Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kehilangan Mestika: Merobek Batasan Adat, Meraih Kebebasan
5 Mei 2025 15:39 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Siti Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kehilangan Mestika, novel karya Fatimah Hasan Delais (dikenal juga dengan nama pena Hamidah), merupakan salah satu karya penting era Pujangga Baru yang mengangkat tema kehilangan, kesedihan, dan penderitaan, terutama dari sudut pandang perempuan. Namun, lebih dari sekadar kisah personal, novel ini juga menjadi potret sosial yang merekam kondisi perempuan Indonesia pada masa kolonial. Di dalamnya tergambar jelas bagaimana perempuan kerap dipinggirkan, dibatasi oleh norma adat, dan jarang diberi kesempatan menentukan nasib sendiri. Dengan gaya bahasa sederhana dan emosional, penulis berhasil membawa pembaca larut dalam perjalanan Hamidah, sang tokoh utama, yang terjebak dalam tekanan sosial dan kehilangan orang-orang tercinta.
ADVERTISEMENT
Sebagai pembaca perempuan masa kini, saya merasa bahwa tekanan adat dan budaya yang digambarkan dalam cerita ini, tentang bagaimana perempuan “seharusnya” bersikap dan berperilaku masih sangat relevan. Meski novel ini sudah ditulis puluhan tahun lalu, kekangan serupa masih banyak kita temui di sekitar kita. Padahal, tokoh perempuan dalam novel ini digambarkan sebagai sosok cerdas, mandiri, sigap dalam mengambil keputusan, serta memiliki harapan dan cita-cita tinggi. Sayangnya, di balik semua itu, ia tetap harus menghadapi beragam cobaan: mulai dari kisah percintaan yang rumit, kerinduan akan kasih sayang, hingga cibiran masyarakat karena mereka berjuang mendapatkan pendidikan yang layak.
Menariknya, dalam novel ini Hamidah menggambarkan bagaimana tokoh perempuannya tidak tinggal diam menghadapi kekangan. Ada dua upaya penting yang dilakukan. Pertama, melawan larangan bekerja. Pada masa itu, perempuan dianggap hanya layak tinggal di rumah, mengurus pekerjaan domestik seperti memasak dan membersihkan rumah. Namun, Hamidah menunjukkan perlawanan dengan memulai pekerjaan sebagai guru di luar kota. Meski mendapat banyak cibiran, ia tetap teguh melangkah, didukung penuh oleh sang ayah yang menjadi sosok kunci dalam mendukung cita-citanya.
ADVERTISEMENT
Kedua, mendirikan organisasi pendidikan. Hamidah tak hanya berjuang mencerdaskan dirinya sendiri, tetapi juga memiliki kepedulian besar terhadap pendidikan perempuan di sekitarnya. Ia mendirikan perkumpulan untuk mengajarkan membaca dan menulis kepada perempuan di kampungnya, agar mereka terbebas dari buta huruf. Inisiatif ini menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi agen perubahan sosial penting, karena perempuan yang terdidik akan lebih siap mencerdaskan generasi berikutnya.
Melalui Kehilangan Mestika, Hamidah meninggalkan pesan kuat: perjuangan perempuan untuk meraih kebebasan, kesetaraan, dan pendidikan bukan sekadar isu masa lalu, tetapi tetap menjadi panggilan penting hingga hari ini. Novel ini tidak hanya bernilai sastra, tetapi juga menjadi cermin reflektif bagi pembaca zaman sekarang untuk merenungkan, sejauh mana kita sudah bergerak maju dalam menghargai peran dan kebebasan perempuan.
ADVERTISEMENT