Konten dari Pengguna

Kematian yang Bermartabat : Memilih antara Kualitas Hidup atau Hidup Panjang

Silviana Dewi Susilowati
Mahasiswa S1 Ilmu Keperawatan Universitas Jember
4 November 2024 11:25 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Silviana Dewi Susilowati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://img.freepik.com/free-photo/close-up-nurse-comforting-ill-patient-hospital-ward_482257-14073.jpg?t=st=1730693000~exp=1730696600~hmac=f0acf78c197089e85c78310527a03ac7d2de70f4d2d39305c4b89572bfc4feff&w=900
zoom-in-whitePerbesar
https://img.freepik.com/free-photo/close-up-nurse-comforting-ill-patient-hospital-ward_482257-14073.jpg?t=st=1730693000~exp=1730696600~hmac=f0acf78c197089e85c78310527a03ac7d2de70f4d2d39305c4b89572bfc4feff&w=900
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, ribuan orang menghadapi pertanyaan sulit : Apakah lebih baik hidup dalam penderitaan atau memilih kematian yang bermartabat? Dalam perjalanan hidup, kita sering kali dihadapkan pada berbagai pilihan yang sulit, namun tidak ada keputusan yang lebih mendalam dan kompleks daripada yang harus diambil pada akhir hidup. Konsep kematian yang bermartabat mempertimbangkan bahwa tidak hanya tentang berapa lama kita hidup, tetapi juga tentang bagaimana kita hidup, terutama di saat-saat terakhir (McATEER et al., 2013). Tercatat lebih dari 56,8 juta orang membutuhkan perawatan paliatif diseluruh dunia. Dengan adanya perawatan paliatif memberikan dampak yang signifikan, salah satunya pada segi ekonomi. Tercatat bahwa banyak rumah sakit di seluruh dunia menghemat biaya perawatan, termasuk di Indonesia menunjukan bahwa pada penelitian di RSUPN dr. Cipto mangunkusumo menunjukkan adanya penurunan pembiayaan satu episode perawatan sebesar 2,7 juta rupiah per pasien pada kanker terminal(Kementerian Kesehatan RI, 2023).
ADVERTISEMENT
Definisi Kematian yang Bermartabat
Kematian sering kali menjadi kekhwatiran ekstensial utama umat manusia yang dapat menyebabkan kecemasan parah dan menyebabkan manusia menjadi denia. Kematian merupakan momen akhir kehidupan serta proses transisi yang waktunya tidak dapat diprediksi kapan dan dimana, bahkan oleh teknologi yang canggih (Rafii & Abredari, 2023). Menurut penelitian Martí-García dkk. (2020) kematian bermartabat merupakan kematian tanpa rasa sakit, memiliki kualitas hidup terbaik dan ketika di akhir hidup dikelilingi oleh orang-orang terkasih. Sedangkan menurut Park & park. (2021) kematian bermartabat yakni kita dapat menjaga kenyamanan emosional pasien dan juga otonomi pasien. Selain itu kematian bermartabat menurut Reckziegel & Coninck (2016) merupakan Pasien meninggal dalam lingkungan perawatan estetika dan etis, bebas dari rasa sakit, mencegah penderitaan. Jadi dapat kita simpulkan bahwsannya kematian bermartabat yaitu proses meninggal yang bebas dari rasa sakit dan penderitaan, dengan kualitas hidup yang optimal, di lingkungan yang mendukung otonomi serta kenyamanan emosional pasien, sambil dikelilingi oleh orang-orang terkasih.
