Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Efektifkah Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 Dalam Melindungi Aktivis Lingkungan?
23 November 2024 22:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Siti lina Lutfiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat ini, para pejuang lingkungan hidup memiliki satu lagi instrumen hukum yang seharusnya mampu menjamin perlindungan mereka dari tindakan kriminalisasi yang mengancam perjuangan mereka. Pada akhir Agustus 2024, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, baru saja mengeluarkan Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat. Hal ini penting mengingat banyak orang yang terjerat pidana karena membela dan memperjuangkan hak-hak mereka, terutama dalam persoalan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Lalu, siapa saja yang dimaksud dengan pejuang lingkungan?
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1, pejuang lingkungan hidup yang dimaksud adalah orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, baik sebagai korban atau pelapor yang menempuh jalur hukum akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Mereka dapat terdiri atas orang perorangan, kelompok orang, organisasi lingkungan hidup, akademisi/ahli, masyarakat hukum adat, dan badan usaha, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat 2.
Lalu, bentuk perlindungan hukum seperti apa yang harus dilakukan oleh pemerintah?
Aturan ini muncul di tengah maraknya kriminalisasi terhadap warga dan pejuang lingkungan yang bersuara menolak intervensi bisnis ekstraktif di sektor sumber daya alam atas ruang hidup masyarakat. Mereka sering kali menjadi korban kriminalisasi. Yang lebih memprihatinkan, kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan kerap dilakukan melalui aparat penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan. Jika aparat bertindak seperti itu, bagaimana Indonesia bisa maju?
ADVERTISEMENT
Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 mengatur kewajiban pemerintah untuk mencegah tindakan pembalasan terhadap pejuang lingkungan hidup serta menangani kasus yang mungkin terjadi. Regulasi ini diatur secara rinci dalam Pasal 7 Ayat 1, termasuk kewajiban pemerintah membentuk forum aparat penegak hukum bersertifikasi lingkungan.
Selain itu, Pasal 11 Ayat 4 menyebutkan bahwa pemerintah juga harus membentuk tim penilai untuk menangani laporan kasus terhadap pejuang lingkungan hidup. Tim penilai ini wajib beranggotakan minimal tujuh orang dan dipimpin oleh pejabat tinggi di kementerian terkait.
Tim penilai memiliki tugas menilai laporan kasus yang diajukan oleh pemohon perlindungan hukum. Hasil penilaian tim ini menjadi bahan pertimbangan bagi menteri dalam memutuskan apakah permohonan perlindungan hukum tersebut diterima atau ditolak, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat 4.
ADVERTISEMENT
Namun, sejauh ini belum ada kejelasan terkait pelaksanaan pembentukan aparat penegak hukum maupun tim penilai. Pemerintah diharapkan segera memberikan penjelasan mengenai langkah-langkah konkret yang akan diambil untuk memastikan pelaksanaan aturan ini berjalan efektif.
Apakah Peraturan ini kalah dengan aturan yang lebih tinggi?
Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 menjadi sorotan karena berpotensi kalah oleh norma hukum yang lebih tinggi. Secara hierarki, peraturan menteri berada di bawah peraturan presiden dan undang-undang. Hal ini membuat aturan tersebut rentan terhadap norma sektoral yang lebih tinggi, seperti UU Minerba dan UU Panas Bumi, yang memuat ancaman pidana bagi pihak yang dianggap menghambat sektor tersebut.
Jika terjadi pertentangan, peraturan dengan hierarki yang lebih tinggi harus diutamakan berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori. Selain itu, hukum yang bersifat khusus juga dapat mengesampingkan hukum yang bersifat umum sesuai asas lex specialis derogat legi generali. Hal ini berpotensi melumpuhkan norma dan tujuan baik yang ingin dicapai melalui Permen LHK tersebut.Di sisi lain, aturan ini membawa semangat perlindungan hukum melalui pencegahan dan penanganan. Pencegahan dilakukan dengan cara koordinasi, fasilitasi, pelatihan, serta sosialisasi ke berbagai instansi. Penanganan diatur dengan mekanisme pengakuan kasus sebagai tindakan pembalasan dan pemberian bantuan hukum.
