Labirin Cinta (Bab 17)

Fransisca Susanti
Hai, nama panggilanku Sisca. Aku lulusan Teknik Kimia Universitas Jenderal Achmad Yani dan master graduate Manajemen Bisnis SB IPB. Sekarang kerja sebagai translator lepasan, kolaborasi blog, dropshipper tshirt, dan usaha preorder makanan waroenkmoe.
Konten dari Pengguna
6 Desember 2021 19:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fransisca Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Riza
Riza (Sumber gambar: free use pixabay.com).
“Bu, Riza takut di sini. Kapan Ibu akan membawaku pulang? Maafkan aku, Bu! Aku berjanji tidak akan bertindak jahat lagi,” kata Riza sembari tersedu sedan. Tidak terlihat jejak-jejak kebengisan di wajahnya, selain sorot mata yang sendu dengan binar liar yang memancarkan rasa takut. Ia duduk menghadap Bu Diana yang datang saat jam berkunjung, yaitu tepat tengah hari.
Ruang Cempaka (Sumber gambar: free use Canva)
Riza dirawat di ruang rawat jiwa  RS Salak Indah yang terisolir, yaitu Ruang Cempaka yang berada di area belakang dan terpisah dari bangunan utama RS Salak Indah. Ia tinggal di tempat karantina tersebut bersama kedua puluh lima pria lainnya. Bangunan tinggi peninggalan Belanda dengan jendela-jendela besar ini, terdiri dari ruang-ruang tidur di area belakangnya. Satu ruang tidur dihuni oleh 2 orang. Dalam ruang tidur tersebut terdapat 2 tempat tidur kecil, 1 lemari baju, dan 1 meja kecil. Area tengah terdiri atas bilik-bilik kecil yang terdiri atas ruang konsultasi psikolog dan ruang perawat. Sedangkan di area depan bangunan terdapat sebuah aula besar dengan meja-meja panjang dan berderet-deret kursi lipat sebagai ruang makan sekaligus ruang jenguk. Tiga perawat perempuan duduk di meja khusus. Mereka berjaga di ruang tersebut sejak pagi hingga sore.  Ada juga dua calon perawat yang sedang magang dan bertugas mengajak bicara para pasien dan mencatat laporan perkembangan pasien pada formulir khusus. Sekilas bangunan ini tampak biasa, tapi yang membuat ngilu hati yang melihatnya ialah jeruji-jeruji besi yang dipasang ganda di pintu depan dan di sekeliling area bangunan. Hati Karin pun berdesir melihatnya. Untuk masuk ke area bangunan yang selalu digembok tersebut, memerlukan izin khusus.
ADVERTISEMENT
Mengintip (Sumber gambar: free use pixabay.com).
Karin mengintip Riza dan Bu Diana dari celah pintu jeruji depan yang besar. Kedua tangannya menggenggam dua tas jinjing  yang berisi baju Riza dan bekal makanan untuk Riza. Tiba-tiba Bu Diana dan Riza menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan. Perawat yang berjaga di depan pintu jeruji depan meminta Karin untuk masuk. Ia membuka gembok demi gembok, tepatnya ada 2 gembok besar dan 1 gembok kecil. Karin melangkah masuk dengan ragu. Ia segera disambut hangat dengan Riza yang memeluknya erat-erat sembari menangis.
Riza (Sumber gambar: free use pixabay.com).
“Maafkan aku, Kak Karin. Aku tidak akan mengejar-ngejar Kak Karin dan Kak Amy lagi. Aku berjanji tidak akan mengancam untuk membunuh karena aku sudah menyadari kesalahanku sekarang. Tolong bawa aku dari tempat yang mengerikan ini! Aku sudah tidak tahan mendengar pasien lain yang mengamuk dan menjerit-jerit, terutama saat malam hari. Aku takut, Kak. Aku takut sekali,” pinta Riza memelas.
ADVERTISEMENT
“Kamu kan sedang dirawat. Nanti Ibu yang akan menanyakan pada dokter Romy mengenai kapan kamu bisa pulang ke rumah,” jawab Karin diplomatis. Ia merasa canggung dan jengah dipeluk erat oleh adiknya. Sebenarnya, Karin memang tidak terbiasa berpelukan dengan anggota keluarganya yang kaku.
“Janji ya, Kak.”
“Iya, Riza makan saja dulu. Tadi pagi Ibu memasak semur ayam kesukaanmu,” bujuk Karin untuk mengalihkan pikiran Riza. Ia sibuk mengeluarkan kotak bekal makanan dan menyajikannya di atas meja.
Biskuit, pisang, dan buah naga (Sumber gambar: free use Canva)
“Tolong biskuit, pisang, dan buah naganya juga dikeluarkan,” pinta Bu Diana ke Karin, dan kemudian berkata pada Riza, “Riza, setelah menyantap nasi ayam semur, kamu harus menghabiskan buah naga ini sebagai detoksifikasi karena obat kamu banyak sekali jenisnya. Ingat ya, Riza. Kamu harus mengikuti saran doktermu supaya cepat sembuh.”
