Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Stereotipe Gender & Pelabelan Negatif terhadap Perempuan Disabilitas
20 Oktober 2022 17:05 WIB
Tulisan dari Siti Sofiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ideologi masyarakat terhadap figur perempuan tak lepas dari stereotipe gender yang menyangkutpautkan perempuan dengan sifat feminin. Selain itu, dalam budaya patriarki, perempuan juga sering kali dikaitkan sebagai the second sex atau warga kelas kedua yang keberadaannya masih terpinggirkan. Hal tersebut terbukti masih sering terjadi bentuk diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, pelabelan negatif, maupun kekerasan terhadap perempuan di beberapa daerah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022 (CATAHU 2022) mencatat data kasus kekerasan yang menimpa perempuan selama 10 tahun terakhir (2012-2022) yakni di tahun 2012 tercatat 135.170 kasus, pada tahun 2013 tercatat 180.746 kasus, di tahun 2014 tercatat 185.458 kasus, tahun selanjutnya 2015 tercatat 204.794 kasus, lalu pada tahun 2016 tercatat 163.116 kasus, di tahun 2017 terjadi lonjakan dengan 230.881 kasus, pada tahun 2018 tercatat 280.185 kasus, selanjutnya di tahun 2019 tercatat 302.686 kasus. Data pada tahun 2020 tercatat 226.062 kasus yang menunjukkan pada masa pandemi perangkat akses laporan kekerasan terhadap perempuan sudah mulai dikenal, dengan diikuti meningkatnya kesadaran publik untuk mengadukan kasusnya. Namun, data tahun 2021 kembali terjadi peningkatan kasus sekitar 52% dibanding tahun sebelumnya karena pada tahun 2021 terdapat 338.496 kasus. Data kekerasan terhadap perempuan yang sudah dipaparkan tersebut merupakan hasil data gabungan yang tercatat di Komnas Perempuan, Lembaga Layanan, dan Badan Peradilan Agama (BADILAG).
Bahkan kekerasan terhadap perempuan bukan hanya ditemui di kehidupan masyarakat sosial yang terjadi di sekitar kita. Namun, juga ditemui kejahatan siber (cyber crime) menggunakan teknologi media. Hal ini seakan menegaskan bahwa tempat aman bagi perempuan di Indonesia masih dipertanyakan letak kehadirannya. Kehidupan perempuan seakan terbatasi dengan sempitnya ruang berekspresi. Dalam 5 tahun terakhir, pencatatan data dari CATAHU 2022 mengenai kasus Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) terhadap perempuan setiap tahunnya mengalami peningkatan kasus yang signifikan. Pada tahun 2017 dijumpai 16 kasus KSBG, di tahun 2018 dan 2019 tercatat 97 dan 281 kasus KSBG, selanjutnya pada tahun 2020 tercatat 940 kasus KSBG yang menunjukkan terjadinya kenaikan sekitar 83% ke tahun 2021 yang terdapat 1.721 kasus KSBG.
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan terhadap perempuan sudah seharusnya menjadi isu hangat yang diberi perhatian untuk diperbincangkan di masyarakat karena sudah sepatutnya kita semua memiliki kesadaran diri terhadap jenis kasus ini. Padahal faktanya kasus kekerasan merupakan wujud dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Tak bisa dipungkiri bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan yang muncul ke publik mungkin hanya sebagian kecil dari jumlah total kasus yang ada. Hal ini terjadi karena mayoritas masyarakat masih menganggap hal tersebut tabu untuk diperbincangkan. Kurangnya sosialisasi juga menjadi faktor meningkatnya kasus kekerasan perempuan karena pemahaman masyarakat terhadap kasus tersebut masih terbilang sedikit.
