Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Papua: Mirisnya Pelanggaran dan Ketidakadilan HAM yang Tidak Terselesaikan
1 April 2021 8:21 WIB
Tulisan dari Ivanodei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Papua, mungkin bagi beberapa orang hanya menganggap sebuah provinsi yang ada di timur Indonesia, namun bagi saya merupakan surga yang terlupakan. Keramahannya menjadi sebuah malapetaka dan kebaikannya dibalas dengan kejahatan akibat dari oknum yang tidak bertanggung jawab. Penguasa-penguasa yang selalu berlaku tidak adil terhadap mereka, hanya mau mengeksploitasi harta dan kekayaan yang ada di Papua.
ADVERTISEMENT
“Sa pu mama mati karena tentara; Sa pu rumah hancur karena tentara; Sa su lama marah deng pemerintah; Dong su; buat Papua menjadi merah.” lirik yang dilontarkan oleh Oscar Lolang dalam lagunya yang berjudul “Eastern Man” dapat memvisualisasikan kondisi dari Papua saat ini. Kita terlalu fokus sama apa yang ada di ibukota dan di luar negeri, sehingga kita lupa dengan permasalahan yang ada di surga Indonesia.
Bertahun-tahun lamanya tiada penyelesaian terhadap permasalahan HAM di Papua sehingga semuanya itu berubah menjadi sebuah pertanyaan “Ke manakah tindakan pemerintah dalam menangani permasalahan ini?” begitu banyak masyarakat di Papua yang harus menjadi korban dari permasalahan ini. Menurut Enembe (2016:10) mengatakan Papua merupakan negeri dimana sebagian rakyatnya mengalami keterbatasan dan sebagian lagi mendapatkan keluasan. mungkin benar apa kata orang “Keadilan berada di tangan penguasa.”
ADVERTISEMENT
Indonesia menjadi salah satu negara di Asean yang memiliki kasus pelanggaran HAM yang tertinggi, dan Papua termasuk menjadi penyumbang terbanyak kasus pelanggaran HAM. hal tersebut dikarenakan, Pada tahun 1969 Papua baru bergabung dengan Indonesia dengan bantuan berupa dukungan dari PBB. Namun, banyak dari masyarakat Papua tidak menyetujui gerakan ini, sehingga sering terjadi konflik yang memakan banyak korban jiwa. Lalu, terdapat kedatangan korporasi multinasional yang ingin mengeksploitasi kekayaan alam Papua. Sehingga, terjadi perselisihan yang mengakibatkan pertumpahan darah di tanah Papua.
Menurut Tatum, (2015:4) mengatakan bahwa akar dari konflik yang terjadi di Papua dimulai sejak proses dekolonisasi Papua dari Belanda (Dutch New Guinea), New York Agreement (1962), Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, hingga kebijakan Orde Baru (1967-1998).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penemuan bukti dari Amnesty Internasional, Pada tahun 2010-2014 terdapat 95 kasus warga Papua meninggal di tangan aparat keamanan. Selain itu, di tahun 2013, Polri melakukan penangkapan terhadap tujuh orang Papua Barat yang diduga akan mengibarkan bendera bintang kejora. Penangkapan dilakukan saat doa bersama pada acara mama (Papuans Behind Bar, 2015). Kemudian, pada Januari 2015, terjadi penangkapan oleh POLRI dan TNI atas dugaan tergabung dalam masyarakat pro-papua merdeka. Ada sekitar 35 orang lebih aktivis pembela HAM yang dianiaya dan dipenjara di provinsi Papua Barat semenjak tahun 1970 (Papuans Behind Bar, 2015). Terlalu banyak aktivis pembela HAM dari Papua Barat yang ditangkap karena menyuarakan aspirasi dari masyarakatnya yang terlalu menderita.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya pelanggaran HAM, baru-baru ini terjadi diskriminasi terhadap orang Papua di Surabaya. Kejadian ini mengakibatkan demonstrasi yang terjadi di Manokwari, Papua Barat pada tanggal 19 Agustus 2019. Latar belakang terjadinya kasus ini disebabkan adanya tuduhan dari ormas yang melakukan aksi di depan asrama karena adanya praduga bahwa mahasiswa Papua melakukan penistaan lambang negara dengan membuang bendera Merah Putih ke dalam selokan. Sehingga aparat meminta melakukan mediasi terhadap mahasiswa Papua, dengan diminta untuk memberi keterangan di kantor aparat. Tindakan tersebut dinilai diskriminatif dan terlalu berlebihan oleh Amnesty International Indonesia, Walhi, dan Greenpeace Indonesia.
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) merupakan bentuk komisi HAM dari pengadopsian HAM. Nantinya, AICHR akan membentuk kerja sama regional untuk menangani isu HAM melalui dideklarasikannya ASEAN Human Rights Declarations. Secara historis, pada dasarnya Papua merupakan provinsi jajahan Belanda yang dipersiapkan untuk kemerdekaan secara utuh. Sehingga pergerakan Papua Merdeka yang merasa bahwa Papua Barat seharusnya tidak bergabung dengan Indonesia tetapi berdiri sebagai negara merdeka. Pergerakan ini diredam oleh pemerintahan Indonesia dengan menangkap para aktivis dari Papua Merdeka. Beberapa penyiksaan, penangkapan, dan kriminalisasi terhadap aktivis-aktivis HAM di Papua dan papua Barat, bahkan kepada warga Papua yang sedang tidak berada di Papua mengalami tindak kekerasan dan penangkapan secara sewenang-wenang. Jadi pengimplementasian dari AHRD tidak berjalan secara efektif.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, masih belum titik terang untuk penyelesaian permasalahan ini dari pemerintah. Beberapa berspekulatif bahwa terjadi adanya pengalihan isu untuk meredam permasalahan ini dengan tujuan agar tidak meresahkan masyarakat. Aktor yang menjadi pusat perhatian dari permasalahan ini, yakni Veronica Koman, yang diduga sudah menyebarkan permasalahan ini sejak lama, namun menjadi sorotan pada saat kejadian kerusuhan di Manokwari, Papua. Namun, ini hanya sebatas praduga, belum ada pembuktian. Kita dapat menyimpulkan bahwa Indonesia masih mementingkan kepentingannya tanpa mengindahkan proses sekuritisasi HAM di ranah regional. Sayangnya, pemerintah masih berpegang pada kepentingan nasional NKRI untuk terciptanya kedaulatan NKRI. Sungguh, kita tidak tau bagaimana nasib Papua dalam memerangi kasus pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT