Apakah Adopsi adalah Solusi Terbaik Menjaga Anak-anak Korban Bencana?

Sitti Hikmawatty
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia bidang Kesehatan.
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2018 13:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sitti Hikmawatty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah anak korban gempa bumi dan tsunami palu menaiki kapal KRI Makassar-590 untuk dievakuasi ke Makassar. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah anak korban gempa bumi dan tsunami palu menaiki kapal KRI Makassar-590 untuk dievakuasi ke Makassar. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pada keadaan KLB (Kejadian Luar Biasa) seperti akibat bencana alam, berupa gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan daerah sekitarnya di Provinsi Sulawesi Tengah yang lalu, membawa dampak terhadap lebih dari satu juta orang.
ADVERTISEMENT
Data tim pusat krisis Badan Nasional Penanggulangan Bencara per 3 Oktober 2018 menyebutkan sebanyak 1.832 orang meninggal dunia, 113 orang hilang, 152 orang tertimbun, 2.549 orang luka-luka dan 70.821 orang menjadi pengungsi akibat bencana di Sulawesi Tengah.
Dalam situasi bencana seperti ini, anak-anak akan menjadi kelompok yang paling rentan terhadap berbagai macam risiko yang mungkin terjadi. Untuk itu para pihak perlu melindungi anak dan menempatkan anak pada pengasuhan yang tepat.
Kita masih ingat, tak lama setelah kejadian bencana dan para relawan turun untuk memberikan uluran tangan, tiba-tiba beredar berita hoaks yang menyatakan bahwa ada sebuah yayasan yang menawarkan adopsi anak-anak korban gempa Palu. Sontak hal ini mendorong para dermawan bergegas untuk menawarkan diri menjadi orang tua adopsi.
ADVERTISEMENT
Beruntung berita hoaks itu bisa segera diklarifikasi oleh aparat, sehingga tidak memancing ekses yang lebih besar dan merugikan. Namun demikian, benarkah bahwa adopsi adalah solusi terbaik bagi anak-anak korban bencana tersebut ?
Menyikapi keadaan ini, maka semua pihak harus memastikan agar setiap anak bisa mendapatkan perlindungan dalam situasi bencana. Penting untuk mengingatkan bahwa bagaimanapun keadaanya, sesungguhnya situasi terbaik untuk anak-anak adalah bersama dengan keluarganya.
Pada awalnya, situasi bencana akan memancing ketakutan dan kepanikan yang memungkinkan anak terpisah dari orang tua ataupun keluarga mereka. Bahkan pada situasi pascakejadian, anak-anak seringkali belum dapat ditanya dengan jelas identitasnya, terutama anak-anak usia balita. Dalam situasi ini anak-anak sangat membutuhkan perlindungan dan pengasuhan sementara, di mana negara harus hadir dan mengambil tanggung jawab tersebut.
ADVERTISEMENT
Proses pengasuhan sementara oleh pihak-pihak yang ditunjuk pemerintah akan berlangsung, sejalan dengan upaya pencarian keluarga atau yang biasa disebut sebagai tracing family. Proses tracing family ini bisa berlangsung cepat, namun dapat pula berlangsung lama, bergantung pada banyak hal termasuk di dalamnya tingkat keparahan bencana yang terjadi.
Kementerian sosial dalam Surat Edaran Nomor 1 tahun 2018, yang ditanda tangani pada tanggal 1 Oktober 2018, menyebutkan 3 (tiga) pengertian anak korban bencana yakni: Anak terpisah (separated children) yaitu anak yang terpisah dari kedua orang tua, atau dari pengasuh utama sebelumnya, baik legal maupun berdasarkan adat, tetapi belum tentu terpisah dari kerabat lainnya;
ADVERTISEMENT
Anak yang sebatang kara (unaccompanied children/minors) adalah anak yang terpisah dari kedua orang tuanya dan kerabat lainnya, dan sedang tidak di bawah pengasuhan dari orang dewasa, yang berdasarkan peraturan perundangan atau adat, bertanggung jawab atas pengasuhan terhadap anak tersebut; Anak yatim-piatu (orphans) adalah anak yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 44 tahun 2017 tentang pelaksanaan pengasuhan anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pengasuhan Anak adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan demi kepentingan terbaik bagi Anak, adapun yang dimaksud dengan pengangkatan anak/adopsi adalah upaya mengangkat anak untuk dianggap sebagai anak sendiri.
