Konten dari Pengguna

Ulasan Novel Pendek "Surabaya Karya Idrus": Penderitaan Rakyat Indonesia

SITI SAROH
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
24 Oktober 2022 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari SITI SAROH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Ilustrasi: Hak Cipta Gambar Milik Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Ilustrasi: Hak Cipta Gambar Milik Penulis
ADVERTISEMENT
“Waktu itu orang Indonesia masih percaya kepada Tuhan lama. Akan tetapi, setelah ancaman kepada diri dari sehari ke sehari bertambah tajam terasa, dirampas mereka kehormatan Jepang, pedang samurai dan senjata, seperti laki-laki jahat merampas kehormatan seorang gadis. Jepang merintih-rintih kesakitan dan menyerah.”
ADVERTISEMENT
Surabaya (1947) merupakan salah satu novel pendek karya sastrawan terkenal, yaitu Idrus. Novel pendek ini berisi tentang perjuangan rakyat Indonesia dalam pertempuran Surabaya. Novel yang sangat revolusioner dan tidak ada tokoh utama tunggal, sehingga terdapat isi yang mencekam.
Bermula dari orang Belanda-Indo yang menaikkan bendera merah putih biru di hotel Yamato, kemudian membuat orang-orang Indonesia tercengang. Di antara riuhnya suara orang-orang yang mendekati hotel tersebut, seorang pemuda naik ke tiang dan merobek kain biru pada bendera tersebut. Orang Belanda-Indo murka, sebab menaikkan bendera bukan untuk dirobek. Setelah itu, terjadilah keributan yang digambarkan oleh penulis seperti film-film "koboi".
“Serdadu-serdadu sekutu, hitam-hitam seperti kepala kereta api, dicurigai koboi-koboi seperti bandit-bandit yang dibiarkan lepas dan berkuasa. Jika bandit-bandit lepas bebas seperti burung di udara dan berkuasa seperti Hitler almarhum, masyarakat menjadi kacau. Segalanya tidak aman, sapi-sapi, gadis-gadis, emas-emas, dan juga revolver-revolver dan pisau-pisau belati kepunyaan koboi-koboi ditahan oleh bandit-bandit dan diharuskan menyerahkan senjatanya. Bandit-bandit berteriak sambil mengacungkan bayonetnya.”
ADVERTISEMENT
Dalam novel “Surabaya”, sekutu disebut "bandit-bandit" yang dibiarkan lepas lalu merasa seperti memiliki kekuasaan. Dalam kutipan di atas, koboi-koboi tidak mau menyerahkan senjata mereka. Mereka berteriak “ambillah jiwa kami!” seraya menembak. Hal serupa dilakukan oleh bandit-bandit yang menyebabkan pertempuran terjadi. Hasilnya, terdapat kabar melalui sehelai kertas berbahasa Inggris-Indonesia yang ditanda tangani oleh Soekarno, Hawthorn. Bandit-bandit menyerah dan hanya diperbolehkan tinggal di dekat pelabuhan.
Kehidupan masyarakat dalam novel “Surabaya” digambarkan dalam keadaan yang mencekam dan tidak nyaman. Suara-suara tembakan dari pertempuran mengagetkan masyarakat. Setiap detik, setiap hari, dan kapan saja nyawa masyarakat terancam dan dapat direnggut secara tidak hormat.
Selain menggambarkan kondisi dan keadaan, dalam novel “Surabaya” pun menggambarkan penderitaan yang dirasakan masyarakat saat itu. Penderitaan yang terjadi bukan hanya penderitaan mental, akan tetapi penderitaan fisik juga. Masyarakat merasa terancam, ketakutan, dan penuh curiga. Terutama bagi perempuan, mereka kehilangan kehormatan karena menjadi pemuas nafsu kaum penjajah. Badan masyarakat pun menjadi cacat akibat pertempuran.
ADVERTISEMENT
Salah satu penderitaan dalam novel Surabaya yaitu dimunculkan pengarang lewat tokoh laki-laki tua yang menangis seperti anak kecil kehilangan sesuatu. “Maafkan aku, Jaleah. O, jika engkau ada di sini, tentu penderitaanku tidak akan seberat ini benar”. Hal tersebut karena ia lupa membawa istrinya saat hendak lari dari Surabaya. Ia mengalami kesusahan hidup dan memikirkan jika istrinya sendiri menjadi wanita pelayan serdadu Jepang.
Dalam novel Surabaya, penulis menggunakan bahasa yang mampu mengajak para pembaca turut merasakan kejadian heroik yang terjadi saat itu, terutama masyarakat Surabaya. Memberikan gambaran mengenai penderitaan, ketakutan, ancaman, dan pengkhianatan yang terjadi pada masyarakat.