Fakta menyedihkan lainnya, kasus kekerasan tidak hanya terjadi pada perempuan normal saja, melainkan juga terhadap perempuan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas dipandang lebih lemah dan sering menjadi korban perlakuan diskriminatif, termasuk pemerkosaan ataupun pelecehan seksual. CATAHU 2022 mencatat terdapat 42 kasus KBG terhadap perempuan disabilitas. Dalam data tersebut menunjukkan bahwa perempuan dengan disabilitas intelektual rentan menjadi korban kekerasan karena faktor stereotipe negatif dalam pergaulan masyarakat terhadap mereka, belum lagi keterbatasan pengetahuan dan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas karena keterbatasan akses pada layanan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan. Perlakuan diskriminatif lainnya terlihat dalam ruang-ruang publik seperti fasilitas umum yang tidak representatif, maupun dalam ranah pendidikan dan juga lapangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Penyandang disabilitas khususnya perempuan sering kali diberi pelabelan negatif dalam lingkungan masyarakat. Mereka dianggap tidak mandiri, tidak bisa bekerja, tidak bisa bersosialisasi, bahkan ada yang menganggap bahwa mereka tidak bisa melakukan hubungan seksual hingga tidak pantas memiliki anak maupun menjadi seorang ibu. Tak bisa dipungkiri bahwa perempuan disabilitas memiliki beban ganda (double burden) yang disebabkan oleh kondisi kedisabilitasan serta diskriminasi karena seorang perempuan. Tak sampai disitu, perempuan disabilitas tidak hanya mendapat diskriminasi dari pihak laki-laki, mereka pun tak luput mendapatkan diskriminasi dari perempuan yang berkondisi normal. Kenyataan tersebut tentunya sangat memprihatinkan, padahal disabilitas bukanlah kehendak atau keinginan setiap orang. Kedudukan, martabat, dan harkat mereka setara dengan perempuan pada umumnya. Perempuan disabilitas juga bisa menjadi sosok yang dewasa yang dapat bersosialisasi, mereka juga membutuhkan pendidikan dan perawatan kesehatan, mereka dapat berpikir serta memiliki emosi, mereka juga membutuhkan kesempatan untuk mencari pekerjaan, mereka memiliki hasrat seksual, dan layak untuk menikah, melahirkan, dan memiliki anak.
Pelabelan negatif dapat menimbulkan perasaan rendah diri terhadap perempuan disabilitas. Hal ini terjadi kepada seorang perempuan disabilitas fisik di sekitar lingkungan rumah saya bernama Ani (22 tahun). Ketika saya tanya mengapa ia tidak ingin melanjutkan pendidikannya, saya dapat tarik kesimpulan bahwa Ani merasa malu terhadap fisiknya yang tidak sempurna, dan hal tersebut membuatnya takut mendengar perundungan yang dilontarkan orang lain terhadap fisiknya. Selain itu karena kondisi kedisabilitasan tersebut terdapat kurangnya motivasi dari pihak keluarga untuknya agar kembali mengakses pendidikan seperti perempuan seumurannya. Lumpuh secara fisik membuat keseharian Ani memang hanya di dalam rumahnya saja, keluarganya menganggap mereka tidak memiliki cukup waktu untuk terus mengurus bilamana Ani kembali beraktivitas untuk melanjutkan pendidikan maupun tidak mampu untuk membayar lebih biaya bilamana Ani homeschooling dikarenakan anggota keluarga lainnya juga harus bekerja untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari. Kenyataan tersebut seakan menunjukkan bahwa pemenuhan hak-hak bagi perempuan penyandang disabilitas masih belum membuahkan hasil sesuai yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan tahun ini juga saya menonton drama Korea berjudul Extraordinary Attorney Woo yang mengangkat topik penyandang disabilitas. Pemeran utamanya merupakan tokoh perempuan bernama Woo Young Woo seorang pengacara yang memiliki gangguan spektrum autisme. Dalam drama tersebut ada beberapa adegan yang seakan menunjukkan kritik terhadap masyarakat di kehidupan nyata yang masih memberi pelabelan negatif bagi perempuan penyandang disabilitas. Kita ambil salah satu contoh pada scene di mana pengacara-pengacara di kantor hukum Hanbada meragukan kemampuan dari tokoh Woo Young Woo setelah mengetahui bahwa perempuan itu memiliki gangguan spektrum autisme, namun karakterisasi Woo Young Woo yang digambarkan sebagai sosok genius tentunya dapat menunjukkan kemampuannya. Kita juga bisa ambil contoh scene pada saat Woo Young Woo menangani kasus pemerkosaan terhadap perempuan disabilitas. Keluarga korban mengaku bahwa anak perempuannya mendapatkan pelecehan seksual. Namun terdakwa mengklaim bahwa apa yang ia lakukan atas suka sama suka karena mereka merupakan sepasang kekasih. Hal tersebut tentunya menimbulkan huru-hara dalam persidangan.
ADVERTISEMENT
Dalam drama Korea Extraordinary Attorney Woo, kasus-kasus yang disuguhkan pun juga masih sangat relate dengan permasalahan kehidupan nyata. Selain itu kita juga dapat melihat perspektif dunia kerja dalam sudut pandang perempuan disabilitas, karena ada kalanya para penyandang disabilitas tidak ingin dan tidak membutuhkan belas kasihan, yang mereka butuhkan adalah kesempatan dan respect untuk mendapatkan hak-hak hidup seperti pada manusia umumnya.