Konten dari Pengguna

Peran Inkubator Pemerintah Dalam Implementasi Peraturan BPOM No. 27 Tahun 2017

Siti Kholiyah
Lahir di Semarang, 6-12-1973. Penulis adalah Analis Kebijakan Ahli Madya di Pusat Pemanfaatan dan Inovasi Iptek (PPII) LIPI. Lulus S1 Jurusan Manajemen Ekonomi Publik (MEP) Administrasi Negara,dan S2 Jurusan Manajemen Sumberdaya Aparatur STIA LAN RI
23 Desember 2020 16:08 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siti Kholiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : ppt "Registrasi Pangan Olahan" Yeni Oktaviany, BPOM
zoom-in-whitePerbesar
Foto : ppt "Registrasi Pangan Olahan" Yeni Oktaviany, BPOM
ADVERTISEMENT
UMKM merupakan sektor penunjang ekonomi bangsa Indonesia. Kemampuan menyerap tenaga kerja dan menyubstitusi produk impor menjadi faktor unggulan. Dalam memulai suatu usaha, setiap pengusaha UMKM mengalami berbagai hambatan, hambatan internal yaitu terbatasnya kemampuan permodalan, SDM, pengetahuan dan teknologi, dan hambatan eksternal kendala peraturan yang berlaku, pada akhirnya berdampak pada proses pemasaran produk pangan UMKM tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada kluster UMKM di bidang pengolahan pangan, peraturan ini menjadi penentu iklim usaha UMKM. Salah satu perkembangan termutakhir adalah adanya beberapa produk pangan hasil olahan industri pangan rumah tangga yang tidak bisa menggunakan izin P-IRT tetapi sudah harus mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kewajiban ini tertuang dalam Peraturan BPOM No. 27 tahun 2017 yang akan berlaku efektif pada tahun 2020. Produk tersebut antara lain produk minuman dan produk olahan daging yang dikemas.
Dikutip dari laman surya.co.id (2019) pengusaha minuman UMKM masih merasa berat untuk mengurus izin BPOM dikarenakan mereka perlu menyiapkan sarana produksi khusus yang terpisah dari dapur rumah mereka dan karena mereka juga harus melakukan serangkaian uji laboratorium secara berkala untuk setiap produk mereka.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Pemerintah
Peraturan BPOM No. 27 tahun 2017 tentang Pendaftaran Pangan Olahan yang mengatur tentang pendaftaran pangan olahan yang sesuai dengan standar BPOM dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari produk pangan olahan yang beredar, pemerintah memiliki kewajiban dalam menjamin keselamatan masyarakat ketika mengonsumsi produk pangan olahan yang beredar di Indonesia.
Pasal 5 Ayat (2) Pangan Olahan yang diproduksi di Indonesia, terdiri atas: Pangan Olahan yang diproduksi sendiri; dan Pangan Olahan yang diproduksi berdasarkan kontrak (tol manufacturing/makloon). Pasal ini menjelaskan bahwa ada pangan olahan kategori yang diproduksi berdasarkan kontrak.
UMKM yang memproduksi pangan olahan makanan dan minuman atau Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dalam melakukan peredaran produk pangan mereka melengkapi produknya dengan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT). Namun sejak keluarnya Peraturan BPOM No. 22 tahun 2018 tentang pedoman pemberian SPP-IRT, berbagai produk pangan sudah tidak bisa lagi diakomodasi oleh SPP-IRT atau PIRT. Produk yang masih bisa menggunakan SPP-IRT adalah produk yang tercantum dalam Lampiran II Peraturan BPOM No. 22 tahun 2018 (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2018). Salah satu perubahan signifikan adalah produk UMKM berupa minuman sudah tidak lagi menggunakan PIRT tetapi wajib memiliki izin edar (NIE) dari BPOM.
ADVERTISEMENT
Implementasi Peraturan BPOM No. 27 Tahun 2017
Implementasi Peraturan BPOM No. 27 Tahun 2017 memerlukan upaya sinergi antara lembaga regulator yaitu BPOM, UMKM dan inkubator pemerintah. Dalam kondisi penuh keterbatasan UMKM dan UMKM baru opsi menjadi tenant binaan inkubator pemerintah menjadi suatu solusi dalam membantu UMKM mendapatkan izin edar untuk produk pangan olahan mereka.
