Konten dari Pengguna

Sentinela Malam Rimba Kehidupan Pulau Sulawesi

Siti Nurjanah
Mahasiswa Psikologi UGM
31 Desember 2024 19:17 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siti Nurjanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tarsius yang sedang bertengger di batang pohon (sumber: https://pixabay.com/id/photos/mata-merah-tarsier-manis-tarsius-4680903/)
zoom-in-whitePerbesar
Tarsius yang sedang bertengger di batang pohon (sumber: https://pixabay.com/id/photos/mata-merah-tarsier-manis-tarsius-4680903/)
ADVERTISEMENT
Pagi itu, sinar matahari menembus lembut celah-celah dedaunan, menciptakan pola bayangan indah di tanah yang lembap. Udara segar menyusup ke paru-paru membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang baru saja tersiram embun pagi. Aku dan teman-teman memutuskan untuk menjelajah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, sebuah tempat yang dikenal sebagai oase hijau di tengah hirup pikuk kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Monyet-monyet lincah bermain di dahan-dahan tinggi, melompat dengan luwes dan memukau. Beberapa di antaranya turun di tangga-tangga batu. Mereka tampak tak terusik oleh kehadiran kami, seolah menjadi penguasa alami dari tempat ini. Burung-burung masih sibuk berkicau, memperlihatkan bahwa kehidupan di taman hutan ini tidak pernah benar-benar diam.
Di sekitar kami, tumbuhan-tumbuhan hijau yang lebat tumbuh subur, menyelimputi tanah dengan menakjubkan. Daun-daun besar yang menjuntai, tanaman merambat yang menghiasi pepohonan, serta bunga-bunga yang mekar memberi nuansa kehidupan yang begitu segar. Setiap sudut tempat ini penuh dengan keajaiban alam yang menunggu untuk ditemukan.
“Guys! Tempat ini asik dan keren banget, lihat tuh ada monyet, hahaha lucu sumpah!” seru Sarah sambil menggambil foto seekor monyet yang sedang sibuk menggaruk tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Namun, suasana mulai berubah ketika kami memutuskan masuk ke salah satu destinasi terkenal di sana yaitu Gua Jepang. Dari luar, gua itu tampak gelap dan mencekam, seakan banyak rahasia dan cerita di dalamnya.
“Berani masuk nggak?” tanya Reza dengan nada menantang.
“Beranilah! Ngapain takut,” jawab Dinda sambil menyewa senter dari penyewa senter di area itu.
Kami berjalan perlahan menyusuri lorong gua itu. Udara dingin dan lembap terasa menusuk. Cahaya senter menyorot ke arah kelelawar yang menggantung di langit-langit goa, membuat Sarah menjerit kecil.
“Kelelawar doang, nah tinggal hantunya aja nih yang belum keluar hahaha,” Dinda menakut-nakuti Sarah sambil tertawa.
“Ehh jangan sompral! Jangan takut, kelelawar lagi jam istirahat kalau siang. Mereka makhluk nokturnal, baru aktif nanti malem,” ujar Reza dengan nada serius.
ADVERTISEMENT
“Berani banget hewan-hewan nokturnal ini aktivitas malem-malem, selain kelelawar sama burung hantu ada yang tau ngga hewan lain yang nokturnal juga?” ucap Sarah penasaran.
“Aku ada, tapi nanti ceritainnya abis kita keluar dari gua sambil istirahat,” jawabku, memancing rasa ingin tahu mereka.
Setelah keluar gua dan duduk di sebuah gazebo, aku mulai bercerita, “Salah satu hewan nokturnal dan menarik menurut aku tuh namanya Tarsius,”
“Hah? Baru denger hewan apa itu dan darimana?” tanya Reza, terlihat penasaran.
“Jadi, Tarsius itu primata kecil dan dia tuh satwa endemik Sulawesi, matanya besar dan bisa lompat dengan presisi dari pohon ke pohon dan itu tuh malem-malem!” aku menjelaskan dengan antusias.
Sarah tampak terpukau, “Wah, keren kayak ninja hihihi!”
ADVERTISEMENT
“HAHAHA…bener banget Sar. Mereka juga punya kemampuan berburu serangga di kegelapan. Mata mereka tuh sensitif cahaya rendah, jadi nggak heran kalau mereka bisa bertahan hidup di malam hari,” jelasku sambil tersenyum, “Aku bahkan punya julukan untuk mereka: Sentinela Malam dari Hutan Sulawesi. ‘Sentinela’ itu dari bahasa Latin, artinya penjaga. Menurutku cocok buat menggambarkan peran mereka sebagai pelindung hutan menjaga keseimbangan ekosistem dengan makan serangga di malam hari.”
Tarsius biasanya hidup di hutan-hutan lebat Sulawesi. Mereka tinggal di pepohonan tinggi, jarang sekali turun ke tanah, karena mereka lebih nyaman melompat dari dahan ke dahan. Selain itu, mereka dikenal sebagai hewan yang soliter. Setiap individu memiliki wilayahnya sendiri dan mereka akan menjaga area itu dari tarsius lain.
ADVERTISEMENT
“Mereka juga bisa memutar kepalanya hampir 180 derajat, loh,” tambahku
“Kayak burung hantu dong, terus kenapa dia muter kepalanya?” tanya Dinda
“Biar lebih efisien waktu berburu bisa ngamatin sekelilingnya,” kataku. Selain itu, alasan lainnya adalah mata tarsius sangat besar dan tidak bisa bergerak di dalam rongga mata. Karena itu, untuk melihat ke arah yang berbeda, tarsius harus memutar kepalanya. Kemampuan ini memungkinkan mereka tetap waspada terhadap predator di sekeliling mereka tanpa mengubah posisi tubuh.
