Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Prinsip Dasar Fikih Muamalah dalam Transfer Hak Milik: Jual Beli di Indonesia
1 Oktober 2024 9:22 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Siti Azizah Holishoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Prinsip dasar fikih muamalah mengenai transfer hak milik melalui jual beli di Indonesia berdasarkan ketentuan hukum yang jelas dan sah. Berikut adalah penjelasan dan contoh situasi yang dapat menyebabkan hak transfer tidak sah meskipun transaksi sudah terjadi:
ADVERTISEMENT
1.Kebijakan Pendaftaran Tanah :
Pemindahan hak atas tanah harus didaftarkan di kantor pertanahan dan dibuatkan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk memastikan kejelasan dan sahnya transaksi.
2.Persyaratan Formil dan Materiil :
Pemindahan hak atas tanah sah jika memenuhi persyaratan formil (dibuat oleh PPAT) dan materiil (kesepakatan antara penjual dan pembeli).
3.Situasi Pemindahan Hak Tidak Sah :
• Tidak Menggunakan Akta PPAT : Jika transfer hak dilakukan tanpa akta yang dibuat oleh PPAT, maka transaksi tersebut tidak sah menurut hukum. Contohnya, jika kepala kantor pertanahan mendaftarkan pemindahan hak tanpa akta yang dibuat oleh PPAT, maka pengalihan hak tersebut tidak sah.
• Pembayaran Belum Lunas : Jika pembayaran belum Lunas, maka pembeli tidak memiliki hak untuk menerima sertifikat tanah. Contohnya, jika pembeli belum melunasi harga tanah tetapi telah melakukan jual beli kembali kepada pihak lain, maka transaksi awal tidak sah.
ADVERTISEMENT
Contoh Situasi:
Pembatalan Transaksi : Jika pembeli belum melunasi harga tanah tetapi telah melakukan jual beli kembali kepada pihak lain, maka transaksi awal dapat dibatalkan karena belum pembayaran lunas. Hal ini berarti bahwa hak pengalihan tidak sah karena belum memenuhi syarat materiil, yaitu pembayaran yang lunas.
Pemilikan harta yang diperoleh dari warisan dalam fikih muamalah Islam memiliki syarat-syarat yang jelas untuk menjamin keabsahan dan keadilan dalam proses pembagian warisan. Berikut adalah syarat-syarat kepemilikan sah atas harta warisan dalam Islam:
1. Wafatnya Pemilik Harta :
Warisan hanya diberikan setelah pemilik harta wafat. Hukum waris Islam berlaku saat pemilik harta meninggal dunia, sehingga pembagian harta warisan baru dimulai setelah proses kematian.
ADVERTISEMENT
2. Penerima Waris Harus Seorang Muslim :
Penerima waris haruslah seorang Muslim. Orang non-Muslim tidak berhak menerima warisan dari seorang Muslim, kecuali melalui wasiat wajibah yang memerdekakan budak atau dalam konteks sejarah.
3. Hubungan Darah :
Penerima waris harus memiliki hubungan darah langsung dengan almarhum. Hubungan ini mencakup anggota keluarga seperti anak-anak, cucu, orang tua, dan saudara kandung.
4. Adanya Pengetahuan tentang Kematian :
Penerima waris harus memiliki pengetahuan tentang kematian almarhum. Mereka tidak dapat menerima warisan jika tidak mengetahui tentang kematian tersebut.
5. Keadilan dalam Pembagian :
Pembagian warisan harus dilakukan dengan adil. Setiap ahli waris menerima bagian yang sesuai dengan haknya dan tidak lebih. Ini juga mencakup memperlakukan semua ahli waris dengan seimbang, tanpa memihak atau menguntungkan pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Contoh Situasi:
Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan :
Anak laki-laki menerima dua kali lipat dari apa yang diterima oleh anak perempuan. Misalnya, jika anak laki-laki menerima 100 unit, maka anak perempuan hanya menerima 50 unit.
Fiqh muamalah memandang kepemilikan sumber daya alam seperti tanah, udara, dan mineral sebagai hak yang harus dikelola dengan prinsip keadilan dan keinginan. Menurut prinsip ihya al-mawat, individu dapat memiliki sumber daya tersebut, tetapi dengan batasan untuk mencegah eksploitasi berlebihan dan kerusakan lingkungan.
Contohnya, pengelolaan tanah pertanian harus mempertimbangkan dampak ekologis dan melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Hak individu atas sumber daya alam tidak mutlak dan harus sejalan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Hukum kepemilikan terhadap barang temuan (luqathah) dalam fikih muamalah mengharuskan penemu untuk mengumumkan penemuan tersebut selama satu tahun. Jika pemiliknya tidak datang, barang tersebut menjadi milik penemu.
Syarat untuk menjadi pemilik sah meliputi:
1. Mengenali ciri-ciri barang : Penemu harus mengetahui identitas barang yang ditemukan.
2. Mengumumkan barang : Penemu wajib diumumkan selama setahun.
3. Kemampuan menjaga barang : Penemu harus yakin dapat menjaga dan mengumumkan barang tersebut.
Contoh: Jika seseorang menemukan ponsel, ia harus mengumumkan ciri-cirinya dan menunggu selama setahun. Jika pemiliknya tidak datang, ponsel tersebut menjadi miliknya.
Dalam kontrak istishna', jika produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, pembeli memiliki beberapa pilihan untuk menangani situasi tersebut. Berikut adalah analisis hukum kepemilikan dalam kontrak istishna' dan contoh kasusnya:
ADVERTISEMENT
1. Pembayaran dan Pilihan Pembeli :
Jika produk tidak sesuai dengan spesifikasi, pembeli memiliki hak untuk memilih antara membatalkan akad (fasakhkan akad), menunggu penyerahan barang yang sesuai, atau meminta ganti dengan barang lain yang sejenis atau tidak suka dengan nilai pasar yang sama dengan barang pesanan semula.
2. Kewajiban Penjual :
• Penjual tidak boleh meminta tambahan harga jika mengirimkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi dari yang disepakati, kecuali ada kesepakatan khusus.
• Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah dan pembeli menerima dengan sukarela, pembeli tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
3. Ketentuan Hukum Nasional :
Aturan hukum nasional seperti SAK ETAP dan PSAK No. 104 tentang Akuntansi Istishna juga mengatur bahwa spesifikasi dan harga barang harus sudah disepakati pada awal akad. Harga tidak boleh berubah kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Contoh:
Seorang pembeli memesan sepatu kulit berukuran 38 dengan model tertentu. Namun ketika sepatu diterima, ukuran dan modelnya tidak sesuai. Pembeli dapat membatalkan akad dan meminta pengembalian dana, menjanjikan penyerahan sepatu yang sesuai, atau meminta ganti dengan sepatu lain yang sejenis dengan nilai pasar yang sama.