ADVERTISEMENT
Kematian dalam perawatan paliatif dianggan sebagai suatu bagian dari kehidupan dan hal ini merupakan hal yang normal terjadi pada setiap manusia. Akhir kehidupan tentunya perlu dipersiapkan untuk mencapai kualitas hidup yang baik dan kematian yang damai dan bermartabat (Kementerian Kesehatan RI, 2023). Konsep mati dengan bermartabat dalam perawatan pasien stadium akhir yakni melibatkan pemenuhan kenyamanan fisik, dukungan emosional, serta rasa aman psikologis dan sosial pada pasien. Termasuk kontrol gejala seperti mengurangi nyeri, sesak napas, dan kecemasan, serta perawatan spiritual untuk menghormati kebutuhan agama dan budaya pasien (Rafii & Abredari, 2023). Sesuai dengan fokus dari perawatan paliatif pada pasien yang berada pada fase akhir kehidupan yaitu dengan memberikan pelayanan yang terbaik untuk memberikan dukungan kepada psien dan juga keluarga, mengidentifikasi kebutuhan serta mempersiapkan kebutuhan penatalaksanaan fase akhir kehidupan. Kita sebagai perawat perlu mempersiapkan dan memperhatikan kondisi dan pilihan pasien pada masa akhir kehidupan untuk mencapai sisa kehidupan yang berkualitas dan juga kematian yang damai dan bermartabat dan tidak hanya fokus pada perpanjangan hidup semata (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
ADVERTISEMENT
Kualitas Hidup Vs. Perpanjangan Hidup
Kemajuan teknologi medis telah memperpanjang umur harapan dan mengubah norma alami kematian. Tujuan utama perawatan akhir hidup adalah mengurangi penderitaan pasien semaksimal mungkin sambil menghormati keinginan mereka. Salah satu dilema yang muncul dalam hal ini adalah memilih antara memperpanjang hidup pasien dengan bantuan teknologi medis, atau memungkinkan pasien mengalami kematian yang tenang tanpa intervensi berlebihan. Seperti yang kita ketahui bahwasannya kuantitas hidup sering kali melibatkan penggunaan alat bantu seperti vntilasi maupun nutrisi buatan.dengan penggunaan alat bantu tersebut dapat membantu memperpanjang hidup pasien, namun seringkali hal ini tidak disertai dengan peningkatan kualitas hidup pasien. Di sisi lain, kualitas hidup lebih menitikberatkan pada mengelola gejala agar pasien merasa nyaman tanpa perlu memperpanjang masa hidupnya secara artifisial. Ini memungkinkan pasien mengalami sisa hidupnya dengan lebih sedikit rasa sakit dan lebih banyak waktu bermakna bersama keluarga, tanpa terikat dengan prosedur medis yang invasive. Sebagai contoh, seorang pasien kanker stadium lanjut mungkin dihadapkan pada keputusan untuk melanjutkan kemoterapi, yang bisa jadi menyakitkan dan melelahkan, atau memilih untuk menghentikan pengobatan dan memasuki perawatan paliatif yang lebih berfokus pada kenyamanan. Pilihan ini tidak hanya melibatkan pertimbangan medis, tetapi juga emosional, etis, dan sosial. (Akdeniz et al., 2021)
ADVERTISEMENT
Dempsey dan Mulder menggarisbawahi bahwa memperdebatkan antara kuantitas hidup (memperpanjang usia dengan perawatan agresif) dan kualitas hidup (fokus pada kenyamanan dan mengurangi penderitaan) sering kali merupakan pilihan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kompleksitas perawatan akhir hidup. Mereka berpendapat bahwa memaksa pasien untuk memilih antara dua opsi ini bisa mengabaikan nilai-nilai dan harapan pribadi pasien (Dempsey & Mulder, 2023). Dalam contoh yang mereka berikan, pasien dengan ALS awalnya menolak semua intervensi medis karena takut hidup bergantung pada teknologi. Namun, ketika kondisinya memburuk, pasien menemukan bahwa perawatan seperti ventilasi dan nutrisi tambahan justru meningkatkan kenyamanan dan memungkinkan lebih banyak waktu bermakna bersama keluarga.
Oleh karena itu penting bagi tenaga kesehatan untuk dapat memberikan keseimbangan dan menyelaraskan antara kualitas dan juga kuantitas hidup pasien dengan tetap mengedepankan hak dan juga otonomi pasien dalam pengambilan suatu keputusan. Memberi kesempatan kepada pasien untuk memilih perawatan yang selaras dengan tujuan hidup mereka entah itu memperpanjang waktu bersama keluarga atau menjalani sisa hidup tanpa rasa sakit, menunjukkan bentuk empati dan penghormatan terhadap martabat pasien daalam mencapai kematian yang damai dan manusiawi. Yang tak kalah penting adalah dengan mempertahankan prinsip Nonmaleficence yang merupakan prinsip menahan diri dari menyebabkan kerusakan yang tidak perlu dan melakukan peraawatan yang sia-sia.