“Oh iya, tarsius tuh salah satu hewan romantis karena kalau pasangan mereka mati mereka ngga akan cari pasangan baru lagi,” jelasku.
“Sweet banget! Bahkan hewan aja bisa setia kayak gitu masa manusia nggak bisa,” sahut Dinda sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dilla Anggraini dkk. (2024), tarsius sering memilih sarang di rumpun bambu. Di Cagar Alam Tangale, vegetasi seperti Molamahu (Grewia koordersiana) juga dominan, dengan tajuk besar yang menciptakan kelembapan dan intensitas cahaya rendah yang ideal. Mereka juga mencatat suhu di sekitar sarang tarsius berkisar 27°C–30°C, kelembapan 66%-82%, dan intensitas cahaya 95-190 lux, menciptakan mikrohabitat yang mendukung aktivitas nokturnal dan perlindungan bagi tarsius.
Tarsius adalah pemakan serangga dengan memangsa serangga, mereka membantu mengontrol populasi serangga di hutan. Kehadiran tarsius memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, menunjukkan bahwa hutan tempat mereka tinggal masih sehat dan terjaga.
Indonesia sebagai negara megabiodiverse terbesar kedua di dunia, memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keanekaragaman hayatinya. Salah satu contohnya adalah tarsius, primata kecil endemik Sulawesi yang hidup di hutan-hutan tropis pulau tersebut. Namun, seperti banyak satwa liar lainnya di Indonesia, tarsius menghadapi ancaman serius yaitu kepunahan akibat deforestasi besar-besaran, pembukaan lahan untuk perkebunan dan pemukiman. Ancaman ini diperburuk oleh perburuan dan perdagangan ilegal yang terus menekan populasinya.
ADVERTISEMENT
“Mereka nggak bisa bertahan lama kalau dijadikan peliharaan, karena stres. Jadi, memelihara tarsius sama aja mempercepat kematian mereka,” jelasku.
Seperti yang disampaikan oleh Rheza Maulana, S.T., M.Si. dalam materi Forum Bumi, keanekaragaman hayati Indonesia menghadapi ancaman besar akibat perubahan iklim, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam. “Satwa liar yang tadinya dihormati dan dilindungi, kini menjadi objek untuk dimiliki dan dieksploitasi,” ujarnya. Rheza juga mengingatkan bahwa flora dan fauna adalah kesatuan komponen alam yang memiliki peran ekologis yang penting. “Menyayangi mereka adalah dengan cara membiarkan mereka menjalankan perannya di alam,” tambahnya, menegaskan pentingnya pelestarian lingkungan.
Setelah mengenal lebih dalam tentang tarsius, semakin terlihat betapa pentingnya keberadaan makhluk kecil ini bagi keseimbangan ekosistem hutan Sulawesi. Namun, ancaman yang mereka hadapi bukanlah hal yang bisa diabaikan. Berbagai upaya konservasi terus dilakukan untuk melindungi tarsius dan habitatnya. Salah satunya ada di kawasan Taman Nasional Tangkoko di Sulawesi Utara, yang dikenal sebagai salah satu kawasan habitat tarsius. Selain itu, Taman Nasional Bulusaraung juga mengembangkan objek wisata tarsius, yang tidak hanya berfokus pada perlindungan spesies ini, tapi menjadi langkah yang baik agar wisatawan maupun masyarakat teredukasi untuk menjaga keberlanjutan ekosistem hutan dan spesies ini.
ADVERTISEMENT
Tarsius bukan hanya makhluk dengan ciri khas mata besar dan gerakan lincah. Kehadirannya juga menjadi penanda penting bagi kelestarian ekosistem hutan Sulawesi. Sebagai pemakan serangga, tarsius berperan menjaga keseimbangan populasi serangga, mencegah hama yang bisa merusak tanaman dan ekosistem. Namun, tarsius tidak bisa bertahan sendirian. Mereka adalah jaringan kehidupan yang lebih besar. Hutan tempat mereka tinggal dipenuhi dengan berbagai makhluk lain yang saling bergantung. Ketika habitat mereka dengan berbagai makhluk lain rusak, efeknya menyebar ke seluruh ekosistem, memengaruhi tidak hanya satwa lain, tetapi manusia yang bergantung pada keseimbangan alam ini.
Menyaksikan kehidupan tarsius memberikan bahan renungan. Jika makhluk kecil seperti tarsius mampu menjadi penjaga ekosistem yang setia, mengapa manusia justru sering menjadi ancaman bagi alam? Satwa liar seperti tarsius mengingatkan pentingnya menjaga harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan. Mereka mengajarkan bahwa setiap makhluk memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan bumi ini. Kehidupan tarsius yang sederhana namun penuh makna menjadi pengingat bahwa menjaga alam bukan hanya tugas segelintir orang, tetapi tanggung jawab bersama untuk mewariskan lingkungan yang sehat bagi generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Di tengah ancaman yang ada, masih ada harapan. Upaya kita sebagai generasi saat ini, yaitu mengembangkan konservasi, menyadarkan masyarakat sekitar, dan menyebarluaskan informasi pentingnya menjaga hewan endemik ini. Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia menjadi salah satu wadah penting untuk terus mengingatkan kita bahwa menjaga keanekaragaman hayati bukan hanya tanggung jawab ilmuwan atau aktivis, melainkan juga tanggung jawab kita semua. Dengan menjaga tarsius dan habitatnya, kita turut menjaga warisan alam Indonesia yang tak ternilai untuk generasi mendatang.