Menunggu Roadmap Dekarbonisasi Kemaritiman Nasional

Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Konten dari Pengguna
22 Mei 2023 12:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siswanto Rusdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
mKRI Dewaruci (kanan) berlayar mengikuti pelayaran Ekspedisi Maritim 2022 di Dermaga Kolinlamil, Jakarta, Kamis (22/9/2022). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
mKRI Dewaruci (kanan) berlayar mengikuti pelayaran Ekspedisi Maritim 2022 di Dermaga Kolinlamil, Jakarta, Kamis (22/9/2022). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Sebagai warga dunia kemaritiman, Indonesia tentu saja mengikuti berbagai agenda yang ada, salah satunya dekarbonisasi dalam bidang pelayaran dan pelabuhan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kedua program tersebut hingga saat ini tidak memiliki roadmap atau peta jalan yang jelas. Sehingga, berbagai langkah, terobosan dan teknologi yang diinisiasi oleh berbagai elemen pemangku kepentingan kemaritiman di Tanah Air berjalan sporadis dan tanpa arah yang jelas.
Sinyalemen di atas dibunyikan oleh salah seorang peneliti kemaritiman nasional, Muhammad Arif Budiyanto, yang juga Ketua Program Studi Teknik Perkapalan di Universitas Indonesia (UI).
Jadi jelas bukan pernyataan kaleng-kaleng. Doktor marine system engineering itu mengungkapkan status kelam agenda dekarbonisasi kemaritiman Indonesia dalam acara konferensi di sela-sela pameran Sea Indonesia 2023 yang digelar di arena PRJ Kemayoran beberapa waktu lalu.
Ketiadaan roadmap dekarbonisasi salah satunya dirasakan di sektor research and development (R&D). Tidak jelas leading sector yang manakah yang menjadi rujukan bagi kalangan peneliti/kampus.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, kementerian/lembaga yang ikut terlibat atau dilibatkan dalam agenda dekarbonisasi di Indonesia sebagai aktor utamanya adalah Kementerian Perhubungan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tentu saja K/L yang lain juga ada perannya barang sedikit. Memang sangat tersebar para pihak dari kubu regulator atau pemerintah.

Bahan Bakar Alternatif

Ilustrasi kapal tua di Indonesia yang masih aktif digunakan. Foto: Budi Winarno/Shutterstock
Kondisi yang ada, menurut Arif, dapat dilihat dalam pemanfaatan gas untuk tenaga penggerak kapal. Hasil kajiannya mengungkapkan, dalam pembuatan kapal berbahan bakar gas (dipergunakan untuk mengangkut gas) lebih mahal biaya pembangunannya dibanding harga gas itu sendiri. Akhirnya terjadi disinsentif bagi mereka yang ingin menggunakan BBG sebagai penggerak mesin kapal.
Adapun gas yang digunakan untuk penggerak kapal sejauh ini mencakup LNG, hidrogen, amonia dan lain sebagainya. Mereka dilirik karena rendah, bahkan nol, emisi.
ADVERTISEMENT
Kapal-kapal yang menggunakan bahan bakar tipe ini pun sudah ada yang mengarungi lautan. Dunia pelayaran mencatat saat ini ada sepuluh kapal yang menggunakan LNG, antara lain, Creole Spirit, Isla Bella dan Rem Eir.
Dicoba juga pemanfaatan angin sebagai penggerak (teknologi wind propulsion). Tenaga nuklir juga dijajal. Menariknya, pemanfaatan bahan bakar alternatif ini ternyata tidak sepenuhnya baru bagi bisnis pelayaran.
Sekadar pengingat. Barangkali pembaca masih ingat dengan MV Savannah. Kapal ini merupakan kapal komersial yang digerakkan oleh tenaga nuklir. Ia dibangun pada 1950 dengan biaya 46,9 juta dolar AS dan diluncurkan pada 1959 dan beroperasi hingga 1972.
Kemudian ada juga kapal pemecah es bertenaga nuklir buatan Uni Sovyet, Lenin, yang dikonstruksi pada 1957. Pada COP26 tahun 2021 penggunaan energi nuklir untuk penggerak kapal kembali mendapat momentum melalui imbauan John Kerry, mantan menteri luar negeri AS yang kini menjadi duta iklim negeri Paman Sam.
ADVERTISEMENT
Dalam forum tersebut ia mendorong agar dunia pelayaran internasional dapat melihat lebih serius kepada energi nuklir untuk kapal.

Posisi Internasional Indonesia

Ilustrasi kapal terjebak di tengah laut. Foto: JSvideos/Shutterstock
Ketiadaan peta jalan dekarbonisasi di dalam negeri jelas mempengaruhi posisi Indonesia di mata komunitas kemaritiman internasional. Untuk catatan, program dekarbonisasi dalam dunia pelayaran digawangi oleh International Maritime Organization (IMO).
Dekarbonisasi merupakan salah satu bagian dari program zero emission lembaga itu. Satunya lagi adalah IMO 2020 atau dikenal dengan “sulphur cap”.
Keduanya menyasar kapal-kapal yang berlayar di perairan internasional sementara untuk pelayaran domestik negara anggotanya diserahkan kepada otoritas kemaritiman masing-masing untuk mengaturnya. Yang jelas tidak boleh di bawah standar minimum yang ditetapkan oleh IMO. Lebih tinggi atau lebih keras boleh.
ADVERTISEMENT
Sulphur cap sudah dijalankan sejak 1 Januari 2020 di berbagai wilayah yang oleh organisasi yang berbasis di London, Inggris, disebut emission control area (ECA). Nilai maksimal sulfur yang bisa dibuang dari cerobong asap kapal hanya 0,10 persen.
Sementara itu program dekarbonisasi atau zero carbon emission dipatok oleh IMO harus terwujud paling telat 2050. Sebagai negara anggota Indonesia telah memberlakukan kebijakan pembatasan sulfur sesuai tenggat waktu yang ditetapkan IMO di atas.
Ada persoalan dalam penerapan IMO 2020 di Indonesia? Jelas ada terutama terkait isu ketersedian BBM yang disyaratkan dan harganya. Awalnya ada kekhawatiran bahwa Pertamina sebagai pemasok BBM kapal, khususnya dengan kadar 0,5%, tidak akan mampu memasoknya.
Setelah berjalan perusahaan minyak negara itu mampu menyediakan BBM rendah sulfur. Hanya saja, pilihan utama pelayaran untuk pengisian bahan bakar ini tetap di Singapura. Harganya relatif murah di sana.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi masalah kini adalah program dekarbonisasi pelayaran–termasuk juga pelabuhan sebenarnya. Roadmap adalah kunci.