ADVERTISEMENT
Peran Perawat dalam Perawatan Akhir Kehidupan
Perawat berada di garis depan perawatan yang diberikan kepada pasien yang mendekati akhir hidup mereka dan keluarga mereka. Perawat memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat penting terhadap pasien dan keluarganya dalam merawat pasien yang terminal. Perawat memiliki tanggung jawab penting dalam membantu pasien mencapai kematian yang nyaman dan bermartabat. Perawat memainkan peran krusial sebagai penghubung informasi antara pasien, keluarga, dan tim perawatan kesehatan, terutama dalam konteks perawatan akhir hayat (EOL). Perawat juga berfungsi sebagai mediator yang mengkoordinasikan komunikasi antara keluarga dan tim medis, memfasilitasi pertemuan dan diskusi penting untuk memastikan bahwa semua pihak terlibat dan memahami situasi dengan jelas. Keberadaan perawat sebagai pendukung emosional juga sangat penting, di mana mereka membangun hubungan saling percaya dengan anggota keluarga, menunjukkan empati, dan membantu mereka menavigasi proses pengambilan keputusan yang sulit. Dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan perawatan serta prosedur medis, perawat dapat mengurangi kecemasan dan ketidakpastian yang sering dialami oleh keluarga (Adams et al., 2011).
ADVERTISEMENT
Dengan pengamatan yang mendalam terhadap respons pasien terhadap perawatan, perawat dapat mengidentifikasi kebutuhan akan perawatan akhir hidup dan berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya untuk menentukan pendekatan terbaik. Perawat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa intervensi yang diberikan berfokus pada kenyamanan pasien dan bukan sekadar memperpanjang hidup tanpa makna. Mereka berperan dalam proses pengambilan keputusan, membantu pasien dan keluarga memahami kondisi mereka, serta mempertimbangkan preferensi dan nilai-nilai pasien. Dalam peralihan ke perawatan akhir hayat, perawat juga berfungsi sebagai advokat untuk hak-hak pasien, memastikan bahwa keputusan yang diambil selaras dengan keinginan pasien. Perawat harus memberikan perawatan akhir hidup yang holistik, mendukung baik pasien maupun keluarganya, dengan fokus pada manajemen nyeri dan aspek spiritual. Selain itu kita sebagai tenaga kesehatan harus bisa menciptakan lingkungan yang aman dan damai, sehingga pasien dapat mengakhiri hidup dengan dihormti, dikelilingi oleh orang orang terkasih, atau bahkan menjadi pelindung bagi pasien yang meninggal sendirian (Nacak & Erden, 2022).
ADVERTISEMENT
Perspektif Pasien dan Keluarga
Hidup dan mati dengan bermartabat adalah nilai-nilai mendasar dalam perawatan paliatif, tidak hanya untuk pasien tetapi juga untuk anggota keluarga. makna mati dengan bermartabat, ditemukan sebagai proses di mana signifikansi aspek martabat intrinsik (terkait dengan diri) dan ekstrinsik (terkait dengan orang lain) berubah selama penyakit yang semakin parah.
Perspektif pasien tentang kematian yang bermartabat mencerminkan keinginan kuat untuk mempertahankan kendali diri dan otonomi, khususnya dalam menghadapi keterbatasan fisik. Bagi sebagian besar pasien, martabat berkurang seiring dengan hilangnya kemampuan menjalankan fungsi tubuh atau aktivitas sehari-hari. Misalnya, ketidakmampuan untuk buang air secara mandiri atau melakukan aktivitas dasar seperti berpakaian menyebabkan mereka merasa seolah kehilangan nilai diri, yang pada akhirnya mengikis harga diri dan makna hidup mereka. Hal ini menciptakan ketergantungan yang sering kali dirasa memalukan dan merendahkan, yang mempengaruhi bagaimana mereka menilai hidup mereka sendiri. Dalam kondisi ini, hilangnya kontrol dan ketergantungan pada orang lain menjadi simbol hilangnya martabat mereka. Pada sisi lain, martabat bagi pasien juga terikat erat dengan konsep identitas diri. Ketika mereka kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri atau merasakan otonomi atas tubuh dan tindakan mereka, pasien sering merasa identitas mereka sebagai individu yang utuh mulai memudar. Mereka tidak lagi merasa "hidup" dalam arti yang sesungguhnya, tetapi lebih sebagai "objek" yang dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain tanpa otonomi. Mereka merasa menjadi beban bagi keluarga dan orang orang sekitar ketika mereka kehilangan peran sosial dan mulai ketergantungan pada orang lain sehingga hal ini dapat menyebabkan perasaan bahwa mereka hidup ini tidak lagi berarti (Rodríguez-Prat et al., 2016)
ADVERTISEMENT