Bentuk sinergi yang mungkin dilakukan antara lain: Pertama, menggunakan fasilitas produksi yang dimiliki inkubator untuk melakukan makloon. Peraturan BPOM No. 27 Tahun 2017 mengakui adanya mekanisme makloon yang sesuai dengan yang disebutkan di Pasal (5) ayat 2 “Pangan Olahan yang diproduksi di Indonesia, terdiri atas : Pangan Olahan yang diproduksi sendiri; dan Pangan Olahan yang diproduksi berdasarkan kontrak (tol manufacturing/ makloon). Pasal ini menjelaskan bahwa ada pangan olahan kategori yang diproduksi berdasarkan kontrak.” Dalam kasus ini, UMKM sudah memiliki fasilitas produksinya sendiri di rumah. Karena membutuhkan syarat dapur produksi yang terpisah dan keinginan untuk meningkatkan kapasitas produksi maka para tenant UMKM memilih untuk makloon difasilitas inkubator pemerintah. UMKM yang merupakan pemberi kontrak yang akan melakukan registrasi izin edar di BPOM dan kewajiban inkubator adalah menyiapkan persyaratan cara produksi pangan olahan yang baik (CPPOB) nya. Ada dua kemungkinan UMKM produksi sendiri, produsen sendiri yang melakukan pendaftaran dan juga dilakukan sendiri dengan sistem makloon. Masalah yang lain timbul dalam implementasinya adalah adanya kewajiban pihak yang diberi kontrak makloon adalah wajib badan hukum. Tentu saja inkubator pemerintah yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pemerintahan tidak mungkin memiliki badan hukum. Namun hal ini juga sudah menjadi perhatian BPOM yang sedang menyusun konsep untuk mengakomodasi peran inkubator pemerintah melalui mekanisme kerjasama government to government, dimungkinankan tidak mempermasalahkan untuk ijin usahanya. Kedua, menggunakan fasilitas produksi yang dimiliki inkubator, di mana pihak inkubator (Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam LIPI, 2014) melakukan kerja sama dengan pihak ketiga/perusahaan makloon sebagai pihak yang melakukan operasional produksi, sedangkan UMKM hanya sebagai distributor produk yang mereka miliki. Skema ini sudah dilakukan oleh Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam (BPTBA) LIPI di Yogyakarta. Pihak BPTBA bekerja sama dengan koperasi untuk memfasilitasi UMKM yang ingin mengemas produk mereka menjadi pangan kaleng yang tergolong pangan steril komersial. Hal ini juga dimungkinkan dan BPOM sendiri cukup intens dalam membantu BPTBA mengembangkan pola fasilitasi tersebut. Perbedaan dalam hal ini, skema ini mampu menyelesaikan masalah kewajiban badan hukum ketika melakukan registrasi di BPOM dan pengusul PMR dan yang melakukan registrasi dan sebagai pemilik sarana adalah pihak ketiga tersebut. Ketiga, produksi dilakukan di dapur yang dimiliki oleh UMKM sedangkan proses pengemasan pangan steril komersial dilakukan menggunakan fasilitas inkubator. Fasilitasi seperti ini juga memungkinkan utamanya jika proses selanjutnya adalah dilakukan pengemasan steril. Namun apabila pengemasannya tidak menerapkan proses pangan steril, maka jarak aaaantara dapur produksi UMKM dan inkubator pemerintah dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi pada produk pangan yang pada akhirnya akan mempersulit UMKM dalam menjaga kualitas produknya. Skema ini sebaiknya diterapkan pada produk pangan olahan kering yang memiliki ketahanan terhadap kontaminasi mikroba yang relatif lebih kuat. Jadi konsepnya dikemas oleh tenant kemudian di sterilnya di LIPI, atau bisa juga full di dapur bersama LIPI. Alternatif lain misalnya dapur di tenant kemudian produksi di bawa di steril di LIPI. Keempat, UMKM hanya menggunakan fasilitas ruang produksi yang dimiliki inkubator sedangkan fasilitas produksi menggunakan peralatan yang dimiliki UMKM.
