Diskriminasi dan Resistensi dalam Novel 'Sekali Peristiwa di Banten Selatan'

SITI SAROH
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Konten dari Pengguna
5 September 2023 17:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SITI SAROH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Kita hidup dalam kesakitan melulu. Kalau bukan daging yang sakit, ya hati. Kesakitan melulu!”
ADVERTISEMENT
Pramoedya Ananta Toer atau kerap kali disebut Pram ialah sastrawan yang melahirkan banyak karya, yang di antaranya sebagai bentuk pertahanan, perlawanan, dan penggambaran penindasan pada masa kolonial. Salah satu bentuk penggambaran penindasan, Pram melahirkan sebuah novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan yang diterbitkan pada tahun 1958.
Sekali Peristiwa di Banten Selatan merupakan hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh Pram di Banten. Ia melakukan penyelidikan karena hadirnya skeptis terhadap wilayah Banten yang subur dan kaya, namun terdapat banyak penindasan dan pembunuhan. Selain itu, di wilayah Banten terdapat banyak masyarakat yang tidak berdaya akibat adanya perbudakan kelas atas terhadap kelas bawah dan adanya perlakuan serta tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh kelas atas.
ADVERTISEMENT
Dalam novel tersebut, kelas atas diperankan oleh Juragan Musa, Nyonya (istri Juragan Musa), Pak Kasan, Komandan, dan Pak Lurah. Adapun tokoh kelas bawah diperankan oleh Ranta, Ireng, Djali, orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Tokoh kelas bawah merupakan tokoh yang mendapat diskriminasi dari tokoh kelas atas.
Menurut Theodorson & Theodorson (dalam Danandjaja: 2013) diskriminasi adalah perlakuan tidak seimbang terhadap golongan atau kelompok berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorial, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, suku bangsa, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.
Istilah tersebut biasanya akan melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka bersifat tidak bermoral dan tidak demokratis. Diskriminasi yang terjadi pada novel ialah di antaranya diskriminasi ras dan diskriminasi fisik. Melalui berbagai diskriminasi, para kelas bawah melakukan perlawanan terhadap kelas atas.
ADVERTISEMENT

Diskriminasi Gender dan Diskriminasi Fisik

Diskriminasi Gender

Diskriminasi gender dan diskriminasi fisik ialah perlakuan tidak bermoral yang dilakukan oleh kelas atas kepada kelas bawah. Diskriminasi dilakukan karena adanya kekuatan kekuasaan yang dimiliki. Berikut penggambaran diskriminasi gender:
Inilah baru pertama kali Nyonya mendapat perlakuan kasar dari suaminya sehingga segala macam perasaan yang tak nyaman: syak, amarah, dukacita, kecewa, dan sekaligus malu dan takut, berkecamuk dalam hatinya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kutipan di atas, Juragan Musa melakukan tindakan diskriminasi gender berupa kekerasan fisik dan non fisik. Juragan Musa melontarkan kata-kata yang tak sepatutnya terhadap istrinya. Ia mengatakan bahwa istrinya ialah pembawa sial. Pun Juragan Musa melakukan kekerasan fisik kepada Nyonya istrinya sampai mulutnya berdarah.
Berdasarkan kutipan di atas terdapat diskriminasi gender berupa hak dan kewajiban. Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan merupakan novel yang hadir pasca kemerdekaan dan masyarakat pada saat itu masih belum melek terhadap baca-tulis, serta menganggap bahwa wanita tidak lebih tinggi dari laki-laki.
Pada kutipan di atas, para suami tidak mengizinkan anak perempuan dan istrinya belajar baca-tulis sebab mereka beranggapan tidak mungkin perempuan lebih pintar dari lelaki. Namun, Ranta dan Pak Komandan tetap mempertanyakan dan memperjuangkan agar masyarakat mau belajar.
ADVERTISEMENT

Diskriminasi Fisik

Diskriminasi fisik merupakan sebuah tindakan kekerasan pada fisik yang berupa penindasan dan penganiayaan. Dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan digambarkan diskriminasi fisik yang dialami oleh masyarakat. Diskriminasi dilakukan oleh kelas atas, yaitu Juragan Musa yang telah dianggap sebagai binatang buas. Berikut kutipan penggambaran diskriminasi fisik:
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kutipan di atas, Ranta mendapat perlakuan penganiayaan dari Juragan Musa berupa pukulan rotan karena dianggap telah mencuri bibit karet, padahal hal tersebut diperintahkan oleh Juragan Musa. Selain Ranta, Yang Pertama pernah mengalami hal serupa berupa dihajar habis-habisan oleh sebab yang sama, yaitu maling karet.

Resistensi Masyarakat

Ranta melakukan perlawanan dengan cara melaporkan tas Juragan Musa kepada Pak Komandan. Tas tersebut tak pernah dibuka selama perjalanan Ranta menuju tempat Pak Komandan. Komandan mendatangi kediaman Juragan Musa untuk melakukan penangkapan. Penangkapan tersebut karena terdapat hal yang dicurigai, yaitu di daerah kediaman Juragan Musa terdapat kekacauan, semua masyarakat diganggu oleh gerombolan, namun Juragan Musa tak pernah diganggu.
Juragan Musa menentang maksud penangkapan tersebut dengan berbagai alasan. Namun, Pak Komandan kehilangan kesabaran dan memanggil Ranta beserta tas sebagai buktinya. Di dalam tas tersebut berupa surat-surat Darul Islam. Akhirnya, Juragan Musa ditangkap dengan empat bukti sekaligus yang menyatakan bahwa Juragan Musa ialah Residen DI. Pertama; Nyonya menyebut Juragan Musa sebagai pembesar DI. Kedua; Pak Lurah yang merupakan orang DI juga. Ketiga; surat-surat dalam tas. Keempat, Pak Kasan yang memanggil Juragan Musa dengan sebutan Pak Residen.
ADVERTISEMENT
Selain perlawanan terhadap Juragan Musa dan pengikut-pengikutnya. Ranta, Pak Komandan, dan masyarakat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang mungkin akan datang untuk mengobrak-abrik kembali.
Berdasarkan kutipan di atas, Ranta memberi saran kepada Komandan untuk mengerahkan masyarakat agar bersatu melawan para gerombolan dengan cara gotong royong. Pak Komandan menyetujuinya meski masih sedikit ragu. Dengan adanya gotong royong, masyarakat menang dan Ranta di angkat menjadi Lurah.
ADVERTISEMENT