Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Analisis Hukum Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak
8 Mei 2024 11:50 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Sisca Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Pada dasarnya untuk menyatakan suatu kontrak kerja/perjanjian kerja dianggap sah atau tidak maka wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat :
ADVERTISEMENT
Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
Hal apa saja yang dapat menyebabkan pemutusan hubungan kerja ?
Pemutusan hubungan kerja atau PHK kerap menjadi momok yang menakutkan, baik bagi karyawan maupun perusahaan, namun harus tetap ditempuh demi kepentingan perusahaan. Walaupun pada dasarnya, setiap pihak diamanatkan oleh Undang-Undang untuk dengan segala upaya harus mengusahakan agar tidak terjadi PHK, namun pada kenyataannya terkadang PHK menjadi satu-satunya jalan yang harus ditempuh perusahaan demi memastikan keberlangsungan usaha. Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003) menjelaskan bahwa sebelum melaksanakan PHK, perusahaan wajib merundingkan maksud PHK kepada karyawan atau serikat pekerja. Apabila dalam melakukan perundingan tersebut tidak mendapat persetujuan antara kedua pihak, PHK baru dapat dilakukan apabila telah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
ADVERTISEMENT
Pasal 154A UU No. 13/2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU No. 11/2020) menjelaskan, bahwa pelaksanaan PHK dapat dilakukan dengan alasan:
Akibat hukum dari pemutusan kontrak secara sepihak dalam kontrak pengadaan barang/ jasa adalah pengenaan sanksi administratif, sanksi pencantuman dalam daftar hitam (black list), gugatan secara perdata dan pelaporan secara pidana kepada pihak yang berwenang.
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika perusahaan melakukan PHK secara sepihak?
Bagi karyawan yang mendapat PHK dari pemberi kerja berhak mendapatkan uang pesangon, dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 UU No. 13/2003). Perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak akan disesuaikan dengan masa kerja yang sudah ditempuh oleh karyawan dan ketentuan-ketentuan lainnya yang telah diatur melalui UU No. 13/2003 dan UU No. 11/2020.
Pada intinya, perusahaan tidak dapat melakukan PHK secara sepihak kepada karyawan, dikarenakan UU No. 13/2003 menyatakan bahwa penetapan PHK harus berdasarkan perundingan dan persetujuan antara pemberi kerja (pengusaha/perusahaan) dan karyawan. Selain itu, perusahaan juga tidak bisa sembarangan dalam melakukan PHK terhadap karyawan. Alasan penetapan PHK sudah dijabarkan secara rinci melalui UU No. 11/2020. Diluar dari alasan tersebut, pengusaha tidak dapat melakukan PHK.
ADVERTISEMENT
Namun diluar dari alasan yang telah disebutkan diatas, berdasarkan Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP No. 35/2021) menjelaskan bahwa PHK dapat dilakukan apabila karyawan melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dalam hal ini, perusahaan dapat melakukan PHK tanpa didahului dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada karyawan (Pasal 52 Ayat (3) PP No. 35/2021).
Sehingga perusahaan dapat melakukan PHK secara langsung kepada karyawan, apabila karyawan ditemukan melakukan pelanggaran yang bersifat mendesak. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal Pasal 52 Ayat (2) PP No. 35/2021 memberikan contoh pelanggaran yang bersifat mendesak, seperti:
ADVERTISEMENT
Apa sanki yang diberikan kepada perusahaan yang melakukan pemutusan kerja secara sepihak ?
UU Ketenagakerjaan mengatur beberapa sanksi yang dapat diberikan kepada Pengusaha, antara lain:
ADVERTISEMENT
1. Sanksi administratif
Sanksi administratif dapat diberikan kepada Pengusaha apabila melanggar beberapa ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Sanksi administratif dapat berupa:
2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dapat dikenakan kepada Pengusaha yang diduga melanggar beberapa ketentuan UU Ketenagakerjaan. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 184 sampai Pasal 188 UU Ketenagakerjaan jo. UU Cipta Kerja. Beberapa Pasal diubah dengan UU Cipta Kerja, salah satunya yaitu Pasal 184 dimana dalam UU Cipta Kerja Pasal tersebut telah dihapus. Namun dalam UU Cipta Kerja menambahkan program jaminan sosial baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
KESIMPULAN
Dari Hasil pembahasan mengenai keabsahan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh pengusaha maka ada beberapa kesimpulan yang diperoleh, yaitu :
ADVERTISEMENT
Pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dalam hukum Ketenagakerja di Indonesia menurut peneliti adalah tidak sah karena PHK Sepihak adalah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan tanpa melalui proses hukum atau penetapan Lembaga penyelesaian hubungan industrial dan merupakan awal penderitaan bagi pekerja/buruh karena PHK yang dilakukan perusahaan akan membuat hak-hak pekerja/buruh hilang. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerja Pasal 151 ayat (2), (3) jo Pasal 155 ayat (1) dan Pasal 170 tidak diatur adanya PHK Sepihak. Dalam ketentuan pasal 151 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerja dijelaskan bahwa PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak melainkan harus melalui perundingan terlebih dahulu, bila perundingan tidak menghailkan persetujuan, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial begitu juga dengan ketentuan Pasal 151 ayat (3). Dalam Pasal 161 juga dijelaskan bila pekerja/buruh melakukan pelanggaran harus terlebih dahulu diberikan surat peringatan ke-1, ke-2, dan ke-3
ADVERTISEMENT
SARAN
Menurut penulis pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja seharus terlebih dahulu melakukan perundingan agar tercapai kesepakatan dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Dimana sahnya suatu pemutusan hubungan kerja harus melakukan perundingan terlebih dahulu dan memberikan surat peringatan. Dimana bila tidak melakukan seperti ketentuan Pasal 151 dan Pasal 161 maka pemutusan hubungan tersebut tidak sah dan batal demi hukum.