Memahami Suporter, Lalu Melakukan Edukasi dan Menegakkan Regulasi

Sirajudin Hasbi
Creativepreneur | Pemimpin Redaksi Penerbit Fandom Indonesia
Konten dari Pengguna
26 September 2018 16:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sirajudin Hasbi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kolase Jakmania dan Bobotoh (Foto: Fanny Kusumawadhani/kumparan & VikingPersib.com)
zoom-in-whitePerbesar
Kolase Jakmania dan Bobotoh (Foto: Fanny Kusumawadhani/kumparan & VikingPersib.com)
ADVERTISEMENT
“Kami memutuskan menghentikan Liga 1 senior dalam pertandingan putaran kedua di 18 klub sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” kata Edy Rahmayadi (26/9). Kebijakan tersebut sebagai respons PSSI setelah terjadinya insiden kematian Haringga Sirla, suporter Persija Jakarta yang dianiaya di Gelora Bandung Lautan Api, pada Minggu (23/9).
ADVERTISEMENT
Sebelumnya Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) melalui ketuanya, Richard Sambera, mendesak federasi dan operator Liga untuk menyelesaikan masalah ini dalam tempo 7 hari. Imam Nahrawi, selaku Menpora, lebih tegas lagi dengan minta untuk sementara liga dihentikan selama dua pekan.
Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) melalui konferensi pers-nya menyatakan bahwa para pemain sepakat untuk tidak berlaga di pekan ke-24 sebelum ada penyelesaian masalah kekerasan dan adanya kesepakatan perdamaian (nota damai) suporter.
Stakeholder yang ada langsung merespons dengan cepat kasus kematian Haringga. Melibatkan dua klub bersejarah dengan suporter besar, kabar menyebar dengan cepat. Video penganiayaan yang sangat tidak manusiawi bisa disaksikan di berbagai platform media sosial.
Penyebaran video tersebut bisa berimplikasi pada dua hal. Pertama, membuat orang yang melihat begitu miris karena benar-benar dilakukan secara sadis. Bisa jadi mereka yang melihat, jika tak kuat batinnya, bisa terganggu secara psikologis. Ketakutan pun akhirnya menyebar.
ADVERTISEMENT
Kedua, penganiayaan tersebut secara langsung menimbulkan kebencian terhadap pelaku (Bobotoh). Oleh pihak yang merasa jadi korban, maka mereka akan menyimpan dendam. Jika melihat perkembangan belakangan ini, bobotoh Persib memang menjadi pihak yang dipersalahkan seutuhnya.
Tanpa bermaksud membela Bobotoh dan Persib, kejadian di GBLA itu bisa terjadi di mana saja. Belum lama ini juga ada korban kekerasan yang berujung meninggal dunia di Stadion Sultan Agung, Bantul, ketika ada pertandingan derby PSIM Yogyakarta dengan PSS Sleman.
Sudah 76 suporter tewas (data Save Our Soccer sejak 1994) karena sepak bola, baik saat hari pertandingan atau setelahnya –data lain menyebutkan angka 55 orang meninggal dunia. Pelakunya dari berbagai warna baju, bukan monopoli satu pihak saja. Mereka yang pernah melakukan penganiayaan, juga pernah merasakan pahitnya menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Ini semacam siklus yang tiada berhenti. Dendam tak pernah benar-benar padam. Rasa ingin berkuasa dan “mematikan” lawan terus direproduksi. Nyanyian “dibunuh saja…” masih terus berkumandang di berbagai stadion. Secara tidak sadar dia telah merasuk ke alam bawah sadar, bahwa rival mesti “dimatikan” untuk menunjukkan superioritas atas musuh.
Media sosial melanggengkan reproduksi konten negatif tentang kebencian antar-kelompok suporter. Jika dulunya pertikaian terjadi di hari pertandingan, maka kini tanpa ada pertandingan pun ada perkelahian atas nama klub sepak bola kebanggaan.
Di kalangan suporter sepak bola dikenal yang namanya Jalur Gaza. Maksudnya tempat yang kerap menjadi area bertikai. Jakmania dan Viking tidak hanya berkelahi di Bandung atau Jakarta, tapi justru lebih sering terlibat kerusuhan di daerah seperti Cikarang, Bekasi, Karawang, dan sekitarnya. Tempat itu jadi lokasi persinggungan pendukung Persib dan Persija yang berada dalam satu kota.
