Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Supremasi Hukum Tertinggi di Indonesia Adalah Viral
30 Mei 2024 18:13 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Siti Aliya Rondonuwu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2021 lalu, tagar #PercumaLaporPolisi menjadi trending topik di Twitter. Terlihat dari penggunaan tagar tersebut mencapai lebih dari 32 ribu postingan.
ADVERTISEMENT
Hal ini bermula dari viralnya kasus seorang ayah yang memperkosa tiga anak kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Padahal, ibu korban telah membuat laporan sejak tahun 2019. Tidak hanya di Twitter, tagar #PercumaLaporPolisi juga viral di sosial media lainnya, seperti Instagram dan TikTok. Selain tagar #PercumaLaporPolisi, ada juga tagar #NoViralNoJustice dan #ThePowerOfNetizen. Tampaknya, ketiga tagar itu masih berlaku hingga saat ini.
Lalu, apa fungsi polisi sebagai aparat penegak hukum jika masyarakat lebih melapor ke sosial media?
Indonesia adalah negara hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD Amandemen Ketiga. Bunyinya,
Jelaslah bahwa jika ada masyarakat Indonesia yang melanggar hukum, maka akan diadili secara hukum. Hukum tidak boleh hanya dijadikan formalitas. Jika hal ini terjadi, maka hukum akan hanya dijadikan sarana pembenaran agar bisa melakukan hal yang salah atau tindakan menyimpang.
ADVERTISEMENT
Negara yang berdasar atas hukum pasti menempatkan hukum sebagai hal tertinggi (supreme). Inilah yang disebut dengan “supremasi hukum”. Supremasi hukum tidak boleh mengabaikan tiga ide dasar hukum, antara lain keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Supremasi hukum tertinggi di Indonesia, yaitu UUD 1945. Akan tetapi di era teknologi saat ini, posisi UUD 1945 tergantikan oleh kata ‘viral’. Hal ini didukung oleh postingan Rocky Gerung di Instagram tentang piramida hukum di Indonesia yang menempatkan kata ‘viral’ sebagai posisi teratas menggantikan UUD 1945. Kenapa bisa?
Kata ‘viral’ menjadi supremasi hukum di Indonesia saat ini, buntut dari kinerja salah satu aparat penegak hukum (dalam hal ini adalah pihak kepolisian) yang tidak serius dalam menanggapi laporan atau pengaduan dari masyarakat. Dahulu, terkenal stigma bahwa pihak kepolisian akan bekerja jika masyarakat membayarnya. Kini, pihak kepolisian akan bekerja jika kasus tersebut telah viral di media sosial. Padahal, tugas polisi adalah melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat dari tindak kriminalitas. Untuk masalah upah atau gaji, bukankah sudah melalui pajak yang dibayar oleh masyarakat? Apakah gaji tersebut masih kurang sehingga harus meminta upah tambahan dari masyarakat ketika menangani sebuah kasus?
ADVERTISEMENT
Beberapa kasus yang langsung ditangani setelah viral di media sosial
Kasus ini terjadi pada 27 Agustus 2016 di Jalan Raya Talun, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Jawa barat. Kala itu, Vina dan Eki tengah menaiki motor menuju arah pulang. Namun di tengah perjalanan, mereka tiba-tiba diserang oleh sekawanan geng motor. Vina diperkosa bergilir lalu keduanya dibunuh secara sadis
Pada saat itu, kasusnya memang sudah viral dan polisi berhasil menangkap 8 orang pelaku. Sementara, 3 pelaku lainnya masih buron sampai saat ini. Ya, betul! Sudah 8 tahun berlalu, polisi masih belum menemukan 3 pelaku lainnya. Baru-baru ini, kasus Vina dan Eki kembali viral lantaran ada sutradara yang menjadikannya sebuah film dan telah ditonton sebanyak 5 juta orang per 22 Mei 2024.
Setelah viralnya film tersebut, polisi langsung merilis DPO (Daftar Pencarian Orang) yang berisi ciri-ciri dari 3 pelaku yang masih buron. Hal ini membuat geram para netizen dikarenakan setelah 8 tahun berlalu, polisi baru merilis DPO-nya. Apalagi di dalam DPO tersebut tidak ada foto para pelaku sehingga membuat semakin sulit untuk mencarinya. Lantas, pihak kepolisian ngapain aja selama 8 tahun itu?
ADVERTISEMENT
Atas desakan dari para masyarakat, khususnya netizen di media sosial, akhirnya polisi berhasil menangkap 1 dari 3 pelaku buron tersebut. Namanya adalah Pegi Setiawan alias Perong alias Egi. Egi ditangkap ketika menjadi kuli bangunan di Bandung. Yang membuat saya heran adalah jika benar pelaku merupakan seorang kuli bangunan, lalu mengapa baru ditangkap sekarang?
