Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menepis Stigma Istilah Drama dan Aktornya
7 Desember 2020 10:02 WIB
Tulisan dari Sisti Damayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tak mengenal istilah drama? Sebagian besar tentu mengenalnya, namun dengan persepsi yang berbeda-beda. Pada hakikatnya, istilah drama mengacu pada dua bentuk, yaitu bentuk naskah dan juga bentuk seni pertunjukan.
ADVERTISEMENT
Istilah drama dan stigma terhadapnya
Istilah drama sering digunakan untuk aktivitas sehari-hari yang dibuat-buat atau aktivitas yang rumit. Tidak hanya itu, penggunaan tersebut memiliki konotasi negatif. Hal ini merujuk pada adanya unsur rekaan dalam drama. Akan tetapi, rekaan dalam drama itu berbeda, ia dibuat dengan kaidah kesastraan dan memiliki fungsi tertentu.
Mengacu pada drama modern dan sudut pandang pementasan, drama diartikan sebagai “kisah hidup manusia dalam masyarakat yang diproyeksikan di atas panggung, disajikan dalam bentuk dialog dan gerak berdasarkan naskah, didukung tata lampu, tata panggung, tata musik, tata rias, dan tata busana”. Lebih lanjut, “lakon drama sebenarnya mengandung pesan/ajaran (terutama ajaran moral) bagi penontonnya” (Ika Setiyaningsih, 2009: 9). Mengacu pada esensi drama yang sebenarnya, tentu sangat berbeda dengan stigma istilah drama yang ada di benak masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penggunaan istilah drama yang berkesan negatif mesti diubah. Upaya ini tentu bertujuan untuk menghidupkan citra positif drama dan meningkatkan eksistensinya. Dengan demikian, akan lebih banyak masyarakat yang mendapat manfaat dari pertunjukan drama. Dalam hal ini, masyarakat perlu mengedukasi diri untuk lebih memahami bagaimana sastra drama itu hadir untuk menghibur sekaligus mendidik. Di sisi lain, upaya menghidupkan citra positif drama sebenarnya telah hadir dari kurikulum pendidikan yang melibatkan drama sebagai pembelajaran di sekolah.
Istilah drama dalam bentuk pertunjukan sering dipertukarkan penggunaannya dengan istilah teater. Namun, istilah teater agaknya lebih baik dan hanya sedikit menimbulkan stigma. Melihat demikian, apakah selanjutnya istilah drama harus digantikan dengan teater? Sebenarnya, penentu hal ini adalah masyarakat, mengingat bahwa bahasa erat sekali kaitannya dengan masyarakat. Bagaimanapun, masyarakat adalah pengguna sekaligus pemroses bahasa.
ADVERTISEMENT
Manfaat pertunjukan drama
Drama dalam bentuk pertunjukan (teater) merupakan kelanjutan dari bentuk naskah drama. Pada dasarnya, drama dalam bentuk ini tidak hanya sekadar berakting. Dibalik itu, pertunjukan drama bertujuan untuk memberikan impresi kepada penontonnya. Impresi ini kemudian terinternalisasi dalam diri penonton dan dapat dijadikan referensi ketika menjalani kehidupan. Senada dengan hal ini, drama realis turut andil merefleksikan realitas, termasuk kritik terhadap kehidupan.
Pada prosesnya, bentuk kedua atau pertunjukan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyuguhkan satu pementasan. Hal ini penulis rasakan dalam proses observasi pertunjukan di Teater Kosong pimpinan Radhar Panca Dahana. Dari proses ini, secara tidak langsung banyak manfaat yang didapat para aktor. Manfaat tersebut antara lain adalah meningkatkan ketahanan fisik, kualitas mental, bahkan spiritual.
ADVERTISEMENT
Ketahanan fisik didapat dalam proses latihan fisik untuk meningkatkan performa di atas panggung. Kualitas mental dapat berupa rasa percaya diri dan bagaimana seseorang dapat mengontrol dirinya. Latihan pendukung hal ini adalah ketika menampilkan diri di atas panggung dan pada saat latihan olah batin. Kemudian, untuk kualitas spiritual selain didapat dari latihan olah batin, juga didapat dari proses mengidentifikasi bagaimana rangkaian peristiwa dalam drama terjadi. Suatu peristiwa, tentu memiliki sebab dan akibat. Sebab akibat, bagi orang yang percaya, ada peran Tuhan di dalamnya. Ini menjadi referensi aktor untuk menjalani realitas kehidupan yang lebih baik.
Aspek dalam drama yang juga memiliki stigma
Tidak hanya istilah drama yang mendapat citra negatif di masyarakat, aktor yang terlibat di dalamnya juga demikian. Asumsi ini mungkin berangkat dari penampilan aktor yang misalnya berambut gondrong, seperti preman atau ideologinya yang mengacu pada kebebasan. Namun, tidak semuanya seperti itu, banyak pelaku teater yang merupakan akademisi dan juga cendekiawan.
ADVERTISEMENT
Stigma pada aktor bahkan dapat direkonstruksi oleh proses berteater. Hal ini dibuktikan oleh eksperimen Radhar Panca Dahana, seorang sastrawan sekaligus pemimpin Teater Kosong. Dilangsir dari katalog pementasan Homo Reptilicus pada 2015 lalu, "Perilaku, gaya hidup, cara berpikir para seniman teater itu menimbulkan kesan yang tidak positif bahkan stigmatik di kalangan masyarakat luas".
Berdasarkan pengamatannya tersebut, Radhar Panca Dahana mengemukakan hipotesis "Aktor yang baik seharusnya juga seorang manusia yang baik. Teater atau proses menjadi aktor mestinya menjadi 'jalan' menjadi 'the way' bagi seseorang untuk mengenali diri menjadi manusia". Lebih lanjut, "itulah sebuah 'jalan' di mana seseorang berproses untuk mengisi dirinya dengan kebaikan-kebaikan yang ia dapat dari orang lain. Mengisi diri sendiri dengan kehadiran orang lain seperti kita mengambil karakter sebuah peran".
ADVERTISEMENT
Hipotesisnya berhasil setengah, yaitu "Para anggota yang datang dari berbagai latar sosial, pendidikan, negara, atau kultur yang berbeda, juga dengan perilaku bahkan aneh dan kriminal akhirnya berhasil berkembang menjadi homo sociuz yang dapat dipertanggungjawabkan. Kiprah mereka di masyarakat sekitar dikenal baik”. Sayangnya, hipotesisnya menyatakan lagi, "Tapi, sebagai seniman, sebagai aktor yang memproduksi pertunjukan, nol!". Eksperimen ini menjadi cukup bukti, bahwa sekalipun mereka tidak baik, teater bisa menjadi jalan untuk manusia menjadi baik meskipun belum tentu menjadi pemeran yang baik.
Stigma drama dan aktornya muncul dari pengetahuan masyarakat mengenai dunia teater yang masih minim. Dari hal ini, perlu pemahaman yang lebih mendalam sebelum memunculkan stigma. Lebih jauh lagi, masyarakat diharapkan untuk mengapresiasi pertunjukan-pertunjukan yang ada untuk terus mendongkrak perkembangan teater.
ADVERTISEMENT