Mengawal Lahan Tani di Tengah Gempuran Lahan Properti
Konten dari Pengguna
26 Mei 2023 10:40
ยท
waktu baca 4 menitTulisan dari Siska Pramudya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Masalah-masalah sektor pertanian saat ini menjadi semakin kompleks. Tentu saja menjadikan petani sebagai pemeran utama jalannya sektor ini menjadi semakin terhimpit. Peraturan perundang-undangan yang ada menjadikan semakin sempitnya ruang gerak para pelaku di sektor pertanian ini.
Hal ini menjadikan banyak pihak memilih untuk meninggalkan sektor yang seharusnya menjadi tumpuan utama kehidupan. Tanpa adanya pertanian maka akan terjadi gejolak yang sangat besar tentang ketahanan pangan. Permasalahan pertanian yang dihadapi selain karena dukungan pupuk yang semakin sulit diperoleh subsidinya adalah lahan yang semakin habis.
Alasan klasik yang menjadikan petani atau pemilik lahan tani menjual lahannya adalah tidak adanya penerus dan biaya usaha tani yang semakin melambung. Jaminan kesejahteraan lewat usaha tani seperti tidak menjanjikan harapan yang baik bagi pelaku usahanya.
Adanya kemudahan dan iming-iming harga tanah yang tinggi menjadikan petani atau pemilik lahan tani banyak tergiur nilai fantastis yang dijanjikan investor atau developer yang akan membeli tanah tersebut. Aturan tata kelola lahan pertanian juga seperti tidak berpengaruh terhadap menyempitnya lahan usaha tani di Indonesia.
Peran Pemerintah Tak Cukup

Aturan-aturan pemerintah tentang alih fungsi lahan maupun tata ruang daerah seperti hanya menjadi catatan yang tak diperhatikan. Perizinan yang terkesan memudahkan dengan alasan potensi investasi untuk mendukung pendapatan daerah menjadikan semakin lemahnya lahan usaha tani terlindungi.
Pentingnya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 41 Tahun 2009 agar dapat mengurangi laju konversi lahan. Dengan UU ini, seharusnya bupati atau pemerintah daerah di seluruh Indonesia tidak mudah memberikan izin alih fungsi lahan pertanian di daerahnya. Saat ini banyak sawah dikepung bangunan. Lahan produktif banyak yang beralih fungsi, padahal kekurangan pangan adalah masalah besar.
Melihat fenomena tersebut, muncul keresahan dalam benak saya, apakah agenda pembangunan yang digadang-gadang dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat harus mengorbankan sektor pertanian sebagai tumpuan ketahanan pangan? Mengingat, pembangunan yang tidak memperhatikan dukungan pada pelaku usaha tani justru akan berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan saat ini dan juga masa depan.
Aturan yang jelas dan tegas dalam aturan tata ruang lahan tani perlu digalakkan. Karena jika tidak ada ketegasan dalam aturan tata ruang tersebut, maka bukan tidak mungkin lahan tani akan hilang dan terganti dengan lahan properti.
Berebut Lahan Produksi di Lahan Properti

Kebutuhan pangan hingga kebutuhan papan masyarakat dari tahun ke tahun semakin meningkat. Akan tetapi ketimpangan pembagian lahan tentang tata ruang lahan semakin pula tidak jelas. Seharusnya, solusi dalam pembagian dan perizinan penggunaan lahan haruslah tertulis dan ditegakkan dengan jelas.
Jika tidak maka masalah ini akan semakin menjadi rumit, dan pada akhirnya harus mengorbankan salah satu pilihan. Pada akhirnya jika dilihat dari statistik lahan tani yang ada, maka bukan tidak mungkin lahan tani utamanya diperuntukkan untuk lahan potensial pangan akan menghilang.
Hingga tahun 2025, kebutuhan lahan untuk pangan di Indonesia diperkirakan mencapai 13,17 juta hektare dengan rincian, tambahan lahan sawah mineral sebesar 2 juta hektare, lahan rawa 3, 32 juta kektare, dan tambahan lahan kering 7,85 juta hektare.
Dari total luas lahan pertanian saat ini seluas 70 juta hektare, yang efektif untuk produksi pertanian hanya 45 juta hektare. Luas lahan sawah cenderung menurun sebagai akibat alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian yang mencapai 50 ribu hingga 70 ribu hektare per tahun. Padahal pencetakan sawah hanya seluas 20 ribu hingga 40 ribu hektare per tahun.