Konten dari Pengguna

Moderasi Beragama: Menjadi Netizen yang Bijak, Bukan Beringas

Siti masykuroh 015
Mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S1 di UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan
15 April 2025 19:29 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siti masykuroh 015 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Di zaman ini, jempol lebih cepat daripada akal, moderasi beragama tak lagi cukup hanya disampaikan di mimbar atau sekolah.

media sosial: sumber freepik
zoom-in-whitePerbesar
media sosial: sumber freepik
ADVERTISEMENT
Moderasi di zaman ini, tantangan terbesarnya justru hadir di layar-layar kecil yang menggenggam dunia, handphone kita. Dunia digital telah menjadi medan tempur narasi, termasuk narasi keagamaan dan bahkan memunculkan konflik.
ADVERTISEMENT
Moderasi Beragama Bukan Cuma Soal Toleransi
Selama ini, moderasi beragama sering dikaitkan dengan toleransi antarumat beragama. Namun, makna moderasi jauh lebih dalam, yaitu kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara keyakinan pribadi dan keberagaman sosial. Dalam konteks digital, moderasi berarti mampu menahan diri untuk tidak menjadikan media sosial sebagai tempat menghakimi, hingga menebar kebencian atas nama agama.
Jejak Digital Adalah Dakwah yang Diam
Tanpa disadari, apa yang kita bagikan, komentari, dan sukai di dunia maya adalah bentuk dari dakwah kita—baik atau buruk. Kata-kata yang kita lontarkan bisa menjadi berkah atau bumerang. Seorang tokoh agama bisa kehilangan wibawa hanya karena satu komentar yang sarkastik. Seorang pemuda bisa terjerumus ke fanatisme karena satu thread yang tidak diklarifikasi.
ADVERTISEMENT
Moderasi beragama di era digital menuntut kita menjadi lebih dari sekadar religius dan mempunyai empati, serta paham bahwa tidak semua orang punya latar belakang pemahaman agama yang sama. Algoritma media sosial bekerja dengan memperkuat bias. Sehingga kebenaran tunggal versi pribadi tidak selalu cocok dan sama untuk konsumsi publik.
Sudah saatnya kita mempopulerkan gerakan Netizen Moderat bukan yang pasif, tapi yang aktif menyebar kebaikan. Yang bisa jadi influencer of empathy dan menyadari bahwa like dan share juga bisa menjadi ladang pahala atau dosa, serta berjihad di era digital berarti menahan diri dari mengetikkan komentar yang menyakitkan kepada orang lain.
Moderasi beragama tidak harus selalu kaku dan formal. Ia bisa menjadi gaya hidup digital yang santun, bijak, dan penuh makna. Mari mulai dari hal kecil, seperti berpikir dua kali sebelum memposting, mendengarkan sebelum membantah, dan bertanya sebelum menghakimi. Karena siapa tahu, di balik akun tanpa nama itu, ada hati yang sedang belajar mencintai Tuhan dengan caranya sendiri.
ADVERTISEMENT