Konten dari Pengguna

Konsumsi Bahan Pangan Lokal Atasi Gizi Buruk di Masyarakat

Siswiyanti sugi
blogger, content writer
23 Desember 2022 20:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siswiyanti sugi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa hari lalu saya membaca artikel di salah satu media cetak yang membahas limbungnya lumbung pangan di Merauke, Papua. Bayangkan! Lumbung pangan kok sampai limbung?
ADVERTISEMENT
Pada artikel lain di hari yang berbeda, saya membaca tulisan yang membahas tentang memanfaatkan bahan pangan lokal untuk atasi masalah kurang gizi di masyarakat.
Sementara itu, berdasarkan data yang diolah tim Litbang Kompas (2022) dari berbagai sumber menjelaskan separuh lebih penduduk di Indonesia tak mampu makan bergizi. Ironi dari negeri yang katanya tongkat kayu pun bisa jadi tanaman.
Hasil penelitian terkini ini seharusnya membuka mata banyak pihak, terutama stakeholder terkait untuk segera membenahi kebijakan atau melakukan terobosan ketahanan pangan.
Apa yang harus dilakukan agar kerawanan pangan ini tak semakin parah? Bonus demografi yang kita miliki akan sia-sia di masa depan. Ketahanan pangan menjadi pekerjaan rumah utama agar kita bisa bangkit bersama untuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kepedulian terhadap ketahanan pangan juga dirasakan Hayu Dyah. Hayu percaya bahwa keanekaragaman di piring kita akan mengembalikan keanekaragaman di alam.

Atasi Gizi Buruk dengan Bahan Pangan Lokal

Lulusan Teknologi Pangan dan Nutrisi Univesitas Widya Mandala Surabaya ini mulai berkenalan dengan aneka tanaman pangan liar pada tahun 2004. Kala itu, Hayu akan membuat penelitian tentang kandungan gizi mangrove.
Ternyata di tengah penelitian yang sedang dilakukan, Hayu juga menjumpai beragam jenis tanaman liar. Tertarik dengan keanekaragaman tanaman liat di lokasi tersebut, Hayu memperluas target penelitiannya, tidak hanya pada mangrove. Hingga saat ini, setidaknya Hayu dan timnya telah mendokumentasikan 400 jenis tumbuhan pangan liar lokal.
Berbekal kekayaan penelitian tanaman pangan liar yang sudah ia lakukan sebelumnya, Hayu pun menelisik dari ratusan jenis itu, apakah ada yang biasa dikonsumsi masyarakat di Desa Galengdowo.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka menemukan tanaman pangan liar di wilayah yang ia tuju, Hayu banyak berbincang dengan para lansia yang tinggal di desa-desa. Pada kesempatan itu, perempuan kelahiran tahun 1981 ini menanyakan kepada para lansia, tanaman apa saja yang pernah mereka konsumsi sewaktu muda.
Ternyata tanaman pangan liar yang pernah mereka konsumsi di masa lalu banyak yang masih dijumpai saat ini di sekitar kita. Sebutlah krokot, daun racun, tempuyung, legetan, dan sintrong.
Berdasarkan informasi yang ia peroleh dari para lansia di Desa Galengdowo, Hayu pun menggiatkan kampanye pemanfaatan tanaman pangan liar agar lebih banyak dikonsumsi masyarakat sekitar.

Atasi Gizi Buruk dengan Mengonsumsi Krokot dan Sintrong

Tanaman pangan liar sebenarnya termasuk sumber pangan bergizi dan murah yang mudah didapat. Dua di antaranya adalah krokot dan sintrong.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari jurnal Universitas Muhammadiyah Malang, nutrisi yang terkandung dalam krokot antara lain adalah asam lemak omega-3, asam eicosapentaenoic (EPA), vitamin A, B, C, dan E serta beta karoten. Beberapa mineral penting juga terkandung dalam krokot, diantaranya kalsium, magnesium, potasium/ kalium, dan zat besi.
Begitu pula dengan kandungan nutrisi pada daun sintrong.Berdasarkan data Kemenkes RI (TKPI), setiap 100 gram daun sintrong segar mengandung 9,3 mg besi, 0,20 mg riboflavin, 398 mg kalsium, 88,5 gram air, 444,4 mg kalium dan 95 mg fosfor. Ini menunjukkan bahwa kandungan besi, riboflavin, kalsium, air, kalium dan fosfor termasuk tinggi dan cukup tinggi.
Saya sering melihat dua tanaman pangan liar ini, tetapi baru tahu kalau bisa dimasak. Krokot bisa dimasak menjadi sayur bening atau urap-urap tidak pedas. Begitu pula dengan daun sintrong yang bisa diolah menjadi tumis daun sintrong. Bumbunya juga sederhana, sama seperti bumbu tumis pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Mengoptimalkan bahan pangan lokal untuk mengatasi gizi buruk di negeri ini sebenarnya sama dengan melibatkan kearifan pangan lokal. Kampanye Hayu membiasakan masyarakat Desa Galengdowo, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, berhasil menggerakkan para ahli di bidang ini untuk melakukan penelitian terhadap tanaman pangan liar di Indonesia.
Bayangkan apabila masyarakat Indonesia benar-benar mengonsumsi tanaman pangan liar di daerah masing-masing, lumbung pangan bisa dibangun di seluruh negeri!
Bahan pangan lokal yang dikonsumsi secara rutin dan menjadi bagian dari keseharian masyarakat termasuk kearifan pangan lokal. Semacam sistem yang diakui masyarakat setempat yang menjadi bagian dari keyakinan mereka.
Kearifan pangan lokal seharusnya tidak boleh sebatas jargon. Seharusnya masyarakat mengetahui dan mengenal sumber daya pangan lokal yang mudah diakses di lingkungannya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Langkah selanjutnya tentu saja membudidayakan tanaman pangan liar itu secara mandiri agar bisa diolah menjadi bahan pangan. Apabila kesadaran itu dimiliki masyarakat Indonesia secara merata, kerawanan pangan tidak akan menjadi sebuah keniscayaan.
Hayu sudah membukakan jalan. Hasil penelitiannya menjadi pintu gerbang kita memanfaatkan tanaman pangan liar untuk mengatasi gizi buruk di negeri ini. Mari kita #BangkitBersamaUntukIndonesia demi #KitaSATUIndonesia.