Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ketika Perempuan Melawan: 'Kehilangan Mestika' dan Api Perubahan
12 Mei 2025 17:16 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Siti Nurannisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Novel "Kehilangan Mestika" karya Hamidah, nama pena dari Fatimah Hasan Delais bukan sekadar cerita, tapi suara lantang tentang perempuan di tengah budaya patriarki. Adat mengekang, suara perempuan dibungkam, namun perlawanan muncul. Bagaimana novel ini menggambarkan perjuangan emansipasi dan kesadaran kelas? Mari kita telusuri lebih dalam.

• Refleksi Realitas Sosial: Novel ini menggambarkan bagaimana adat istiadat yang berlaku pada masa itu mengekang kebebasan perempuan.
ADVERTISEMENT
"Gadis-gadis mesti dipingit, tak boleh kelihatan oleh orang yang bukan sekeluarga lebih-lebih laki-laki."
“Adat pingitan...! Mereka mesti menunggu-nunggu saja di rumah sampai kepada waktunya dipinang orang.”
Kutipan ini mencerminkan realitas sosial pada masa itu di mana perempuan memiliki ruang gerak yang terbatas, tercercim bahwa perempuan akan merasakan kebebasan jika sudah menikah, dikarenakan dalam tradisi minang dipercaya perempuan lebih terhormat keluar dengan laki-laki mahromnya yaitu suami. Jika, perempuan belum menikah maka dia dikurung di rumah dan tidak diperbolehkan kenal dunia luar.
• Kritik terhadap Ideologi Dominan: Novel ini mengkritik ideologi patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi tertindas.
"Sesungguhnya engkau makhluk yang lemah, hai kaumku perempuan. Engkau menjadi permainan saja bagi laki-laki yang bengis."
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menunjukkan bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah dan memandang bahwa hanya laki-laki yang mempunyai kuasa dan boleh memimpin. Perempuan dibungkam dan hanya dijadikan objek untuk memuaskan laki-laki.
• Representasi Perjuangan Perempuan: Tokoh utama dalam novel ini memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan bekerja.
"Setelah kupikir, terkenanglah olehku, bahwa orang di negeriku boleh dihitung yang pandai membaca dan menulis. Sebab itu kutetapkan hatiku, akan mendirikan sebuah perguruan bagi anak-anak perempuan, untuk mengajar membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda sedikit-sedikit, begitu pula sekalian keperluan rumah tangga."
Kutipan ini menggambarkan perjuangan tokoh utama untuk memajukan pendidikan perempuan. Di zaman itu perempuan belum bisa bebas mengemban pendidikan apalagi bekerja mencari nafakah, tetapi hamida berkeingan untuk mematahkan stigam itu agar perempuan mendapatkan kebebasan.
ADVERTISEMENT
• Kesadaran Kelas dan Perlawanan: Novel ini menggambarkan bagaimana tokoh perempuan mulai menyadari ketimpangan yang mereka alami dan melakukan perlawanan.
"Adat inilah yang lebih dahulu mesti diperangi. Inilah yang kucita-citakan. Aku ingin melihat saudara-saudaraku senegeri berkeadaan seperti saudara-saudaraku di tanah Jawa."
Kutipan ini menunjukkan adanya kesadaran akan ketidakadilan dan keinginan untuk melakukan perubahan. Jauh dengan wanita jawa di zaman itu, perempuan di sebrang belum bisa memerdekakan dirinya masih terbelenggu oleh tradisi turun temurun, jika melanggar maka mereka tidak akan diakui oleh masyarakat.
• Nilai Sastra dan Sejarah: Novel ini memberikan gambaran tentang kehidupan sosial dan budaya pada masa Angkatan Pujangga Baru.
"Perempuan-perempuan telah mendapat kemerdekaan sedikit keluar dari kurungan di rumah untuk merasa udara luar Tiap-tiap Minggu seluruh pantai Mentok di tempat yang kelindungan oleh panas mataharı, kelihatan orang-orang duduk beristirahat laki-laki perempuan ."
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan perubahan sosial yang mulai terjadi pada masa itu, perempuan pada masa itu bisa merasakan pelesiran dan menghirup udara segar saja sudah dianggap merdeka, adanya perubahan ini menunjukkan bahwa perempuan sudah mulai melek akan perubahan dan mulai membiarkan dirinya berkembang lebih maju.
"Kehilangan Mestika" cermin realitas sosial: adat, patriarki, dan perjuangan perempuan. Novel ini penting untuk memahami akar ketidakadilan dan semangat perlawanan. Sastra bisa jadi alat perubahan, membuka mata kita pada ketertindasan. Mari hargai karya ini sebagai bagian penting dari sejarah perempuan.