampai menimbulkan bentuk emosi yang lain, seperti Schadenfreude karena kita hanya mengetahui sebagian kecil atas proses dan pencapaian yang orang lain dapatkan.
Daftar Pustaka
1. Abdillah, Aufa. (2019). Pengaruh iri hati terhadap munculnya schadenfreude. Indonesian Journal of Islamic Psycology, 1(2), 385-309. https://doi.org/10.18326/ijip.v1i2.285-309
2. Armalita, L., & Helmi, A. F. (2018). Iri di situs jejaring sosial: Studi tentang teori deservingness. Jurnal Psikologi, 45(3), 218-230. https://doi.org/10.22146/jpsi.33313
ADVERTISEMENT
3. Lalankaran. (Host). (2019). Introspeksi iri [Audio Podcast]. Soundcloud.com. https://soundcloud.com/lalangkaran/meninjau-iri