Konten dari Pengguna

Ikebana: Seni Merangkai Bunga dari Jepang yang Penuh Makna

Sinta
Mahasiswa Prodi Studi Kejepangan, Universitas Airlangga
14 Oktober 2022 13:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sinta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ikebana. Sumber: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ikebana. Sumber: shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jepang dikenal dengan negara yang memiliki daya tarik tersendiri dalam budaya tradisionalnya. Orang Jepang sangat menghargai alam, hal tersebut kemudian mempengaruhi berbagai budaya yang mereka miliki. Salah satu budaya tradisional Jepang yang menarik adalah ikebana. Kata ikebana sendiri terdiri dari dua kanji, yaitu ike (生) yang berarti hidup dan hana (花) yang berarti bunga. Jadi, rangkaian bunga ikebana adalah merangkai bunga agar tampak hidup (Aminudin, 1991:91).
ADVERTISEMENT
Seni ikebana adalah kegiatan merangkai bunga untuk membentuk karangan yang indah. Rangkaian ikebana memadukan berbagai hal dari tamanan, tidak hanya bunga tetapi juga meliputi ranting, daun, hingga rerumputan. Bagi masyarakat Jepang rangkaian ikebana memiliki filosofi yang melambangkan keselarasan antara langit, bumi, dan manusia.
Prinsip ikebana yang paling mudah dipahami adalah rangkaian bunganya dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (天) ten yang berarti langit, (人) hito yang berarti manusia, dan (地) chi yang berarti tanah. Hal ini disebabkan seni ikebana juga dipengaruhi unsur keagamaan, sehingga banyak rangkaian ikebana yang melambangan kehidupan. Dengan demikian, seni ini merupakan kombinasi dari alam, teknik, dan kreativitas manusia. Dibutuhkan konsentrasi dan ketekunan tinggi dalam merangkai ikebana.
ADVERTISEMENT
Awalnya pada abad ke-15 ikebana disebut dengan tatebana (立て花) yang memiliki arti bunga yang berdiri. Kemudian pada sekitar abad ke-17 berkembang menjadi gaya rikka (立華), rangkaian bunga yang lebih indah, rumit, dan lebih kompleks daripada rangkaian tatebana. Gaya rikka awal merujuk pada gunung Meru yang diangap pusat semesta dalam agama Buddha. Gaya ini diciptakan oleh seorang biksu Buddha dari Sekolah Ikenobo sehingga rangkaian bunga ini dipengaruhi oleh agama Buddha.
Kemudian di masa yang sama, muncul gaya rangkaian bunga yang dipengaruhi upacara minum teh (chanoyu) yang dikenal dengan nama chabana yang berarti bunga teh. Hal ini tidak terlepas dari fungsi ikebana yang pada masa itu digunakan sebagai dekorasi ruangan minum teh. Kemudian tidak lama setelah itu muncul gaya lain yang sangat sederhana, yaitu nageire yang dapat diartikan melemparkan atau membuang. Nageire ini merupakan rangkaian bunga bergaya bebas.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Jepang mengalami restorasi meiji yang menyebabkan banyak budaya Barat masuk ke Jepang. Hal tersebut juga mempengaruhi berbagai budaya dan kesenian yang ada di Jepang, termasuk ikebana. Mulai muncul aliran baru yang disebut dengan moribana. Gaya ini lebih berfokus pada warna dan pertumbuhan tanaman sebagai respon dari bunga-bunga baru yang diperkenalkan orang Barat yang datang ke Jepang.
Seiring dengan berkembangnya zaman, seni ikebana ini tidak hanya dipraktikkan oleh kaum biksu dan kaum bangsawan, tetapi sekarang ikebana sudah menyebar luas dalam berbagai lapisan masyarakat Jepang. Sehingga banyak sekolah yang mengajarkan seni merangkai bunga ikebana diantaranya yang populer adalah Ikenobo, Sogetsu dan Ohara. Masing-masing dari sekolah tersebut juga memiliki ciri khas atau karakteristik tersendiri dalam gaya rangkaian ikebana mereka.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya dalam ikebana dikenal tiga gaya (style) di antaranya:
1. Gaya rikka
Rikka adalah gaya tradisional yang memiliki bentuk rumit, megah, mencerminkan kebesaran alam, dan banyak digunakan dalam upacara keagamaan. Gaya yang berkembang sekitar awal abad ke-16 ini juga mencerminkan simbol kehidupan yang harmonis.