Situasi anggota keluarga orang yang sakit parah seringkali menuntut baik dalam dimensi praktis maupun emosional kehidupan sehari-hari. Hal ini berdampak pada bagaimana anggota keluarga menjunjung tinggi martabat mereka. Keluarga mengaitkan martabat dengan beberapa aspek penting, seperti penghargaan terhadap identitas, keterhubungan dengan orang yang mereka cintai, dan kenyamanan dalam menjalani situasi akhir kehidupan tersebut. Pertama, keluarga merasa martabat mereka terjaga ketika identitas mereka sebagai individu dihargai oleh tenaga kesehatan. Mereka menghargai kesempatan untuk berbagi cerita dan pengalaman hidup pasien, terutama ketika tenaga kesehatan benar-benar mendengarkan dan menghargai pengetahuan mereka tentang pasien. Rasa martabat ini terganggu ketika tenaga kesehatan bersikap seolah-olah lebih tahu tanpa mempertimbangkan masukan keluarga, yang dapat membuat keluarga merasa tidak dihargai. Kedua, perasaan terhubung dengan pasien dan keluarga besar adalah bagian penting dalam menjaga martabat. Keluarga sering kali merasa bahwa merawat pasien adalah bentuk penghormatan terhadap ikatan cinta mereka. Meski terkadang merasakan beban emosional yang berat, mereka melihat peran ini sebagai kehormatan dan wujud cinta. Bahkan, memberikan izin kepada pasien untuk meninggal dianggap sebagai bentuk kasih sayang yang mendalam. Kedua, perasaan terhubung dengan pasien dan keluarga besar adalah bagian penting dalam menjaga martabat. Keluarga sering kali merasa bahwa merawat pasien adalah bentuk penghormatan terhadap ikatan cinta mereka. Meski terkadang merasakan beban emosional yang berat, mereka melihat peran ini sebagai kehormatan dan wujud cinta. Bahkan, memberikan izin kepada pasien untuk meninggal dianggap sebagai bentuk kasih sayang yang mendalam (Sandgren et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Pandangan Etis dan Moral
Perspektif etika, legal, dan moral terkait pemberian makanan pada akhir hayat menunjukkan kompleksitas dalam pengambilan keputusan yang melibatkan martabat dan hak pasien. Secara etis, pemberian makanan buatan menimbulkan dilema antara kewajiban mempertahankan hidup dan menjaga kenyamanan serta martabat pasien. Etika menekankan pentingnya menghormati kualitas hidup dan hak pasien untuk meninggal dengan damai, terutama ketika tubuh sudah tidak mampu menerima makanan secara alami. Dari sisi hukum, otonomi pasien diakui di banyak negara seperti Kanada dan Amerika Serikat, yang memberikan hak kepada pasien atau wakil hukum mereka untuk menolak perawatan, termasuk nutrisi buatan, sesuai keputusan pribadi atau panduan sebelumnya. Dalam beberapa budaya, makanan merupakan simbol kasih sayang dan menghentikannya dianggap tidak manusiawi, sementara dari sudut pandang medis, menghentikan nutrisi seringkali justru memberikan akhir hidup yang lebih damai. Dengan demikian, pengambilan keputusan di akhir hayat membutuhkan pendekatan yang mempertimbangkan aspek etika, hukum, dan moral agar dapat memberikan perawatan yang selaras dengan nilai-nilai dan keinginan pasien serta keluarganya (Henry, 2020)
ADVERTISEMENT
Isu legal dan etika dalam perawatan akhir hidup mencakup berbagai aspek yang kompleks dan sensitif, terutama terkait keputusan untuk memperpanjang atau menghentikan dukungan hidup bagi pasien yang sakit parah atau dalam kondisi kritis. Dari segi etika, ada prinsip otonomi yang menghormati hak pasien untuk membuat keputusan sendiri atas perawatan mereka, termasuk menerima atau menolak tindakan medis yang dapat memperpanjang hidup(Singh, 2020) Secara legal, di beberapa negara, hak otonomi pasien untuk menolak perawatan sudah terlindungi, namun masih ada banyak tantangan dalam penerapannya, terutama ketika menghadapi kasus-kasus yang kompleks dan melibatkan nilai-nilai emosional. Pendekatan yang kolaboratif dan komunikasi terbuka antara keluarga, pasien , serta tenaga kesehatan akan sangat membantu dalam menciptakan keputusan yang bermartabat serta sesuai dengan kehendak dan keyakinan pasien dan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Konsep "Kematian yang Bermartabat" menekankan bahwa di akhir hayat, kualitas hidup lebih penting daripada sekadar memperpanjang umur. Dengan perawatan paliatif, pasien dapat menjalani sisa hidup tanpa rasa sakit yang berlebihan dan dalam suasana yang nyaman, memungkinkan pasien menikmati waktu bermakna bersama keluarga. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi penderitaan pasien tetapi juga mengurangi beban biaya, sehingga mendukung keputusan yang menghormati otonomi dan martabat pasien tanpa terfokus hanya pada perpanjangan hidup.
