Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perubahan Ketentuan atas Natura dan Kenikmatan dalam Upaya Mewujudkan Keadilan
3 Januari 2022 11:34 WIB
Tulisan dari Siti Zaila Noor Afina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam melaksanakan pembangunan negara, negara memerlukan beberapa unsur pendukung, salah satunya adalah sumber penerimaan yang memadai dan dapat diandalkan (Sinaga, 2017). Sri Mulyani, Menteri Keuangan, menyampaikan bahwa pajak merupakan tulang punggung nasional karena pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting (Kementerian Keuangan, n.d.).
ADVERTISEMENT
Upaya negara dalam meningkatkan penerimaan negara dari perpajakan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui reformasi perpajakan. Seiring dengan perubahan kondisi masyarakat secara terus menerus membuat sistem perpajakan turut mengalami perubahan, sehingga reformasi ini merupakan perubahan fundamental dalam aspek perpajakan (Monalika & Haninun, 2020). Salah satu bentuk upaya reformasi perpajakan dari pemerintah adalah Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dilansir dari kemenkeu.go.id (2021), Sri Mulyani menyampaikan bahwa tujuan dilahirkannya UU HPP ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan, mendorong percepatan pemulihan ekonomi, mengoptimalisasi penerimaan negara, menciptakan sistem perpajakan yang adil dan berkepastian hukum, mewujudkan reformasi administrasi, serta menciptakan kebijakan perpajakan yang harmonis dan memperluas basis perpajakan. Adapun salah satu reformasi perpajakan dalam kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) berkaitan dengan ketentuan perpajakan atas pemberian natura dan/atau kenikmatan.
ADVERTISEMENT
Menurut Inge Diana Rismawati, Kepala Subdirektorat Penyuluhan Perpajakan, pengaturan kembali ketentuan mengenai natura dan/atau kenikmatan diperlukan karena di dalam ketentuan PPh masih terlihat adanya ketidakadilan horizontal penghasilan pegawai (Hariani, 2021). Dalam menanggapi ketidakadilan tersebut, pemerintah mengupayakan penyempurnaan ketentuan perpajakan atas natura dan/atau kenikmatan ini.
Urgensi Perubahan Ketentuan Natura dan/atau Kenikmatan
Suryo Utomo, Direktur Jenderal Pajak, dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI (2021), mengemukakan bahwa terdapat beberapa hal yang melatarbelakanginya, yaitu berkaitan dengan pemberian imbalan yang banyak dinikmati high level employee, penghasilan untuk pegawai berupa gaji atau upah yang dikenakan PPh, serta terdapat potensi tax planning.
Urgensi pertama berkaitan dengan pemberian imbalan ini yang cenderung dinikmati high level employee. Hal tersebut menimbulkan ketidakadilan karena membuat natura dan/atau kenikmatan yang dimanfaatkan petinggi perusahaan atau high level employee jauh lebih besar dibandingkan pegawai yang tidak memiliki jabatan tinggi.
ADVERTISEMENT
Suryo Utomo (2021) mengemukakan bahwa dari 50% tax expenditure PPh Orang Pribadi atas penghasilan natura dan/atau kenikmatan ini dimanfaatkan oleh pegawai lapisan tarif tertinggi, dimana rata-rata tahun 2016-2019 mencapai Rp5,1 triliun. Meskipun pemberian natura dan/atau kenikmatan pada ketentuan PPh tidak mempengaruhi besaran pajak terutang pegawai, namun yang menjadi permasalahan adalah manfaat yang tidak didistribusikan merata.
