Kesusastraan Indonesia Periode Orde Baru

Silvia Dewi Rahmawati
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
14 Mei 2022 11:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Silvia Dewi Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Tangkapan layar saat presentasi perkuliahan Sejarah Sastra Indonesia Modern.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Tangkapan layar saat presentasi perkuliahan Sejarah Sastra Indonesia Modern.
ADVERTISEMENT
Sastra pertama kali muncul dari ketertarikan pengarang pada kondisi sosial dan munculnya ketegangan tentang budaya mereka. Sastra sering dihadirkan sebagai potret masyarakat yang menggambarkan keadaan masyarakat pada waktu itu. Sastra memberikan pemahaman yang unik tentang konteks sosial, keyakinan, cita-cita dan harapan individu yang benar-benar mewakili kebudayaan mereka.
ADVERTISEMENT
Artikel ini mengulas tentang kesusastraan Indonesia pada masa orde baru dengan tujuan agar pembaca dapat lebih mengenal kesusastraan Indonesia pada masa Orde Baru.
Kesusastraan Indonesia adalah potret sosial budaya bangsa Indonesia dalam sejarah, cerminan ketakutan budaya, dan ekspresi gagasan bangsa Indonesia. Pada periode Orde Baru dimulai dari tahun 1966-1988, yang ditandai dengan keluarnya surat perintah Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966 oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto yang berisi bahwa pemerintah melarang untuk melihat, menyimpan, dan mendistribusikan beberapa buku sastra.
Menurut Keith Foulcher tahun 1988, pada salah satu Majalah Prisma No. 8 memaparkan perkembangan sastra Indonesia selama 22 tahun (1966-1988) pada masa Orde Baru. Dalam tulisannya, Foulcher menjelaskan bahwa ada dua generasi sastra Indonesia, yaitu generasi 1945 yang merupakan generasi Indonesia terakhir yang dididik di Belanda, dan generasi baru yang berorientasi masyarakat (1950-an) yang dididik di Indonesia. Generasi keduanya tergabung ke dalam kelompok ideologis seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang dominan pada 1960-an.
ADVERTISEMENT
Tahun 1960-an mungkin merupakan periode tergelap dalam sejarah maupun kesusastraan Indonesia. Pada tahun 1960-an tidak terlepas dari konflik antara Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Perbedaan dasar-dasar dalam berkarya memicu tumpang tindih antara kedua kelompok tersebut. Lekra yang mendukung realisme sosialis, sangat berbeda dengan humanisme universal yang terus dianut oleh Manikebu. Lekra memiliki arti yang lebih spesifik yang membawa seni kepada orang-orang, tetapi Manikebu membawa seni untuk seni. Kedua prinsip inilah yang menjadi perbedaan antara karya-karya pengarang Lekra dan Manikebu, terutama dalam kaitannya dengan pendapat dari masing-masing karya sastra.
Foulcher menyatakan bahwa perkembangan awal sastra Indonesia pada masa Orde Baru adalah perluasan karya sastra yang tidak mendapat tempat dari awal 1960 hingga 1965, ketika loyalitas terhadap kekuasaan pemerintah meluas. Dalam bidang prosa, Danarto menciptakan cerita pendek bergenre fantasi. Cerita pendek yang dibicarakan Foulcher adalah "Rintrik" yang memenangkan kehormatan majalah Horison pada tahun 1968.
ADVERTISEMENT
Menurut Foulcher, sebagian besar cerpen Danarto tentang God lob memuat gambaran kompleksitas pengalaman. Di bidang puisi, muncul Subagio Sastrowardoyo yang menggunakan simbolisme dalam puisi "Salju" (1970) yang ditulis di perbatasan. Danarto maupun Subagio Sastrowardoyo tidak percaya pada kata-kata, karena kata-kata memaksakan definisi pengalaman yang ketat. Mereka akhirnya menggunakan simbol yang sangat individualistis untuk menangkap makna pengalaman.
Keith Foulcher menyatakan bahwa terjadinya perubahan dalam sastra Indonesia sekitar tahun 1965. Terdapat pola perhatian dalam hubungan antara perkembangan sastra, isu sosial dan politik, upaya untuk menemukan ekspresi fiksi yang cocok, menyampaikan retorika puisi, serta perdebatan tentang hubungan antara seni dan masyarakat. Maka semuanya akan diganti dengan pola yang baru.
Pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, Keith Foulcher semakin subjektif dalam usahanya untuk mengenal dunia sampai pada titik monopoli. Bahwa bahasa yang merupakan simbol yang unik, dan internasionalisme yang mengancam tiruan kuno. Pada waktu itu, Danarto menjadi penulis terkenal, bahkan menjadi lebih penting karena antologi cerpennya. Adam Ma'rifat diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka (1982), akan tetapi Foulcher mengkritiknya karena secara bertahap mulai kehilangan vitalitasnya dibandingkan dengan cerita-cerita sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Munculnya Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto telah menekan kebebasan individu. Banyak penulis tidak dapat dengan jelas melaksanakan penulisan sastranya. Ada juga larangan media massa untuk mencegah pengebirian akibat tatanan sosial baru. Seno Gumira menganjurkan jenis doktrin yang sangat menarik: "Ketika pers diam, sastra berbicara".
Namun Seno memahami bahwa banyak penulis telah dikebiri, sehingga Seno menggunakan lebih banyak simbol faktual daripada yang diterima dalam karyanya. Sejarah sastra kita membuktikan bahwa kita sebenarnya suka menghadapi pidato-pidato yang menendang dan berakhir dengan semacam manifesto, gerakan, bahkan deklarasi budaya. Melihat lebih dalam tentang keterbacaan sastra, di mana kita dapat melihat dinamika sejarah sastra, ruang kontrol telah di modernisasi dan kritik keras menyebar dari penelitian akademis palsu ke teori sastra jalanan.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Erowati, Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Tangerang Selatan: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.