Konten dari Pengguna

Scrolling Sosial Media : Stress Relieve atau New Addiction?

Sinthiya Werdiawati
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
2 Desember 2024 12:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sinthiya Werdiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Satu jam scrolling untuk melepas penat sering kali berubah menjadi berjam-jam tanpa terasa. Fenomena ini semakin sering terjadi belakangan ini. Jadi, scrolling media sosial itu sebenarnya menjadi sarana pelepas stres atau justru new addiction?
ADVERTISEMENT
Scrolling Sosial Media Menimbulkan Efek Menyenangkan
Saat merasa lelah dengan pekerjaan, tugas, atau bahkan interaksi sosial, banyak dari kita memilih pelarian instan ke media sosial. Aktivitas scrolling konten hiburan menjadi solusi cepat untuk meredakan stres. Namun, rasanya kalau aktivitas ini diberi screentime, kita akan terus mengabaikannya ngga, sih? Misalnya, menonton satu video di TikTok seringkali tidak cukup. Selalu ada dorongan untuk terus menggulir ke video berikutnya. Begitu pula saat membuka X -dulu dikenal sebagai Twitter- satu utas biasanya memicu rasa penasaran yang membuat kita terus menggali lebih dalam. Tanpa sadar, kita bisa menghabiskan berjam-jam hanya dengan duduk, memegang ponsel, dan terjebak dalam aliran konten tanpa henti. Tapi, apa sebenarnya yang terjadi di dalam otak kita saat perilaku ini terjadi? Mengapa kita begitu mudah terbawa dan sulit untuk berhenti?
ADVERTISEMENT
Saat jemari kita menggulir layar ke atas dan ke bawah, otak sebenarnya mengalami banyak proses kompleks. Salah satu hal penting dalam proses ini adalah dopamin. Dopamin adalah hormon yang dikeluarkan otak ketika kita sedang berada pada situasi nyaman dan menyenangkan. Efek menyenangkan yang dikeluarkan oleh dopamin ini membuat kita secara terus – menerus melanjutkan rasa penasaran akan konten apa yang akan muncul sehingga sadar tidak sadar kita malah sudah menghabiskan banyak waktu didepan layar ponsel kita. Disini terdapat hal menarik untuk ditanyakan, apabila terdapat sebuah distraksi, apakah dopamin ini masih bisa bekerja?
Mengapa Orang-Orang Mudah Terperangkap dalam Media Sosial?
Scrolling tanpa henti bukan hanya disebabkan oleh dopamin yang memicu perasaan bahagia, tetapi juga oleh mekanisme sosial media yang cerdas. Ketika ada distraksi, produksi dopamin memang perlahan menurun. Namun, karena media sosial dirancang sedemikian rupa untuk membuat pengguna tetap terhubung maka platform ini menyajikan beragam konten menarik yang terus memancing perhatian dan membuat kita sulit untuk melepaskan diri. Di balik daya tariknya, ada strategi khusus yang membuat kita terus kembali menggulir layar.
ADVERTISEMENT
Menurut artikel dari Harvard Business Review, platform media sosial seperti TikTok, Instagram Reels, YouTube Shorts, dan E-Commerce seperti Shopee memanfaatkan algoritma canggih untuk memahami preferensi pengguna. Algoritma ini bekerja dengan menganalisis pola perilaku, seperti konten yang dilihat atau disukai, kemudian menawarkan rekomendasi konten serupa. Ini menciptakan feedback loop yang memperkuat keterlibatan pengguna.
Durasi konten yang singkat menjadi faktor penting lainnya. Video pendek dengan durasi kurang dari satu menit sering kali memberikan kepuasan instan, sehingga lebih mudah menarik perhatian pengguna. Pola ini cocok dengan kebutuhan otak manusia akan dopamine hits, yaitu sensasi kepuasan singkat yang diperoleh setiap kali menemukan sesuatu yang menarik. Karena sifat konten yang cepat dan mudah dicerna, pengguna cenderung merasa bahwa mereka "hanya sebentar" berada di platform, meskipun kenyataannya mereka telah menghabiskan waktu berjam-jam.
ADVERTISEMENT
Selain itu, media sosial dirancang untuk meminimalkan gangguan yang dapat menghentikan aktivitas scrolling. Fitur seperti autoplay membuat pengguna secara otomatis terus terpapar konten baru tanpa perlu usaha lebih. Bahkan ketika pengguna merasa ingin berhenti, keinginan untuk "melihat satu video lagi" sering kali menang karena terdapat mekanisme yang dikenal sebagai rewarding system. Konsep ini mirip dengan cara kerja game, di mana pengguna terus terlibat karena berharap menemukan "hadiah" berupa konten yang lebih menarik yang dapat memenuhi rasa penasarannya.
Scrolling Media Sosial Bisa Menjadi Sebuah New Addiction
Faktor dari manusia? Ada. Faktor dari media sosialnya? Jelas ada. Jadi, kalau keduanya digabung, bukan hal yang aneh kalau scrolling media sosial berpotensi menjadi sebuah adiksi, bukan? Benar banget! Adiksi tidak hanya disebabkan oleh zat-zat seperti obat-obatan, narkotika, atau nikotin. Aktivitas sehari-hari pun bisa memicu adiksi, terutama jika dilakukan secara terus – menerus, berulang – ulang, dan tanpa kendali diri. Kebiasaan ini bahkan dapat menyebabkan gangguan seperti kecemasan atau depresi yang pada akhirnya mengganggu rutinitas harian. Ketika perilaku seperti ini mulai mengambil alih, saat itulah kita bisa menyebutnya sebagai adiksi.
ADVERTISEMENT
Kamu pasti sadar betul ada banyak hal yang terabaikan saat kamu tenggelam dalam scrolling media sosial. Yang paling jelas adalah tugas atau pekerjaan yang seharusnya dikerjakan. Karena kehilangan kendali atas diri sendiri, scrolling ini bisa berlangsung berjam-jam sehingga tugas yang tadinya punya waktu cukup malah mendekati deadline atau bahkan terlewat.
Dampaknya tidak hanya mengganggu aktivitas akademis atau pekerjaan tetapi juga memengaruhi kondisi mental kita. Bayangkan saja tugas yang seharusnya diselesaikan dalam satu minggu harus dikerjakan dalam satu malam karena waktu produktif terbuang untuk hal yang kurang penting. Akibatnya rasa cemas muncul ditambah perasaan bersalah karena menyadari waktu yang dihabiskan untuk kesenangan sementara justru memperburuk situasi. Kombinasi ini berdampak buruk pada produktivitas dan keseimbangan emosional.
ADVERTISEMENT
Nah, makanya scrolling media sosial ini berpotensi banget untuk menjadi adiksi. Setelah membaca ini, apakah kalian akan menganggap scrolling media sosial memiliki kecenderungan untuk menjadi sebuah new addiction?
Referensi
D., G. G. (2024). The Impact of Social Media Scrolling on Brain Developement.
Katlin Woolley, M. A. (2022). The PSychology of Your Scorlling Addiction.
Psychology Today. (t.thn.). What Is Addiction.
Sapto Irawan, D. S. (2021). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecanduan Game Online Peserta Didik. Jurnal Konseling Gusjigang, 9-19.
sumber: freepik.com