Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Sabtu, 9 Desember 2017
10 Desember 2017 1:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Siro Manungso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pukul 23.30 dan terjebak kemacetan berjam-jam. Antara jengkel, marah, dan putus asa. Terlebih ketika tahu penyebab kemacetan semestinya sangat bisa dihindari.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah acara keagamaan yang mendatangkan massa dalam jumlah yang besar. Sedemikian besarnya, satu ruas jalan harus ditutup total untuk menampung jumlah yang hadir meluber keluar dari tempat acara. Separuh ruas jalan dari arah berlawanan ditutup untuk menampung kendaraan mereka.
Saya tidak pernah keberatan ketika ada acara semacam itu. Mereka punya hak untuk menggelarnya. Ini negara bebas yang menghormati agama dan segala macam kegiatannya, itu yang saya tahu.
Kalau mereka menganggap dengan hadir dalam acara keagamaan yang terbuka dan mendatangkan massa adalah salah satu ekspresi kesalehan, baik untuk yang datang maupun penyelenggara, itu juga tidak apa-apa. Baik-baik saja.
Saya hanya keberatan ketika ekspresi itu kemudian mengganggu ketertiban dan kenyamanan orang lain. Justru sebaliknya, kesalehan semestinya membuat orang lain menjadi nyaman.
ADVERTISEMENT
Dan ini bukan kejadian pertama. Sudah berulangkali hal serupa terjadi. Mengapa tidak berpikir mengaturnya secara lebih baik.
Kalau tidak memiliki ruang yang cukup lapang, tidakkah bisa dicarikan tempat yang lebih bisa menampung jumlah massa yang banyak? Sehingga tidak perlu mengambil fasilitas umum yang merupakan hak orang banyak. Bukankah mengambil hak orang adalah sebuah larangan dalam agama?
Karena sudah berulang kali terjadi, tidak bisakah diupayakan pengaturan alur lalu lintas yang lebih baik bekerja sama dengan pihak berwenang seperti kepolisian? Polisinya yang bebal dan tidak punya ide? Ataukah penyelenggara dan yang datang yang tidak bisa diatur?
Kalau acara keagamaan itu dimaksudkan sebagai syiar, kira-kira syiar seperti apa kalau hanya membuat jengkel orang?
ADVERTISEMENT
Sudahlah. Mengapa pula saya mempertanyakan hal-hal yang mungkin diterima begitu saja sebagai bagian dari kenyataan hidup tinggal di Jakarta.