ADVERTISEMENT
“Iya, Bu. Tapi, Ibu tanyakan kapan aku bisa pulang ya?” Tanya Riza sembari menggigit paha ayam favoritnya.
“Baiklah, Ibu akan menanyakannya setelah selesai menjengukmu.”
Pasien lainnya mendekati Riza dan menatap kotak bekalnya. Bu Diana yang tanggap segera menawarkan buah pisang dan biscuit. Mereka mengambilnya dengan sopan dan tersenyum manis.
Karin sangat terkejut ketika beberapa pasien pria berumur kisaran 30-50 tahunan asyik berbincang sembari menunjuk ke arah dirinya. Pria berbaju merah berkata dengan lantang, “Jika kalian sudah sembuh dan keluar dari Ruang Cempaka ini, maka carilah perempuan yang cantik seperti itu. Ingatlah baik-baik!” Sarannya yang penuh semangat disambut dengan anggukan antusias oleh pasien lainnya.
Karin (Sumber gambar: free use Canva dan pixabay.com).
Mendengar pujian tersebut, Karin merinding karena 7 pasang mata menatapnya dengan intens. Ya, itu pujian yang tulus, tapi tolonglah jangan menatap dengan sinar X dan tersenyum menyeringai bersama-sama seperti itu. Memang Karin agak trauma jika berhadapan dengan banyak pria setelah ia pernah dimarahi oleh istri tetangganya yang sedang hamil besar karena ia dituduh menggoda suaminya. Sebelumnya, Karin hanya membuat bolu ubi ungu dan mengantarkannya ke tetangga tersebut atas permintaan ibunya. Siapa yang menyangka sang suami tergila-gila dengan bolu ubi ungu tersebut, dan kemudian berlanjut tergila-gila pada sang pembuatnya. Cinta memang tak bisa diprediksi dan sering jatuh di tempat yang salah.
ADVERTISEMENT
***
Dokter Romy (Sumber gambar: free use Canva dan pixabay.com).
“Dok, kira-kira kapan Riza selesai dirawat di Ruang Cempaka?”
“Tolong tunggu sebentar! Saya akan memeriksa dulu catatan laporannya,” jawab dokter Romy sembari membetulkan letak kacamata yang bertengger manis di hidungnya yang mancung. Ia pria berusia akhir 40 tahun-an dengan tubuh yang agak gempal dan kulit sawo matang. Sikapnya yang ramah dan penuh perhatian membuatnya dokter jiwa favorit di rumah sakit ini.
“Iya, dok. Riza memohon terus supaya ia segera pulang ke rumah. Ia cemas dengan pasien lainnya yang sering mengamuk saat malam hari, terutama pasien yang sekamar dengannya.”
“Oh, begitu. Ibu tidak perlu kuatir. Nanti akan saya instruksikan supaya teman sekamar Riza diganti dengan pasien lain yang lebih tenang. Mengenai tanggal keluar Riza sudah ditentukan. Berdasarkan peraturan rumah sakit ini, pasien jiwa hanya berobat di ruang rawat ini selama 3 minggu. Jadi, tiga hari lagi Riza bisa keluar.”
ADVERTISEMENT
“Syukurlah, dok.”
Obat schizophrenia (Sumber gambar: free use Canva)
“Tapi, Ibu harus  ingat bahwa penyakit schizophrenia paranoid yang diderita Riza membuatnya tidak bisa sembuh 100%. Ia harus berobat jalan seumur hidupnya agar tidak berperilaku agresif dan perkembangan penyakitnya bisa ditekan.”
“Apa obatnya tidak memiliki efek samping pada organ dalam seperti hati dan ginjal jika dikonsumsi dalam jangka panjang?”
“Oleh karena itu, obatnya harus diminum secara teratur sehingga lama-kelamaan akan dikurangi dosisnya. Setelah Riza keluar dari Ruang Cempaka, akan saya rekomendasikan untuk mengikuti terapi perilaku, yaitu aktivitas Day Care seperti bertani hidrofonik, membuat tembikar, membuat roti, membuat telur asin, mencuci mobil atau motor, senam otak, bernyanyi, dll. Psikolog dan trainer akan memantau perkembangan Riza dan mengarahkan bakat serta minatnya sehingga suatu saat Riza bisa mandiri dan hidup layak secara normal. Laporan Ibu mengenai Riza yang senang menjual barang yang bukan miliknya, memberikan harta Ibu tanpa izin, dan paranoid, akan kami tangani tahap demi tahap.”
ADVERTISEMENT
“Baiklah, dok. Terima kasih banyak atas segala bantuannya.”
Riza (Sumber gambar: free use pixabay.com).