Labirin Cinta (Bab 9)
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2021 18:18 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Fransisca Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasukan
“Kalian semua polisi kenalan Karin? Kakakku memang perempuan iblis. Ia pasti menyuruh kalian untuk memenjarakanku karena aku melempari mangkuk. AKU TIDAK INGIN DIBORGOL DAN DITANGKAP. TOLONG,” teriak Riza histeris ketika melihat 6 pria datang ke rumah dan menghampirinya.
ADVERTISEMENT
Riza sangat ketakutan. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya bergetar hebat. Perawat Ramli, satu-satunya pria yang bertubuh kurus dan berseragam putih bersih dalam kawanan tersebut, melangkah maju ke depan. Sedangkan, kelima pria kekar lainnya tetap berdiri dan memperhatikan dengan raut wajah serius. Mereka sengaja tidak membuka kacamata hitamnya agar tampak berwibawa.
“Dik Riza, kami tenaga kesehatan, bukan polisi. Nama saya Ramli. Ada laporan bahwa Adik sakit jantung, liver, dan tekanan darah tinggi. Oleh karena itu, kami akan membawa adik ke Rumah Sakit Salak Indah untuk melakukan full check-up.”
“Jadi, kalian datang bukan atas permintaan Karin?”
“Tentu saja bukan. Pihak yang melapor ialah tetangga Dik Riza yang namanya dirahasiakan. Ia kuatir dengan kesehatan Dik Riza. Mungkin Dik Riza pernah mengeluh kesehatan dengan seseorang.”
“Iya, jantungku sakit parah dan sering berdebar-debar. Tolong ganti jantungku dengan jantung pisang. Setidaknya jantung pisang masih sehat, tidak seperti jantungku yang sudah busuk. Apa bisa jantungku ditransplantasi dengan jantung pisang?”
ADVERTISEMENT
“Tentu bisa. Rumah sakit kami memiliki beberapa dokter jantung yang andal, yaitu dokter Dhanu, dokter Fritz, dan dokter Rini.”
“Bagaimana dengan otakku?”
“Mengapa dengan otak Dik Riza?”
“Otakku sering mengepul-ngepul keluar asap rokok. Asapnya masuk dari hidung, menjalar ke tenggorokan, dan kemudian naik ke otak.”
“Tenang saja. Nanti Dik Riza akan ditangani tim ahli dokter. Semua penyakit akan terdeteksi.”
“Tapi, mengapa tenaga kesehatan lainnya tubuhnya berotot. Jangan-jangan mereka semua polisi yang menyamar untuk menangkapku?” Tanya Riza dengan nada suara yang tajam. Matanya melotot dan bersinar dingin. Tangan kanannya mencengkeram kerah kemeja Perawat Ramli.
“Kebijakan rumah sakit kami memang memperkerjakan beberapa perawat yang berotot agar kuat menggotong pasien,” sahut Perawat Ramli dengan tenang.
ADVERTISEMENT
“Oh, begitu.”
“Mari, Dik Riza. Kami siap membawa Adik ke rumah sakit. Jangan berpikir terlampau dalam. Adik harus diobati secepatnya. Bukankah Dik Riza sering muntah?” Tanya Perawat Ramli dengan nada membujuk sembari merangkul Riza.
“Iya, hampir setiap malam aku muntah akibat diracuni Karin dan Amy. Mereka saudari perempuanku, tapi sangat jahat.”
“Kami memiliki obat mujarab untuk membersihkan racun.”
“Benarkah? Aku ingin semua racun di tubuhku dikeluarkan.”
“Tentu, Dik Riza tenang saja.”
“Apa aku akan dirawat inap?”
“Itu tergantung keputusan dokter jaga di IGD.”
“Tunggu sebentar. Aku ingin membawa baju. Kuatirnya, nanti aku dirawat inap.”
“Baiklah, kami akan tunggu. Tapi, tolong sesegera mungkin karena kami masih akan menjemput pasien lain setelah Dik Riza diantar ke rumah sakit.”
*Disclaimer: Percakapan ini untuk menggambarkan halusinasi yang dialami penderita schizophrenia sehingga memerlukan penanganan medis.
ADVERTISEMENT