Selanjutnya, urgensi kedua berkaitan dengan penghasilan untuk pegawai yang hanya menerima gaji atau upah yang dikenakan PPh. Dalam ketentuan PPh, natura dan/atau kenikmatan dikecualikan dari objek pajak bagi penerimanya, sehingga seberapa besar pun manfaat yang diterima tidak akan berpengaruh terhadap pajak terutangnya. Sedangkan pegawai lain yang hanya menerima penghasilan dari gaji atau upah yang merupakan objek pajak, atas penghasilan tersebut akan terutang pajak. Padahal dengan seorang pegawai termasuk ke dalam kelompok high level employee, tentu membuat penghasilan yang diterima juga besar, artinya kemampuan untuk membayar pajaknya pun juga besar, sehingga seharusnya akan lebih adil apabila high level employee bertanggung jawab atas seluruh imbalannya dengan dikenakan pajak sesuai dengan besaran imbalan yang dimanfaatkan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, urgensi ketiga berkaitan dengan potensi terjadinya tax planning. Yusuf Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan, mengatakan bahwa natura dan/atau kenikmatan ini sering menjadi jalan keluar bagi Wajib Pajak berpenghasilan tinggi untuk melakukan tax planning agar tidak dikenakan PPh Orang Pribadi dan juga tidak menjadi beban biaya bagi perusahaan (Hariani, 2021). Menurut Mukkaromah (2021), upaya dalam melakukan perencanaan pajak (tax planning) ini dilakukan dengan pergeseran (shifting) penghasilan dari yang sebelumya diberikan dalam bentuk tunai (seperti gaji dan tunjangan) menjadi ke dalam bentuk natura (benefit in kind), dengan tujuan untuk meringankan beban pajak yang harus ditanggung.
Walaupun menguntungkan pihak tertentu, namun adanya tax planning ini menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah, karena apabila mempertimbangkan keuntungannya, akan banyak yang lebih memilih memberikan/menerima tambahan kemampuan ekonomis dalam bentuk nontunai (natura dan/atau kenikmatan). Ditambah lagi, dengan semakin banyaknya praktik tax planning dapat mengakibatkan timbulnya potensi kerugian pajak (tax potential loss).
ADVERTISEMENT
Perubahan Ketentuan Natura dan/atau Kenikmatan dalam Mewujudkan Keadilan
Sehingga, permasalahan utama yang melatarbelakangi perubahan ketentuan ini berkaitan erat dengan ketidakadilan. Dalam UU PPh, ketentuan atas natura dan/atau kenikmatan bersifat non taxable dan non deductible, artinya imbalan ini tidak dianggap sebagai objek pajak dari penerima penghasilan dan tidak dapat dijadikan sebagai biaya pengurang dari pemberi penghasilan. Sedangkan, dalam UU HPP ketentuan tersebut mengalami perubahan yang menjadikan pemberian natura dan/atau kenikmatan bersifat taxable dan deductible, artinya imbalan ini dapat dianggap sebagai objek pajak dari penerima penghasilan dan juga dapat dijadikan sebagai biaya pengurang dari pemberi kerja. Namun, sifat tersebut tidak mutlak karena dalam ketentuan yang baru ini juga ditentukan beberapa jenis penghasilan dari natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak.
ADVERTISEMENT
Bawono Kristiaji, Pengamat Perpajakan DDTC, menyatakan bahwa ketentuan natura dan/atau kenikmatan melalui UU HPP ini lebih berorientasi terhadap keadilan dibandingkan potensi penerimaan yang dapat dihasilkannya (Purnama, 2021). Tujuan untuk menciptakan keadilan dalam ketentuan baru ini juga selaras dengan tujuan dari pembentukan UU HPP itu sendiri, yaitu menciptakan sistem perpajakan dengan tata kelola yang semakin baik, berkeadilan dan berkepastian hukum (Yuantisya, 2021).
Keadilan yang tercermin dalam ketentuan natura dan/atau kenikmatan di UU HPP ini juga mampu mengatasi permasalahan yang melandasi adanya perubahan. Karena masih ditemukannya pemberian kenikmatan dan/atau natura yang hanya dimanfaatkan oleh high level employee, maka dengan ketentuan yang berlaku sekarang high level employee akan dikenakan pajak atau dibebankan pajak sesuai dengan manfaat yang diterima. Hal tersebut juga mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pegawai yang hanya menerima penghasilan dari upah atau gaji dan harus membayar PPh, karena melalui ketentuan ini pemberian natura dan/atau kenikmatan dijadikan objek pajak yang membuat penerimanya akan dikenakan pajak.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama berlaku dengan potensi tax planning, dimana upaya penghindaran pengenaan PPh menjadi lebih sulit, karena imbalan atas natura dan/atau kenikmatan sendiri tidak lagi dikecualikan dari objek pajak. Adapun keresahan akan adanya ketidakadilan horizontal juga teratasi karena dengan ketentuan baru ini high level employee akan mempertimbangkan ulang apabila ingin memanfaatkan natura dan/atau kenikmatan untuk kepentingan pribadi sepenuhnya, mengingat setiap imbalan yang dimanfaatkan akan dibebankan pajak.