ADVERTISEMENT
Namun, aturan ini hanya mencakup kasus pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Padahal, tindakan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) terhadap aktivis lingkungan terjadi di berbagai sektor, seperti perkebunan, kehutanan, dan pembangunan infrastruktur, yang kerap berujung pada konflik agraria.
Selain itu, perlindungan yang diberikan hanya mencakup pejuang lingkungan yang menempuh jalur hukum. Padahal, banyak strategi advokasi menggunakan jalur nonlitigasi. Akses terhadap hukum yang adil juga sering sulit didapatkan, terutama bagi masyarakat di daerah pelosok.
Mekanisme perlindungan yang diatur dianggap terlalu pasif, dengan proses penilaian laporan yang bisa memakan waktu hingga 60 hari. Banyak kasus lingkungan hidup terjadi di daerah terpencil dengan keterbatasan akses. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan untuk membuat mekanisme yang lebih proaktif, baik dalam pencegahan maupun penanganan.
ADVERTISEMENT
Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 menghadapi tantangan besar dari segi substansi dan implementasi. Langkah konkret diperlukan agar semangat perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan dapat diwujudkan secara efektif.
Kasus Tina Rambe sebagai contoh
Tina Rambe, seorang ibu yang tinggal di Kelurahan Pulopadang, Kecamatan Rantau Utara, kini menghadapi kenyataan pahit akibat perjuangannya melawan pencemaran lingkungan. Keberaniannya menolak pendirian pabrik kelapa sawit milik PT PPSP yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya berujung pada proses hukum. Akibatnya, Tina harus berpisah dengan suami dan anak-anaknya.
Sebuah video yang menunjukkan Tina berbincang dan memeluk anaknya yang masih balita dari balik jeruji tahanan tersebar di media sosial. Dalam video tersebut, Tina terlihat berusaha memberikan dukungan kepada sang anak yang menangis karena tidak bisa bertemu setiap hari dengan ibunya. Ia mengelus rambut sang anak dan menyeka air matanya untuk menenangkan. Momen haru ini mengundang perhatian warganet yang mempertanyakan keadilan hukum di Indonesia, seolah hanya berpihak kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan uang, sementara masyarakat kecil sering kali menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Protes yang dilakukan Tina tidaklah tanpa alasan. Pabrik kelapa sawit tersebut diketahui menyebabkan pencemaran udara yang signifikan, mengganggu kenyamanan dan kesehatan warga sekitar. Lokasi pabrik yang sangat dekat dengan permukiman penduduk dan sebuah sekolah milik Yayasan Perguruan Islam juga menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak jangka panjang bagi lingkungan hidup serta kualitas pendidikan anak-anak di daerah tersebut.
Namun, upaya Tina untuk menyuarakan keresahan masyarakat berakhir tragis. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan perhatian dari pihak berwenang, ia justru ditangkap dan dijebloskan ke penjara atas tuduhan yang dianggap tidak adil oleh banyak pihak. Penahanan Tina menjadi simbol ketidakadilan yang sering kali dialami oleh masyarakat kecil dalam menghadapi dominasi korporasi besar.
Kasus ini menuai perhatian dari berbagai kelompok aktivis lingkungan dan hak asasi manusia. Mereka menilai penangkapan Tina sebagai bentuk kriminalisasi terhadap warga yang berani melawan kerusakan lingkungan demi masa depan generasi mendatang. Banyak pihak mempertanyakan komitmen pemerintah dalam melindungi masyarakat dari dampak negatif industri yang tidak bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Tina, yang terus berada di balik jeruji hingga kini, telah dituntut hukuman enam bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Labuhanbatu pada 10 September 2024. Perjuangannya mencerminkan konflik yang sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia, di mana kepentingan ekonomi dan keberlangsungan lingkungan hidup kerap kali bertentangan.
Keberanian Tina Rambe menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk memperjuangkan hak-hak mereka, meskipun risiko yang dihadapi sangat besar. Banyak pihak berharap kasus ini menjadi momentum penting dalam memperkuat perlindungan bagi aktivis lingkungan dan masyarakat terdampak di Indonesia.