2. Gaya shoka
Shoka adalah gaya rangkaian bunga yang sederhana, tidak terlalu formal tetapi masih memiliki karakteristik tradisional. Gaya ini difokuskan pada bentuk asli tumbuhan. Rangkaian bunga gaya ini berbentuk tiga garis komposisi membentuk segitiga tidak sama kaki. Dikembangkan oleh Ikenobo Senjo seorang pendeta kepala kuil Rokhahindo di Kyoto. Gaya ini mendapat pengaruh Barat, sehingga berkembang pula rangkaian nageire yang dapat diartikan dimasukan (rangkaian dengan vas tinggi dengan rangkaian hampir bebas) dan moribana (rangkaian menggunakan wadah rendah dan mulut lebar).
ADVERTISEMENT
3. Gaya jiyuka
Jiyuka adalah rangkaian ikebana yang bersifat bebas (free style) dimana rangkaiannya berdasarkan kretivitas serta imajinasi dari pembuat. Dalam rangkaian bunga gaya ini, kawat, logam, dan batu digunakan secara menonjol. Gaya ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu rangkaian yang dirangkai secara alami dan rangkaian yang dirangkai secara abstrak.
Seni merangkai bunga ikebana berbeda dengan gaya merangkai bunga yang ada di Barat. Ikebana berusaha menciptakan harmoni dalam bentuk linier, ritme dan warna. Tidak hanya keindahan yang dihasilkan dari rangkaian bunga, tetapi juga memiliki aspek pengaturan menurut garis linier dengan berdasarkan pada tiga titik yang mewakili langit, bumi dan manusia.
Terdapat nilai-nilai yang terkandung di dalam seni ikebana. Pertama, nilai kehidupan yang ditampilkan dalam simbol harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Kedua, nilai pengetahun yang direpresentasikan dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pola alam. Ketiga, nilai keindahan dimana ikebana mengandung nilai keindahan bentuk dan isi. Dilihat dari segi bentuk merupakan realisasi konsep estetika timur dalam nuansa kesederhanaan. Keindahan isi dalam pengertiannya merepresentasikan bentuk hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Keempat, nilai kepribadian ikebana memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan seni merangkai bunga lainnya.
ADVERTISEMENT
Terdapat filosofi hidup dalam ikebana, yaitu penuh adalah kosong dan kosong adalah penuh. Jika memperhatikan rangkaian ikebana sering kali terdapat ruang-ruang kosong di antara batang-batang bunga, ranting, dan dedaunan. Hal tersebut yang merepresentasikan filosofi kosong dan penuh (Yuana, 2019). Jika rangkaian tidak terdapat ruang kosong dan dipenuhi bunga hingga permukaan vas tidak terlihat maka sebenarnnya rangkain tersebut adalah kosong. Sehingga tidak ada ruang untuk bernapas dan untuk sekedar menikmati keindahan antara satu batang dengan batang yang lain.
Sementara itu, jika diperhatikan lebih dalam sebenarnya sensasi keindahan akan terpancar bukan pada bunga-bunga yang pada dasarnya sudah memiliki aspek cantik, tetapi lebih pada lekuk-lekuk batang dan ranting yang di antara hal tersebut menampakkan wajah cantik bunga. Sehingga bunga disini bukan berperan penuh untuk menimbulkan efek indah, tetapi hanya sebagai poin pemanis atau berperan sebagai pemancing untuk merefleksikan sebuah keindahan. Selain itu, seperti di kebanyakan budaya lainnya, bunga juga merupakan representasi dari waktu karena kehidupan bunga yang terbatas dan mewakili musim hal tersebut dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap waktu.
ADVERTISEMENT
Meskipun terdapat ruang-ruang kosong, tetapi rangkaian ikebana harus tetap terlihat menyatu antar bagiannya. Hal tersebutlah yang dimaksud dengan adanya ruang kosong yang menampakkan suatu hal dengan penuh pesona keindahan. Ikebana juga mengajarkan manusia untuk memaknai kehidupan, dengan perasaan tenang yang didapat saat merangkai bunga juga akan berdampak pada spiritualitas dan kebutuhan rohani.
Daftar Pustaka:
Inoue, Osamu. (2018). Theory of Time in Ikebana. International Journal of Ikebana Studies. 1-3.
Keiko, Kubo. 2006. Keiko’s Ikebana A Contemporary Appoarch to The Traditional Japanese Art of Flower Arranging. North Clarendon: Tuttle Publishing.
Yuana, Cuk. (2019). Makna Ikebana Bagi Masyarakat Jepang. Mezuraashii, 1(2), 27-44.