Konten dari Pengguna

Perhutanan Sosial & Perdagangan Karbon: Pelestarian & Jaminan Sosial Lokal

Sinung Wikunto
Mahasiswa Magister Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada - Master of Arts in Digital Transformation and Competitiveness
10 Juni 2025 10:46 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Perhutanan Sosial & Perdagangan Karbon: Pelestarian & Jaminan Sosial Lokal
Integrasi perhutanan sosial dan perdagangan karbon membuka peluang konservasi hutan sekaligus pemberdayaan masyarakat lokal menuju ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan
Sinung Wikunto
Tulisan dari Sinung Wikunto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Program pemberdayaan perhutanan sosial. Sumber: transform-platform.org
zoom-in-whitePerbesar
Program pemberdayaan perhutanan sosial. Sumber: transform-platform.org
ADVERTISEMENT
Sejak dimulainya negosiasi iklim internasional pada tahun 1990-an, hutan telah dianggap sebagai pilihan mitigasi perubahan iklim karena kemampuannya untuk menyerap karbon dari atmosfer. Oleh karena itu, sebagai salah satu negara dengan wilayah hutan tropis yang luas dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, nilai stok karbon yang tinggi, serta sumber daya energi dan mineral, Indonesia memiliki tanggung jawab ekologis terhadap keberlangsungan lingkungan secara global. Sebagai bentuk upaya mitigasi perubahan iklim dan percepatan ekonomi hijau, Indonesia meluncurkan program perdagangan karbon dari sektor kehutanan. Tahap awal dari program ini menerapkan skema perdagangan karbon melalui dua jalur, yaitu hutan yang dikelola oleh swasta (Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan/PBPH) dan Perhutanan Sosial yang mana masing-masing memiliki potensi serapan karbon yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Tetapi, sektor kehutanan Indonesia bukan hanya berbicara tentang masalah lingkungan saja. Kehutanan juga menjadi medan sosial-politik yang kompleks, terutama terkait dengan hak-hak masyarakat adat dan lokal. Perhutanan sosial didefinisikan sebagai suatu sistem pengelolaan hutan lestari di kawasan hutan negara atau bukan negara yang dilakukan oleh masyarakat setempat atau masyarakat adat untuk meningkatkan kesejahteraan, dampak lingkungan, dan dinamika sosial budaya. Dalam konteks ini, perhutanan sosial menjadi salah satu kerangka kebijakan yang diupayakan pemerintah untuk menjamin akses dan hak kelola masyarakat terhadap kawasan hutan. Pertanyaannya adalah, bagaimana integrasi dan sinergi antara perhutanan sosial dan perdagangan karbon supaya dapat menjadi instrumen konservasi dan menjamin keadilan sosial di saat yang sama?
Perdagangan Karbon dan Perhutanan Sosial di Indonesia sebagai Upaya Konservasi dan Pemberdayaan Sosial
ADVERTISEMENT
Perdagangan karbon adalah skema ekonomi berbasis pasar yang memungkinkan entitas penghasil emisi untuk membeli atau menjual kredit karbon, yaitu representasi dari sejumlah emisi gas rumah kaca yang berhasil dikurangi atau diserap. Perdagangan karbon dinilai sebagai skema yang memberikan keleluasaan bagi negara-negara di dunia untuk memenuhi target pengurangan emisinya. Sama halnya dengan negara-negara lain, Indonesia juga terlibat dalam perdagangan karbon melalui bursa karbon yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (POJK 14/2023).
Sektor kehutanan memainkan peran penting dalam skema ini. Pemerintah Indonesia melalui Perpres Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, menetapkan kerangka kerja perdagangan karbon, termasuk sektor kehutanan sebagai salah satu prioritas. Terdapat dua mekanisme utama, yaitu perdagangan emisi (cap and trade) di mana pelaku usaha harus mematuhi batas atas emisi dan offset emisi di mana penurunan emisi atau penyerapan karbon dapat dijual sebagai kredit karbon.