Keheranan saya ini juga dirasakan oleh para netizen lainnya. Saya menduga pihak kepolisian sengaja mengkambinghitamkan orang lain demi menjaga nama baik instansi. Hal ini didukung beredarnya sebuah video salah satu dari delapan pelaku yang telah bebas mengungkapkan bahwa dirinya merupakan orang salah tangkap karena terus dipaksa polisi untuk mengakui. Jika tidak, maka dia akan disiksa.
Dari situlah, netizen tidak langsung mempercayai bahwa pegi yang ditangkap saat ini merupakan pelaku asli. Para tetangga Pegi memberi kesaksian bahwa Pegi merupakan anak baik karena sebelum hari kejadian, dia telah merantau ke Bandung. Dari video konferensi pers yang beredar di media sosial, terlihat Pegi seolah dilarang berbicara di depan kamera. Oleh karena itu, saya menjadi semakin yakin bahwa dia hanya dijadikan kambing hitam. Pertanyaan saya, jika benar Pegi yang kuli bangunan itu adalah pelaku sebenarnya, lantas sesulit itukah menangkapnya sampai 8 tahun berlalu?
ADVERTISEMENT
Kasus ini terjadi pada Senin, 20 Februari 2023 di komplek perumahan Green Permata, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Awalnya beredar sebuah video berisi penganiayaan Mario Dandy terhadap David Ozora dengan memukul hingga menendang kepala. Dari insiden tersebut, David mengalami pembengkakan dan memar di bagian otak sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Kasus ini menjadi viral lantaran aksi Mario menirukan gerakan “Siuu ala Christiano Ronaldo” seolah-olah berhasil mencetak gol. Ditambah, Mario merupakan anak dari pejabat Dirjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo. Akhirnya, pada 7 September 2023, Mario dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun dan membayar restitusi sebesar 25 miliar kepada keluarga korban. Coba kalau seandainya kasus ini tidak viral, apakah Mario akan tetap dihukum atau tidak? Apalagi ayahnya adalah seorang pejabat di Kementerian Keuangan.
ADVERTISEMENT
Kasus yang pernah menggemparkan di dunia kepolisian sepanjang tahun 2022 hingga 2023. Kasus yang melibatkan anggota polisi menembak anggota polisi lainnya, terjadi di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 8 Juli 2022. Dalang utama dalam kasus ini adalah seorang Inspektur Jenderal Kadiv Propam Polri bernama Ferdy Sambo (Irjen FS), yang mana korbannya adalah ajudannya sendiri, yaitu Brigadir Yoshua Hutabarat (Brigadir J).
Kasus ini menjadi viral lantaran skenario yang dibuat oleh Irjen FS. Ketika itu, Brigadir J dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap istri Irjen FS, yaitu Putri Chandrawati (Putri C). Kemudian ajudan lainnya, yaitu Bharada Richard Eliezer (Bharada E) berusaha menolong Putri C. Dari situlah terjadi baku tembak antara Brigadir J dengan Bharada E yang menewaskan Brigadir J.
ADVERTISEMENT
Setelah jasad Brigadir J dibawa ke kampung halaman, keluarga korban merasa ada kejanggalan pada tubuh Brigadir J, yang mana terdapat luka tidak wajar selain luka tembak. Oleh karena itu, keluarga korban meminta untuk diautopsi ulang dan benar saja korban ternyata mendapat penganiayaan sebelum ditembak. Dari sini, netizen beramai-ramai mengawal kasus ini hingga tuntas.
Hingga pada akhirnya, Irjen FS ditetapkan menjadi tersangka utama. Akibatnya, dia dicopot jabatannya dan dipenjara seumur hidup. Pada kenyataannya, Bharada E menembak Brigadir J atas perintah Irjen FS. Kasus ini cepat terungkap dikarenakan Bharada E menjadi Justice Collaborator (sebutan bagi pelaku yang bekerja sama dengan pihak kepolisian dalam mengungkap sebuah kasus).
Saya katakan lagi, coba seandainya kasus ini tidak viral, saya rasa Irjen FS masih tetap menjabat sebagai Kadiv Propam Polri hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Itu dia serangkaian kasus yang baru diusut setelah viral di media sosial. Dari kasus-kasus tersebut, kita bisa menilai bahwa pihak kepolisian bekerja bukan karena sesuai jobdesk-nya, melainkan karena desakan dari para masyarakat. Sungguh miris! Jika sebelumnya ada istilah “Keadilan sosial bagi rakyat yang berduit dan berkuasa”, sekarang istilah itu bertambah menjadi “Keadilan sosial bagi yang viral”. Kesimpulannya adalah jika ingin laporanmu segera ditangani, maka viralkan di media sosial. Sekian, terima kasih.