ADVERTISEMENT
Itu juga terjadi misalnya di Jalan Wates dan Jalan Godean Yogyakarta yang menjadi tempat bertemunya pendukung PSIM dan PSS. Jalur Gaza ini tidak mengenal hari pertandingan untuk berkelahi.
Bagi mereka, everyday is matchday.
Ini yang kemudian menjadi riskan. Kerusuhan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, tidak hanya di stadion. Ada atau tidak ada pertandingan bisa terjadi perkelahian, apalagi jika klub mereka berada dalam strata liga atau grup yang sama. Anda bisa melihat olok-olokan di media sosial yang tiada hentinya.
Oleh karenanya, langkah pihak keamanan untuk melakukan pemindaian media sosial perlu lebih intensif dilakukan. Di media sosial bisa dilakukan deteksi dini untuk menghindari atau setidaknya langkah antisipasi jika sewaktu-waktu ada kejadian yang tak diinginkan.
ADVERTISEMENT
Media sosial menjadi semakin penting karena amunisi pertikaian dilancarkan di sana. Di media sosial pula banyak suporter yang gagah-gagahan mengenai siapa yang paling kuat, siapa paling fanatik, dan siapa paling berani.
Persija vs Persib. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan & ANTARA FOTO/Novrian Arbi)
zoom-in-whitePerbesar
Persija vs Persib. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan & ANTARA FOTO/Novrian Arbi)
Apa yang dilakukan oleh Haringga yang mengunggah aktivitasnya ke Bandung merupakan bagian dari potret suporter masa kini. Mereka bangga bisa mendampingi timnya berlaga di manapun. Itu menunjukkan kefanatikan mereka. Menjadi idola di antara teman-teman suporter mereka sendiri.
Tembus rival atau upaya untuk bisa masuk ke daerah rival, bahkan menyaksikan pertandingan klub kesayangan di kandang rival adalah kebanggaan tertinggi. Ada ego pribadi di sana. Ada keinginan untuk dipuja. Itu yang sekarang jadi materi untuk pamer di media sosial.
ADVERTISEMENT
Tren cara berpikir ini perlu untuk dipahami oleh otoritas agar bisa melakukan langkah antisipatif. Untuk bisa mengambil kebijakan sesuai dengan konteks terkini.
Nota damai, bisa jadi tidak banyak ada manfaatnya jika hanya melibatkan mereka yang berada di pucuk pimpinan kelompok suporter. Apa yang dilakukan Heru Joko (Viking) dan Ferry Indrasjarief (Jakmania) yang memilih turun ke kantong-kantong suporter itu perlu terus dilakukan.
Terus mendekati dan berbicara dengan grassroot akan meminimalkan perilaku konyol yang mungkin dilakukan.
Edukasi yang secara langsung dilakukan bisa jadi akan lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Tapi, ingat ini tidak melulu soal suporter. Pemain sendiri perlu ada edukasinya tersendiri.
Jika Anda mengikuti perkembangan upaya perdamaian Viking dengan Jakmania ini prosesnya sudah dilakukan dalam dua tahun terakhir. Tapi, Anda masih ingat dengan video yang mengandung kata-kata “Viking A****g” yang ironisnya dilakukan oleh pemain Persija?
ADVERTISEMENT
Diakui atau tidak, itu mengganggu proses perdamaian yang sudah dilakukan. Jadi, dalam hal ini, APPI perlu melakukan edukasi pada anggotanya untuk menghormati suporter, entah suporternya sendiri maupun suporter rival. Tidak sekadar melakukan aksi mogok dan meminta ada nota damai.
Edukasi dilakukan menyeluruh oleh dan pada seluruh stakeholder. Begitu pula nantinya regulasi ditegakkan yang keras juga pada semuanya.
Hukuman dari pelanggaran pun jangan hanya denda uang atau partai usiran, tapi pengurangan poin. Sebagai suporter yang dia tuntut hanyalah untuk menang dan juara, jika perilaku negatif mereka bisa diganjar dengan pengurangan poin itu bisa sangat merugikan kans juara timnya atau bisa menyebabkan klubnya terdegradasi.
ADVERTISEMENT
Pada intinya, apa yang akan diputuskan seyogyanya menyentuh sisi kemanusiaan. Menentukan hukuman yang bisa menyentuh keinginan seseorang akan membuatnya berpikir dua kali untuk melakukan hal negatif, karena bisa berakibat buruk bagi timnya.
Jadi, mari kita belajar memahami terlebih dahulu. Ini bukan hanya masalah Jakarta-Bandung, tapi ini masalah kita semua. Karena sejatinya, sepak bola merefleksikan kondisi masyarakat kita.