ADVERTISEMENT
Perhutanan sosial, di sisi lain, adalah pendekatan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan hak akses kelola kepada masyarakat lokal terhadap kawasan hutan negara. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan (Kemenhut), hingga 2025 terdapat sekitar 8,3 juta hektar hutan yang telah ditetapkan sebagai wilayah Perhutanan Sosial, dengan terdiri dari 11 ribu unit surat keputusan dan 1,4 juta kepala keluarga yang terlibat. Program ini dilandasi oleh prinsip keberlanjutan, keadilan, dan pengakuan terhadap hak masyarakat lokal dan adat. Dalam konteks perdagangan karbon, muncul peluang untuk melibatkan kelompok perhutanan sosial sebagai pelaku penyedia jasa lingkungan, yaitu penyerap karbon melalui praktik pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu, integrasi dan sinkronisasi antara Perhutanan Sosial dan skema perdagangan karbon menjadi krusial, baik untuk tujuan mitigasi iklim maupun pemberdayaan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, sudah ada beberapa contoh keterlibatan perhutanan sosial dalam perdagangan karbon di Indonesia yang mana beberapa di antaranya bahkan diimplementasikan sebelum pemerintah menerapkan regulasinya. Beberapa contoh tersebut adalah dari kawasan hutan lindung Bujang Raba di Jambi, hutan yang dikelola Desa Aik Bual di NTB. Hutan lindung di Bujang Raba didaftarkan oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi ke dalam pasar karbon sukarela melalui skema Plan Vivo. Sedangkan hutan yang dikelola Desa Aik Bual juga menggunakan skema yang sama yaitu melalui Plan Vivo.
Hutan memiliki fungsi penting sebagai penyerap karbon alami yang sangat efektif. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), hutan mampu menyerap sekitar 2 miliar ton karbon dioksida setiap tahun yang mana menjadikannya elemen kunci dalam strategi penanggulangan perubahan iklim. Tetapi, pelestarian hutan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial-ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Pendekatan konservasi yang mengesampingkan peran dan kebutuhan masyarakat lokal seringkali tidak berkelanjutan dan berisiko memicu konflik.
ADVERTISEMENT
Dengan melibatkan perhutanan sosial dalam mekanisme perdagangan karbon, pelestarian lingkungan dapat berjalan beriringan dengan peningkatan kesejahteraan serta pemenuhan hak-hak masyarakat lokal. Ketika masyarakat lokal memiliki hak kelola hutan, mereka memiliki insentif langsung untuk menjaga kelestariannya. Salah satu contohnya adalah skema pembayaran berbasis hasil (result-based payment), di mana masyarakat memperoleh imbalan finansial berdasarkan keberhasilan mereka dalam mengurangi emisi seperti reboisasi dan revitalisasi lahan. Insentif semacam ini dapat memperkuat komitmen masyarakat dalam menjaga fungsi ekologis hutan.
Selain itu, perhutanan sosial juga membantu memperkuat status legal pengelolaan lahan oleh masyarakat lokal, yang merupakan salah satu syarat penting untuk dapat berpartisipasi dalam perdagangan karbon internasional. Tanpa kejelasan hak tenurial, masyarakat lokal akan kesulitan mengakses pasar secara formal. Oleh karena itu, penyedia izin kelola dan dukungan pendampingan hukum menjadi faktor kunci dalam memastikan keterlibatan perhutanan sosial dalam perdagangan karbon. Lebih dari sekadar penyerapan karbon, keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan juga membuka potensi ekonomi lain, seperti pengembangan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK), ekowisata, dan praktik agroforestri. Ini menjadikan perdagangan karbon bukan hanya instrumen lingkungan, tetapi juga jalan menuju transformasi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan di tingkat komunitas.
