Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Sabtu, 30 Desember 2017
31 Desember 2017 2:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Siro Manungso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Istri bertanya, ‘’Kita ngapain malam tahun baru?’’
‘’Biasalah. Tidur. Kalau nggak ya nonton TV,’’ jawabku santai.
ADVERTISEMENT
‘’Sepakat,’’ kata istriku.
Tahun baru memang tidak pernah istimewa buat saya. Sama saja dengan hari-hari lain. Kami tidak melihat perlunya harus dirayakan. Apalagi harus sampai tidak tidur. Apalagi harus ke tempat keramaian.
Setelah kawin dengan saya, istri rupanya juga terbawa dengan kebiasaan saya.
Bukan berarti kemudian saya keberatan kalau ada yang merayakan. Atau menganggapnya penting. Orang berbeda-beda. Punya pandangan sendiri-sendiri.
Hal yang paling mendekati dengan merayakan pergantian tahun yang pernah saya lakukan adalah ketika teman-teman berdatangan ke rumah untuk ngobrol, gitaran, sambil makan minum seadanya.
Tetapi hal seperti itu biasa kami lakukan tanpa harus ada pergantian tahun.
Namun ada pergantian tahun yang akan selalu saya ingat dan berkesan untuk banyak alasan. Pergantian dari tahun 1999 ke 2000.
ADVERTISEMENT
Kami sekeluarga tinggal di negeri orang waktu itu. Dan pergantian tahun adalah urusan besar di negeri itu. Festive season istilah mereka: satu rangkaian dari Natal hingga tahun baru. Istimewanya untuk tahun itu tentu saja karena masuk ke tahun 2000, pergantian abad.
Pemerintah mengadakan pesta kembang api paling besar dalam sejarah. Dengan pusat sebuah sungai besar yang membelah kota.
Kantor saya ada di tengah kota dan hanya sepelemparan batu jaraknya dari pusat peristiwa. Kebetulan juga malam itu saya harus bekerja dan shift berakhir hanya kira-kira satu jam sebelum pergantian tahun.
Saya memutuskan untuk menunda kepulangan sebentar untuk melihat keramaian hingga pesta kembang api dimulai.
Tentu saja indah luar biasa. Saya harus akui itu. Tetapi bukan soal kembang apinya yang membuat saya tertegun. Adalah mereka yang merayakan yang membuat saya memutuskan untuk cepat-cepat masuk stasiun kereta api dan pulang.
ADVERTISEMENT
Mereka ini –yang saya lihat anak muda semua—secara acak menciumi siapapun yang mereka temui. Memaksa. Di depan, kiri, kanan, belakang, siapa saja. Jumlah mereka ratusan.
Saya tidak mengerti mengapa mereka seperti itu. Pangalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya.
Sampai di rumah sudah ada beberapa teman yang menunggu saya untuk seperti yang saya katakan sebelumnya, mengobrol dan main gitar.
Saya baru hendak menceritakan apa yang saya alami, ketika teman-teman ini bertanya, ‘’Bagaimana bung, dapat ciuman nggak?’’
Rupanya itu sudah menjadi tradisi. Kalau saja saya tahu sebelumnya………….