Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Spiritualitas Para Pohon Penjaga
1 Februari 2024 16:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Siti Puji Asih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Tradisi menjaga sumber mata air lokal
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini Gunungkidul mendapat wacana “sebagai Bali kedua” karena keindahan alam untuk sektor pariwisata. Wacana ini pun menimbulkan pro dan kontra terutama pada aspek lingkungan. Pernahkah kamu menghitung berapa banyak pohon besar yang kamu temui ketika berkunjung ke Gunungkidul?
ADVERTISEMENT
Luasnya Gunungkidul tentu memiliki keberagaman karakteristik wilayah. Karakter topografi Gunungkidul terbagi menjadi tiga zona, yaitu batur agung, ledoksari, dan gunung sewu. Batur Agung atau dalam bahasa Indonesia bermakna gunung besar berada di zona utara dengan ketinggian 200-700 mdpl. Kemudian, Ledoksari berada pada zona tengah dengan ketinggian 150-200 mdpl. Lalu, Gunung Sewu atau pegunungan seribu dengan ketinggian 0-300 mdpl berada di zona selatan wilayah Gunungkidul.
Dari ketiga zona ini, wilayah Gunungkidul didominasi oleh pegunungan seribu dengan karakteristik tanah karstnya. Sehingga, seringkali Gunungkidul mendapat stereotip daerah yang sering dilanda bencana kekeringan. Karst atau kapur sendiri memiliki karakteristik daya serap tinggi, kurang subur untuk pertanian, rentan erosi dan longsor, serta rentan dengan pori-pori aerasi yang rendah. Latar belakang inilah yang melahirkan nilai-nilai spiritual pada pohon resan.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa jawa, “resan” bermakna “reksa” atau menjaga. Ada pula yang mengatakan bahwa resan itu “wreksa” yang berarti pohon. Dari sini, masyarakat Gunungkidul memahami bahwa resan adalah pohon penjaga – kehidupan. Pohon resan adalah pohon-pohon raksasa berjenis ficus (beringin) yang memiliki fungsi menjaga sumber mata air. Selain itu, pohon ini juga berfungsi untuk mitigasi bencana seperti mengikat tanah sehingga terhindar dari erosi. Pohon resan juga memiliki peran untuk menyetabilkan iklim di tengah isu climate change yang panas akhir dekade ini.
Pohon adalah elemen penting untuk kehidupan. Perannya mampu membentuk ekosistem yang saling mendukung. Tentu kita tahu bahwa melalui proses fotosintesis pohon akan menghasilkan oksigen yang dibutuhkan semua makhluk hidup di bumi. Kemudian ketika musim hujan, pohon akan menangkap air hujan dan menyimpan di bawah rimbunnya. Terlebih lagi pohon resan, ia akan menggunakan air secukupnya untuk kebutuhan fotosintesis. Selebihnya ia akan menyimpan air hujan tersebut lalu menyemburkannya melalui tuk atau mata air. Mata air ini akan membawa manfaat untuk manusia dan makhluk hidup lain. Mengingat bahwa air adalah unsur penting kehidupan, dari sini kita akan semakin paham peranan pohon bagi keseimbangan alam semesta, khususnya bumi.
ADVERTISEMENT
Lalu, di manakah letak spiritualitas masyarakat Gunungkidul terhadap pohon-pohon penjaga? Fakta bahwa Gunungkidul sering dilanda kekeringan memang benar adanya. Sehingga, masyarakat zaman dulu memiliki mindset “menghargai air”. Sumber air dipercayai sebagai tempat atau titik spiritual. Hal ini dibuktikan dengan adanya cerita rakyat tentang sejarah desa atau cikal bakal suatu desa yang selalu berhubungan dengan keberadaan sumber air. Maka dari itu, hampir semua upacara/ritual adat dilakukan di dekat sumber air sebagai bentuk penghormatan.
Para leluhur memberikan wewaler atau pesan untuk mewariskan sebuah tradisi menjaga sumber mata air. Tradisi ini dikenal dengan upacara adat nglangse. Nglangse berasal dari kata dasar “langse” yang berarti kain untuk menutupi. Ritual ini ditujukan untuk mengenakan kain pada sesuatu yang dianggap penting/sakral – pohon. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Gunungkidul dengan memberikan pakaian pada pohon resan dengan kain putih/mori, poleng, bleketepe, bambu, atau media lainnya sesuai dengan tradisi masing-masing daerah.
ADVERTISEMENT
Nglangse biasa dilakukan bersamaan dengan upacara adat “bersih desa” atau “merti desa” maupun “besik sumber”. Tujuan ritual ini adalah memberi tanda agar pohon tersebut dijaga keberadaan dan kelestariannya. Karena pohon tersebut yang memberikan kehidupan bagi warga masyarakat berupa sumber mata air.
Berkat pohon resan inilah para leluhur mampu membentuk peradaban kehidupan di Bumi Gunungkidul. Daerah yang terkenal dengan tanah tandusnya menjadi istimewa berkat keberadaan pohon resan yang menjadi sumber kehidupan.
Uniknya, dalam konteks pengetahuan simbah-simbah zaman dulu, pohon resan seringkali diidentikkan sebagai tempat bersemayamnya dhanyang atau leluhur penjaga desa. Rupanya, hal ini pun melahirkan keambiguan bagi generasi saat ini. Wewaler yang dituturkan turun-temurun itu dianggap sebagai mitos belaka. Alhasil, kepercayaan spiritual terhadap pohon resan pun sedikit demi sedikit luntur tergerus arus perkembangan zaman.
Ketika berbicara tentang mitos, anak-anak muda zaman sekarang selalu mengaitkannya dengan hal-hal mistik. Padahal, fakta sebenarnya adalah tradisi-tradisi ini menjadi suatu perintah/peringatan untuk kita selalu menjaga kelestarian pohon resan. Cerita tutur, mitos, budaya dan ritual merupakan teknologi dari para leluhur untuk menjaga keseimbangan alam. Kita sebagai generasi penerus sudah seharusnya kembali arif ke alam. Ilmu-ilmu dari para leluhur sesungguhnya sudah sangat sempurna. Dengan merumuskan bagaimana menghargai alam, menjaga sustainability-nya, serta menghormatinya.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang harus kita pahami kembali sebagai masyarakat Jawa adalah falsafah hidup orang Jawa yang mengedepankan laku dengan tujuan mendekatkan diri atau menyatu dengan Tuhan. Falsafah ini sering disebut “Manunggaling Kawula Gusti”. Kemudian, terdapat sikap “Memayu Hayuning Bawana” yang berarti sebagai upaya menjaga keseimbangan alam semesta.
Hal mistik yang selalu dikaitkan dengan “roh” harus kita ubah perspektifnya. Roh tersebut merupakan wujud spirit perjuangan leluhur dalam membentuk peradaban. Para leluhur menitipkan spirit pada tanda-tanda di sekitar kita. Tugas kita adalah memelihara spirit tersebut.
Hal-hal bernilai gaib itu harus kita pelihara untuk memperkuat keyakinan dan tekad perjuangan menjaga kearifan alam tempat kita tinggal. Jangan sampai kita merasa menjadi orang modern sehingga meninggalkan atau bahkan melupakan pengetahuan-pengetahuan kolektif masyarakat yang telah arif sejak dulu.
ADVERTISEMENT