Jika orang tua tidak ada, maka keluarga sampai dengan derajat ketiga yang berhak mengasuh. Setelah itu baru alternatif pengasuhan berbasis keluarga yang dilakukan oleh orang tua asuh, pengasuhan oleh wali, pengasuhan oleh orang tua angkat atau pengasuhan berbasis residensial yang kesemuanya perlu didaftarkan ke Dinas Sosial sebagaimana Peraturan Pemerintah tentang Teknis Pelaksanaan Pengasuhan.
ADVERTISEMENT
Proses ini penting dilakukan karena anak-anak adalah ahli waris yang sah dari orang tua. Jika orang tua meninggal, maka wali pengganti yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak-anak ini.
Pengangkatan anak diatur dalam PP No.54/2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak, Permensos no 110/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak, Perdirjen no.02/2012 tentang pedoman teknis prosedur pengangkatan anak.
Proses pengangkatan anak melalui Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (Tim PIPA) di Propinsi, hingga Mentri Sosial untuk orang tua WNA. Proses pengangkatan anak kurang lebih selama 2 tahun hal ini karena pemerintah ingin memastikan bahwa pengalihan pengasuhan anak secara permanen akan berlangsung dengan baik termasuk jika orang tua angkat nantinya tiada. Setelah disetujui Tim PIPA, maka Calon Orang Tua Asuh mendaftarkan di pengadilan.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan pengangkatan anak korban bencana di Palu, Sigi, Donggala, dan sekitarnya, masih terlalu dini untuk dilakukan mengingat bahwa saat ini masih dilakukan proses pendataan secara optimal yang nantinya diupayakan terjadinya penyatuan keluarga kembali (reunifikasi family).
Anak-anak yang mengalami keterpisahan dipastikan mendapat pengasuhan sementara yang tepat bagi anak-anak sesuai usianya. Setidaknya mereka memiliki tenggat waktu satu tahun untuk berada dalam pengasuhan sementara ini, sebelum nantinya berdasarkan assessment petugas, akan diputuskan hal terbaik sesuai kepentingan terbaik bagi anak tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada saat ini, kita semua perlu melindungi anak-anak dari pengalihan pengasuhan yang tidak tepat termasuk potensi kekerasan dan kejahatan terhadap anak, seperti eksploitas, penculikan, bahkan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Anak-anak korban gempa dan tsunami minta bantuan di pinggir jalan penghubung Kota Palu-Kota Donggala. (Foto: Mirsan Simamora/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak korban gempa dan tsunami minta bantuan di pinggir jalan penghubung Kota Palu-Kota Donggala. (Foto: Mirsan Simamora/kumparan)
Mengenai permasalahan dengan adopsi ini, KPAI mencatat beberapa permasalahan yang timbul kemudian atas upaya adopsi atau pengangkatan anak yaitu antara lain: penolakan anak pada fase remaja yang tidak siap menerima identitas mereka yang sebenarnya, kasus penelantaran anak angkat setelah orang tua angkatnya tersebut meninggal, bahkan terakhir ada dugaan anak angkat tersebut dibunuh karena motif memanfaatkan asuransi.
Yang terpenting dari sebuah proses pengangkatan anak ini ialah bahwa setiap anak memiliki hak untuk mengetahui asal-usul mereka, guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Negara sendiri memberikan jaminan melalui peraturan perundang-undangan yang ada agar anak-anak tersebut diupayakan dapat tetap diasuh oleh keluarganya dahulu hingga derajat ketiga, karena mempertimbangkan bahwa pengasuhan oleh lingkungan keluarga sendiri mestinya akan lebih baik.
Walaupun demikian jika terpaksa dilakukan upaya adopsi, maka Negara telah mencoba memfiltrasinya melalui serangkaian proses penjajakan yang diatur oleh undang-undang, agar posisi anak sedemikian rupa dapat terlindungi sesuai kepentingan terbaik mereka.