Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Efektifkah Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 Dalam Melindungi Aktivis Lingkungan?
23 November 2024 22:36 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Siti lina Lutfiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat ini, para pejuang lingkungan hidup memiliki satu lagi instrumen hukum yang seharusnya mampu menjamin perlindungan mereka dari tindakan kriminalisasi yang mengancam perjuangan mereka. Pada akhir Agustus 2024, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, baru saja mengeluarkan Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat. Hal ini penting mengingat banyak orang yang terjerat pidana karena membela dan memperjuangkan hak-hak mereka, terutama dalam persoalan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Lalu, siapa saja yang dimaksud dengan pejuang lingkungan?
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1, pejuang lingkungan hidup yang dimaksud adalah orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, baik sebagai korban atau pelapor yang menempuh jalur hukum akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Mereka dapat terdiri atas orang perorangan, kelompok orang, organisasi lingkungan hidup, akademisi/ahli, masyarakat hukum adat, dan badan usaha, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat 2.
Lalu, bentuk perlindungan hukum seperti apa yang harus dilakukan oleh pemerintah?
Aturan ini muncul di tengah maraknya kriminalisasi terhadap warga dan pejuang lingkungan yang bersuara menolak intervensi bisnis ekstraktif di sektor sumber daya alam atas ruang hidup masyarakat. Mereka sering kali menjadi korban kriminalisasi. Yang lebih memprihatinkan, kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan kerap dilakukan melalui aparat penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan. Jika aparat bertindak seperti itu, bagaimana Indonesia bisa maju?
ADVERTISEMENT
Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 mengatur kewajiban pemerintah untuk mencegah tindakan pembalasan terhadap pejuang lingkungan hidup serta menangani kasus yang mungkin terjadi. Regulasi ini diatur secara rinci dalam Pasal 7 Ayat 1, termasuk kewajiban pemerintah membentuk forum aparat penegak hukum bersertifikasi lingkungan.
Selain itu, Pasal 11 Ayat 4 menyebutkan bahwa pemerintah juga harus membentuk tim penilai untuk menangani laporan kasus terhadap pejuang lingkungan hidup. Tim penilai ini wajib beranggotakan minimal tujuh orang dan dipimpin oleh pejabat tinggi di kementerian terkait.
Tim penilai memiliki tugas menilai laporan kasus yang diajukan oleh pemohon perlindungan hukum. Hasil penilaian tim ini menjadi bahan pertimbangan bagi menteri dalam memutuskan apakah permohonan perlindungan hukum tersebut diterima atau ditolak, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat 4.
ADVERTISEMENT
Namun, sejauh ini belum ada kejelasan terkait pelaksanaan pembentukan aparat penegak hukum maupun tim penilai. Pemerintah diharapkan segera memberikan penjelasan mengenai langkah-langkah konkret yang akan diambil untuk memastikan pelaksanaan aturan ini berjalan efektif.
Apakah Peraturan ini kalah dengan aturan yang lebih tinggi?
Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 menjadi sorotan karena berpotensi kalah oleh norma hukum yang lebih tinggi. Secara hierarki, peraturan menteri berada di bawah peraturan presiden dan undang-undang. Hal ini membuat aturan tersebut rentan terhadap norma sektoral yang lebih tinggi, seperti UU Minerba dan UU Panas Bumi, yang memuat ancaman pidana bagi pihak yang dianggap menghambat sektor tersebut.
Jika terjadi pertentangan, peraturan dengan hierarki yang lebih tinggi harus diutamakan berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori. Selain itu, hukum yang bersifat khusus juga dapat mengesampingkan hukum yang bersifat umum sesuai asas lex specialis derogat legi generali. Hal ini berpotensi melumpuhkan norma dan tujuan baik yang ingin dicapai melalui Permen LHK tersebut.Di sisi lain, aturan ini membawa semangat perlindungan hukum melalui pencegahan dan penanganan. Pencegahan dilakukan dengan cara koordinasi, fasilitasi, pelatihan, serta sosialisasi ke berbagai instansi. Penanganan diatur dengan mekanisme pengakuan kasus sebagai tindakan pembalasan dan pemberian bantuan hukum.
ADVERTISEMENT
Namun, aturan ini hanya mencakup kasus pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Padahal, tindakan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) terhadap aktivis lingkungan terjadi di berbagai sektor, seperti perkebunan, kehutanan, dan pembangunan infrastruktur, yang kerap berujung pada konflik agraria.
Selain itu, perlindungan yang diberikan hanya mencakup pejuang lingkungan yang menempuh jalur hukum. Padahal, banyak strategi advokasi menggunakan jalur nonlitigasi. Akses terhadap hukum yang adil juga sering sulit didapatkan, terutama bagi masyarakat di daerah pelosok.
Mekanisme perlindungan yang diatur dianggap terlalu pasif, dengan proses penilaian laporan yang bisa memakan waktu hingga 60 hari. Banyak kasus lingkungan hidup terjadi di daerah terpencil dengan keterbatasan akses. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan untuk membuat mekanisme yang lebih proaktif, baik dalam pencegahan maupun penanganan.
ADVERTISEMENT
Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 menghadapi tantangan besar dari segi substansi dan implementasi. Langkah konkret diperlukan agar semangat perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan dapat diwujudkan secara efektif.
Kasus Tina Rambe sebagai contoh
Kasus Tina Rambe yang dipenjara karena menolak pendirian pabrik kelapa sawit PT PPSP didasarkan pada kepentingan lingkungan. Tina memprotes keberadaan pabrik kelapa sawit di Kelurahan Pulopadang, Kecamatan Rantau Utara, yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Tina menolak pabrik tersebut karena menimbulkan pencemaran udara. Selain itu, lokasi pabrik sangat dekat dengan permukiman dan sekolah milik Yayasan Perguruan Islam. Namun, Tina justru ditangkap dan dijebloskan ke ranah pidana.