Dampak dari penerapan ketentuan natura dan/atau kenikmatan yang dilandasi keadilan ini juga dapat menjadi upaya pemerintah dalam optimalisasi penerimaan PPh orang pribadi dan juga mengurangi ketimpangan. Dalam hal ini natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak dapat berperan untuk mengurangi ketimpangan antara penghasilan yang semakin membesar (Mukarromah, 2021).
ADVERTISEMENT
Karena melalui ketentuan ini, setiap pegawai akan dikenakan pajak atas pemberian imbalan ini sesuai dengan besaran imbalan yang diterimanya, artinya setiap orang bertanggung jawab untuk menanggung pajak atas seluruh imbalan yang dimanfaatkannya masing-masing. Namun, terlepas dari besar atau tidaknya potensi penerimaan pajak atas imbalan natura dan/atau kenikmatan ini, seharusnya orientasi dan pertimbangan utama pelaksanaannya bukan penerimaan, tetapi untuk mewujudkan keadilan.
REFERENSI
Artikel Jurnal
Monalika, H., & Haninun. (2020). Pengaruh reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak: Studi kasus di KPP Pratama Kedaton Bandar Lampung. Jurnal Akuntansi Keuangan dan Manajemen (Jakman), 135-154.
Sinaga, N. (2017). Reformasi Pajak Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Negara. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 1-19.
Website
Hariani, A. (2021, July 18). Fringe Benefit Penyebab PPh Orang Kaya Tak Optimal. Retrieved from pajak.com: https://www.pajak.com/pajak/fringe-benefit-penyebab-pph-orang-kaya-tak-optimal/
ADVERTISEMENT
Kementerian Keuangan. (2021, October 8). Melalui UU HPP Pemerintah akan Optimalkan Penerimaan Negara yang Berkeadilan. Retrieved from kemenkeu.go.id: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/melalui-uu-hpp-pemerintah-akan-optimalkan-penerimaan-negara-yang-berkeadilan/
Kementerian Keuangan. (n.d.). Menkeu: Pajak Merupakan Tulang Punggung Nasional. Retrieved from kemenkeu.go.id: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/menkeu-pajak-merupakan-tulang-punggung-nasional/
Mukarromah, A. (2021, Junes 28). Menilik Prospek Penerapan Fringe Benefit Tax di Indonesia. Retrieved from DDTC News: https://news.ddtc.co.id/menilik-prospek-penerapan-fringe-benefit-tax-di-indonesia-30894
Purnama, I. (2021, November 5). Pengamat Sebut Pajak Fasilitas dari Kantor Sudah Tepat Dilakukan. Retrieved from IDX Channel: https://www.idxchannel.com/economics/pengamat-sebut-pajak-fasilitas-dari-kantor-sudah-tepat-dilakukan
Utomo, S. (2021, July 4). Komisi XI DPR RI Rapat Panja RUU KUP. Retrieved from Komisi XI DPR RI Chanel: https://www.youtube.com/watch?v=GUTehoThQ2s
Yuantisya, M. (2021, November 21). Kenapa Fasilitas Kantor Seperti Laptop dan Ponsel Tidak Dikenakan Pajak? Menkeu Sri Mulyani Beri Jawaban. Retrieved from Pikiran Rakyat: https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/pr-013065073/kenapa-fasilitas-kantor-seperti-laptop-dan-ponsel-tidak-dikenakan-pajak-menkeu-sri-mulyani-beri-jawaban
ADVERTISEMENT