Konten dari Pengguna

Kegagalan yang Disyukuri

Siti Nurjanah
Staf Pengelola Data di Direktorat Pengabdian dan Pemberdayaan Manusia Universitas Indonesia
6 Juli 2021 13:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siti Nurjanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : unsplash.com
ADVERTISEMENT
Hari itu, untuk kesekian kalinya aku mendapatkan kata “maaf” dari sebuah website Pendidikan. Detik ketika aku merasa segala usahaku yang lalu adalah kesia-siaan. Detik ketika aku merasa bahwa dunia terlampau tidak adil dan mengkhianati segala doaku. Heol, aku sudah gagal.
ADVERTISEMENT
Saat itu aku masih sangat lugu untuk mengetahui dunia perkuliahan. Tidak tahu ingin berkuliah di mana, tidak tahu harus mengambil jurusan apa, bahkan aku tidak tahu bagaimana caranya melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan.
Perlahan ketidaktahuanku tentang dunia perkuliahan menemukan jawabannya. Sebuah impian baru pun tercipta. Lalu dari situlah aku mulai berjuang untuk mewujudkannya. Mulai dari usaha nyata hingga menguatkan doa agar bisa menembus jalur langit. Memang tabiat manusia, memperkuat doa ketika butuh.
Dengan sangat antusias aku menjalankan segala prosesnya agar berkesempatan memakai almamater berwarna biru tua. Beberapa kali aku mendapat penolakan, tapi aku tetap memperjuangkannya. Hingga hari itu tiba, hari ketika aku menerima sebuah penolakan terakhir yang menghancurkan segalanya. Sedih? Jangan ditanya lagi, aku begitu lelah untuk sekadar bernapas saat itu.
ADVERTISEMENT
Aku hanya bisa menangis, tapi tidak sesederhana melimpahkan tangisan biasa. Di balik tangisku aku berteriak, aku memaki diri sendiri, aku melukai diri sendiri, bahkan aku mempertanyakan kenapa Tuhan tidak mengabulkannya? Manusia jika sudah kecewa memang bisa menjadi sebodoh itu.
Apakah kalian pernah merasakan hal yang sama\? Merasakan sakitnya dikecewakan oleh takdir?
Setidaknya ada yang bisa aku syukuri, yaitu mengetahui siapa saja yang masih bertahan bersama orang yang gagal sepertiku. Teman-temanku memberikan semangat dan bantuannya. Terkadang mereka berhasil membangkitkanku, tapi tak lama aku kembali terjatuh ketika mengingat kegagalanku.
Aku kira hanya sampai di situ Tuhan memberikanku ujian, nyatanya tidak hanya itu. Masih teringat dibenakku, ketika aku memapah tubuh ibuku yang terkulai. Masih terasa getarannya ketika aku membisikkan kalimat syahadat tepat di telinga ibuku yang terlihat sekarat. Saat itu aku pasrah, jika memang yang terbaik adalah mengikhlaskan ibuku pergi maka aku akan mencoba mengikhlaskan.
ADVERTISEMENT
Ternyata ibuku wanita yang kuat. Setelah berbagai proses yang ia lalui, ibuku berhasil kembali. Aku tidak bisa membayangkan jika aku harus benar-benar mengikhlaskannya untuk pergi.
Seseorang akan terlihat berarti ketika orang itu pergi untuk selamanya. Kalian sudah sangat familiar dengan kalimat tersebut, bukan? Walaupun aku belum mengalaminya, tapi kejadian sebelumnya cukup menyadarkanku. Jadi bagi kalian yang saat ini masih diberikan kesempatan membahagiakan orang-orang tercinta, maka lakukanlah!
Lalu bagaimana dengan berjuanganku untuk berkuliah ? Lagi-lagi aku pasrah, ku serahkan semuanya pada Sang Pemilik Kehidupan.
Hingga pengumuman terakhir dari ujung berjuanganku diumumkan. Memang tidak ada kata “selamat” yang dikhususkan untukku. Tapi ada rasa kelegaan ketika namaku tertulis di dalam kolom penerimaan mahasiswa baru.
ADVERTISEMENT
Memang bukan tempat yang aku impikan, bahkan jurusannya saja tidak pernah terlintas untukku geluti. Tidak mudah juga bagiku menjalankan perkuliahan yang terkesan tidak diimpikan ini. Butuh waktu bagiku menyesuaikan diri.
Tapi kalian tahu? Bahwa Tuhan mengabulkan keinginan kita dengan cara-Nya yang begitu indah. Ketika kalimat, “Realita tidak pernah seindah ekspektasi” membuatmu gentar. Maka cobalah mengubah kalimatnya menjadi, “Realita memang tidak pernah seindah ekspektasi, tapi realita bisa lebih indah dari ekspektasi”.
Aku menyadari banyak hal setelah melewati itu semua. Bahwa semua hal yang terjadi pada kita pasti memiliki hikmahnya tersendiri. Mungkin jika aku menggapai keinginanku saat itu, aku harus meninggalkan ibuku yang sedang sakit. Bahkan, mungkin aku juga tidak akan sebahagia diriku saat ini.
ADVERTISEMENT
Di lingkungan yang baru ini, bahkan bisa membuatku keluar dari zona nyaman. Memecahkan pandanganku bahwa banyak berteman akan menimbulkan rasa sakit ditinggali yang berlebih. Toh, aku sekarang begitu nyaman bergabung di banyak kelompok penebar kebermanfaat di kampus.
Satu hal yang aku sadari, yaitu ketika kita pasrah maka di situlah titik terbaik dirimu bisa berserah diri pada Tuhan. Mengikhlaskan semuanya hingga Tuhan memberikanmu sebuah kebahagiaan yang tidak pernah kamu bayangkan.
Hiduplah bagai air, yang akan terus kokoh walau berbagai macam hal menghalangi jalan. Air akan terus mengalir apapun yang terjadi, tapi mereka tahu kapan waktunya berhulu di tempat terbaik.
(SITI NURJANAH / POLITKENIK NEGERI JAKARTA)