Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Amerika Serikat Mengalami Inflasi 9,1 Persen, Apa yang Harus Dilakukan Indonesia
1 Agustus 2022 8:37 WIB
Tulisan dari Tesa Sindy Prameswari Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gejolak ekonomi global yang berkepanjangan sejak 2020 hingga kini belum usai. Setelah guncangan ekonomi dunia karena pandemi Covid-19, kini muncul masalah baru yang membuat ekonomi dunia kembali mengalami pelemahan. Masalah itu adalah terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina yang diikuti oleh perang dingin antara negara Barat dan Rusia dalam mengeluarkan kebijakan yang saling menjatuhkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Terjadinya perang di Ukraina oleh Rusia, membuat negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, Korea Selatan, Jepang, dan negara sekutu lainnya geram dan mengecam tindakan Presiden Rusia Vladimir Putin yang memilih untuk menyelesaikan konfliknya dengan Ukraina melalui operasi militer.
Akibatnya, negara Barat kompak menjatuhkan sanksi ke Rusia. Sanksi ekonomi mereka berlakukan sebagai bentuk kecaman terhadap Rusia yang telah melakukan operasi militer di Ukraina. Negara Barat menjatuhkan berbagai sanksi seperti pemutusan kerjasama dagang, pemutusan hubungan ekonomi, pemblokiran akses lembaga perbankan Rusia, dan berbagai macam sanksi lainnya.
Rusia pun tak mau kalah dalam perang dingin ini, mereka juga memutuskan kebijakan yang sangat berdampak bagi negara Barat khususnya Eropa. Putin mengeluarkan sanksi balasan bagi negara-negara yang mereka anggap tidak bersahabat dengan mereka. Setidaknya pada Maret 2022, Rusia merilis sejumlah 48 negara yang dianggapnya tidak bersahabat dengan mereka. Bahkan hingga kini daftar negara tersebut terus bertambah dan mengalami pembaruan.
ADVERTISEMENT
Salah satu sanksi balasan Rusia yang sangat memiliki dampak bagi negara Barat adalah aturan bagi negara-negara yang mau membeli minyak dan gas Rusia wajib menggunakan Rubel sebagai mata uang pembayaran transaksinya. Hal ini diambil, sebagai salah satu upaya Rusia untuk menguatkan nilai tukar Rubel yang mengalami depresiasi sejak pemberlakuan sanksi Barat ke Rusia.
Eropa yang merupakan konsumen besar bagi komoditas minyak dan gas Rusia. Mau tidak mau mereka harus mengikuti aturan dari pemerintah Rusia untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas dalam negeri mereka. Karena jika tidak, Eropa akan kesulitan untuk mencari pengganti karena sudah sejak dulu Eropa sangat bergantung dengan minyak dan gas Rusia.
Bahkan, beberapa waktu yang lalu. Rusia kembali mengeluarkan kebijakan dimana mereka memangkas pasokan minyak dan gas ke Eropa. Moskow hanya mengizinkan pasokan sebesar 20% dari biasanya dengan dalih pemeliharaan pipa gas di negaranya.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Rusia. Tentunya mendatangkan dampak buruk yang besar bagi dunia. Pasokan minyak dan gas dunia mengalami kelangkaan, sehingga mengakibatkan kenaikan harga secara signifikan dan merupakan harga tertinggi selama beberapa tahun terkahir.
Dari sinilah, muncul permasalahan yang lebih kompleks di berbagai negara tidak terkecuali Amerika Serikat. Amerika Serikat terus mengalami kenaikan tingkat inflasi dari waktu ke waktu, akibat munculnya multiplier effect dari naiknya harga minyak dan gas dunia. Kenaikan minyak dan gas dunia menyebabkan kenaikan komoditas lain khususnya bahan pangan. Hingga pada puncaknya, pada Juli 2022 Amerika Serikat mengalami tingkat inflasi sebesar 9,1 persen dan merupakan tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Inflasi yang terjadi di AS, juga akan menhadirkan dampak buruk bagi negara berkembang di seluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia. Maka dari itu, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan terbaik dalam upaya membendung dampak dari tingginya inflasi di Amerika Serikat ini.
ADVERTISEMENT
Tingginya tingkat inflasi di Amerika Serikat akan mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya sebagai upaya pengendalian inflasi di negaranya. Dan dari hal tersebut, kemungkinan Bank Indonesia juga akan merespon dengan mengikuti tingkat suku bunga acuannya juga. Kenaikan inflasi di AS juga dapat menganggu perdagangan internasional, dikarenakan AS merupakan salah satu pasar utama dari berbagai negara di seluruh dunia.
Maka dari itu, pemerintah disarankan untuk tetap menjalankan program bantuan sosial yang pernah dijalankan selama masa pandemi Covid-19 sebagai upaya membendung dampak negatif dari naiknya inflasi di Indonesia. Karena dengan naiknya tingkat inflasi, nilai upah para pekerja di Indonesia mengalami penurunan. Di sisi lain, pemerintah juga didorong untuk mencari pengganti komoditas pangan impor. Supaya Indonesia tidak tergantung dengan harga pangan dunia yang pada saat ini sedang mengalami kenaikan.
ADVERTISEMENT