ADVERTISEMENT
Pihak UMKM yang telah memiliki alat produksi tetapi sarana ruang produksi yang belum sesuai dapat menggunakan fasilitas sarana produksi di inkubator pemerintah. Dalam skema ini pada saat registrasi pangan untuk mendapatkan izin edar, pengusaha UMKM harus memasukkan alamat inkubator pemerintah ke izin usaha mereka (seperti dalam SIUP). Selain itu sarana produksi baru yang menggunakan fasilitas inkubator pemerintah perlu melakukan pengajuan Pemeriksaan Sarana Balai (PSB) kembali ke Balai Besar POM setempat. Untuk UMKM yang sebelumnya sudah memiliki izin edar dengan ruang produksi di luar inkubator pemerintah, maka dengan melakukan registrasi sarana baru atau tambahan maka Nomor Izin Edar dengan ruang produksi baru akan terlihat dari nomor izin edar yang berbeda. Ijin usaha harus dimasukkan alamat pabrik (LIPI), karena sistem kontrak maka makloon agar mudah tracing-nya. Kalau statusnya makloon berarti harus mendaftar baru, PSB sarana produksi di LIPI, dan akan mendapatkan nomor di PSB. Istilahnya data pabrik di LIPI, fasilitas LIPI masuk ke dalam akun tenant, dan tenant membutuhkan surat kerja sama perusahaan (tenant) dengan LIPI, kemudian CPPOB hasil audit dari LIPI-nya sebagai fasilitas sarana tenant.
ADVERTISEMENT
Konteks implementasi yang harus diperhatikan ketika UMKM melakukan makloon di fasilitas inkubator pemerintah untuk jenis produk pangan wajib memiliki Program Manajemen Resiko (PMR). Pihak yang wajib mengajukan dan melakukan PMR adalah pemilik sarana dalam hal ini inkubator pemerintah tersebut. PMR merupakan paradigma baru dalam pengawasan pangan oleh BPOM yang sebelumnya lebih menitik beratkan pada pengawasan dan kontrol. PMR lebih menggunakan pendekatan pengawasan mandiri oleh pihak perusahaan. PMR ini diwajibkan melalui Perka BPOM No. 21/2019 yang kena wajib adalah di PMR ini adalah salah satunya industri pangan steril komersial baik yang diretord atau istilahnya yang di sterilisasi yang dikemas atau di proses secara aseptik seperti susu UHT.
BPOM memberikan penghargaan lebih bagi perusahaan yang mengembangkan PMR. Penghargaan berupa pengurusan izin edar dengan jalur notifikasi yang tidak memerlukan udit langsung oleh BPOM. Hal ini secara signifikan bisa mempercepat proses keluarnya Nomor Izin Edar. BPOM memberi standar pengerjaan 5 hari kerja untuk pengurusan Nomor Izin Edar (NIE) yang melalui jalur notifikasi. Kalau sudah mendapatkan PMR ada beberapa reward yang diberikan salah satunya terkait pendaftaran masuk ke jalur notifikasi penerbitan NIE paling lama 5 hari kerja.
ADVERTISEMENT
Peran lebih inkubator pemerintah dapat dilakukan ketika membantu UMKM menyiapkan PMR. Kebutuhan akan kapasitas SDM yang sesuai dan komitmen manajemen UMKM yang memenuhi syarat PMR membuat inkubator pemerintah perlu menyiapkan serangkaian pelatihan bagi para UMKM binaan agar dapat menjalankan PMR dengan baik. Lebih jauh lagi, inkubator pemerintah harus mengawasi bahwa program PMR benar-benar dilakukan dan memastikan bahwa manajemen UMKM melakukan audit internal sesuai dengan rencana yang telah disiapkan.
Peran Inkubator Pemerintah terhadap UMKM Pangan Olahan
Peraturan Badan POM No. 27 tahun 2017 sangat berpengaruh ke UMKM bidang pangan olahan yang menyaratkan fasilitas produksi khusus dan terpisah dari dapur rumah tangga dan juga memenuhi prinsip CPPOB.
Oleh karena itu Inkubator Pemerintah harus dapat membantu agar UMKM dapat memperoleh izin edar sesuai Peraturan Badan POM No. 27 tahun 2017, yaitu : Pertama, menggunakan fasilitas produksi yang dimiliki inkubator untuk melakukan makloon dalam mengembangkan varian produk UMKM yang jika mereka melakukan produksi di tempat mereka memiliki kapasitas terbatas; Kedua, menggunakan fasilitas produksi yang dimiliki inkubator, di mana pihak inkubator melakukan kerja sama dengan pihak ketiga/perusahaan makloon sebagai pihak yang melakukan operasional produksi sedangkan UMKM hanya sebagai distributor produk yang mereka miliki; Ketiga, produksi dilakukan di dapur yang dimiliki oleh UMKM sedangkan proses pengemasan pangan steril komersial dilakukan menggunakan fasilitas inkubator; dan Keempat, UMKM hanya menggunakan fasilitas ruang produksi yang dimiliki inkubator sedangkan fasilitas produksi menggunakan peralatan yang dimiliki UMKM. (SK)
ADVERTISEMENT
Siti Kholiyah
Analis Kebijakan PPII LIPI