Referensi :
Adams, J. A., Bailey, D. E., Anderson, R. A., & Docherty, S. L. (2011). Nursing Roles and Strategies in End-of-Life Decision Making in Acute Care: A Systematic Review of the Literature. Nursing Research and Practice, 2011, 1–15. https://doi.org/10.1155/2011/527834
ADVERTISEMENT
Akdeniz, M., Yardımcı, B., & Kavukcu, E. (2021). Ethical considerations at the end-of-life care. SAGE Open Medicine, 9. https://doi.org/10.1177/20503121211000918
Del Mar Díaz-Cortés M, Granero-Molina J, Hernández-Padilla JM, Pérez Rodríguez R, Correa Casado M, Fernández-Sola C. Promoting dignified end-of-life care in the emergency department: A qualitative study. Int Emerg Nurs. 2018;37:23–8. doi: 10.1016/j.ienj.2017.05.004.
Dempsey, A., & Mulder, J. (2023). Quality Versus Quantity of Life: Beyond the Dichotomy. Palliative Medicine Reports, 4(1), 17–23. https://doi.org/10.1089/pmr.2022.0058
Henry, B. (2020). End of life feeding: Ethical and legal considerations. Physiology and Behavior, 217(January). https://doi.org/10.1016/j.physbeh.2020.112800
Kementerian Kesehatan RI. (2023). PEDOMAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PALIATIF DENGAN. 1–38.
Martí-García C, Ruiz-Martín L, Fernández-Alcántara M, Montoya-Juárez R, Hueso-Montoro C, García-Caro MP. Content analysis of the effects of palliative care learning on the perception by nursing students of dying and dignified death. Nurse educ Today. 2020;88:104388. doi: 10.1016/j.nedt.2020.104388
ADVERTISEMENT
McATEER, R., MD, & CAROLINE, W. (2013). Palliative Care: Benefits, Barriers, and Best Practices. American Family Physician, 88, 12.
Nacak, U. A., & Erden, Y. (2022). End-of-Life Care and Nurse’s Roles. Eurasian Journal of Medicine, 54, S141–S144. https://doi.org/10.5152/eurasianjmed.2022.22324
Rafii, F., & Abredari, H. (2023). Death with Dignity in End-of-Life Nursing Care: Concept Analysis by Rodgers’ Evolutionary Method. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research, 28(2), 179–187. https://doi.org/10.4103/ijnmr.ijnmr_440_21
Park S-A, Park HJ. The Relationships Between Oncology Nurses'Attitudes Toward a Dignified Death, Compassion Competence, Resilience, and Occupational Stress in South Korea. Semin Oncol Nurs.
Rodríguez-Prat, A., Monforte-Royo, C., Porta-Sales, J., Escribano, X., & Balaguer, A. (2016). Patient perspectives of dignity, autonomy and control at the end of life: Systematic review and meta-ethnography. PLoS ONE, 11(3), 1–18. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0151435
ADVERTISEMENT
Reckziegel J, Coninck BDB. Dignified Death In Brazil. in Unoesc International Legal Seminar. 2016
Sandgren, A., Axelsson, L., Bylund-Grenklo, T., & Benzein, E. (2021). Family members’ expressions of dignity in palliative care: a qualitative study. Scandinavian Journal of Caring Sciences, 35(3), 937–944. https://doi.org/10.1111/scs.12913
Singh, V. P. (2020). Legal Issues in Medical Practice. Jaypee Brothers Medical Publishers Pvt. Limited. https://books.google.co.id/books?id=vlRBEAAAQBAJ