ADVERTISEMENT
Tantangan Global dan Konteks Indonesia
Meskipun sektor kehutanan memiliki potensi besar, secara global kontribusinya dalam pasar karbon masih relatif kecil. Sebagian besar kredit karbon masih berasal dari sektor industri dan energi, baik itu dalam bentuk pajak maupun sistem perdagangan emisi (Emission Trading System/ETS). Sektor kehutanan masih belum menjadi pilihan prioritas karena masih memiliki beberapa kelemahan yang menghambat keterlibatan mereka dalam mekanisme perdagangan karbon. Tantangan global dalam mekanisme pasar karbon tidak selalu berbicara tentang isu teknis, tetapi juga merupakan persoalan struktural yang berdampak langsung pada efektivitas partisipasi negara berkembang seperti Indonesia.
Masalah seperti ketidakpastian penyerapan karbon (permanence), kebocoran (leakage), kesulitan pengukuran (measurement difficulties), dan biaya efektivitas (cost-efficiency) telah lama diidentifikasi sebagai kendala utama proyek hutan dalam perdagangan karbon internasional. Karbon yang diserap oleh hutan dinilai tidak bersifat permanen karena rentan terhadap konversi lahan, kebakaran, dan eksploitasi ilegal. Di sisi lain, proyek konservasi hutan di suatu lokasi seringkali memicu relokasi aktivitas deforestasi di area lain, menyebabkan fenomena kebocoran. Kondisi ini mempersulit validitas dampak positif dari proyek karbon hutan di mata pasar internasional.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, perhutanan sosial juga menghadapi tantangan internal yang menghambat integrasinya dengan skema perdagangan karbon. Meskipun secara normatif program ini bertujuan untuk menjamin hak kelola masyarakat terhadap hutan negara secara lestari, pada praktiknya sebagian besar kelompok perhutanan sosial masih menghadapi masalah klasik seperti rendahnya kapasitas kelembagaan, keterbatasan akses pembiayaan, dan ketidakpastian tenurial. Hal ini menjadi persoalan serius mengingat kejelasan hak atas lahan menjadi prasyarat utama dalam skema perdagangan karbon untuk menjamin legalitas, akuntabilitas, dan pembagian manfaat (benefit-sharing).
Dengan demikian, peningkatan peran perhutanan sosial dalam pasar karbon harus dipandang sebagai tantangan yang bersifat multidimensi dan menuntut pendekatan holistik. Upaya integrasi antara tujuan konservasi dan pemberdayaan sosial tidak cukup hanya dengan membuka akses formal terhadap pasar, melainkan juga membutuhkan penguatan kapasitas lokal, pengakuan umum atas hak tenurial, serta dukungan teknologi dan kelembagaan secara sistemik. Dalam jangka panjang, keberhasilan Indonesia dalam menjadikan perhutanan sosial sebagai aktor penting dalam perdagangan karbon sangat bergantung pada keselarasan antara kebijakan nasional, dinamika lokal, dan standar global yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Integrasi antara perhutanan sosial dan perdagangan karbon menawarkan peluang strategis untuk mewujudkan dua tujuan sekaligus, yaitu pelestarian lingkungan dan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat lokal. Perhutanan sosial memberikan kerangka untuk mengakui dan memperkuat hak kelola masyarakat terhadap hutan, sementara perdagangan karbon menyediakan insentif finansial berbasis kinerja yang dapat mendorong pengelolaan hutan lestari. Namun keberhasilan integrasi ini tidak terlepas dari tantangan struktural, baik di tingkat global maupun nasional. Di tingkat global, persoalan teknis seperti ketidakpastian penyerapan karbon, kebocoran emisi, dan keraguan pasar terhadap validitas proyek kehutanan masih membatasi kontribusi sektor ini. Di tingkat nasional, kendala seperti lemahnya kapasitas kelembagaan, keterbatasan akses pembiayaan, dan ketidakpastian hak tenurial menjadi hambatan utama partisipasi kelompok perhutanan sosial dalam pasar karbon. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan harmonisasi kebijakan, penguatan institusi lokal, kepastian hukum, serta mekanisme pendampingan dan dukungan teknologi yang berkelanjutan. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia memiliki peluang untuk menjadikan perhutanan sosial sebagai salah satu tulang punggung ekonomi hijau yang inklusif dan adil.
ADVERTISEMENT