news-card-video
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Ujaran Kebencian & Hoaks: Bukti Generasi Muda Krisis Etika?

Mardi Darsono Situmorang
Mardi Situmorang / Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Program sutdy Manajemen Semster 6 UNIKA
16 Maret 2025 10:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mardi Darsono Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Mardi Darsono Situmorang
ilustrasi ujaran kebencian sumber gambar: canva
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi ujaran kebencian sumber gambar: canva
Di era digital yang semakin maju, ujaran kebencian dan hoaks semakin marak di media sosial, terutama di kalangan generasi muda. Media sosial yang seharusnya menjadi wadah untuk berbagi informasi, membangun jaringan, serta meningkatkan kreativitas dan inovasi, kini justru dipenuhi dengan konten negatif yang menyebar tanpa kendali.
ADVERTISEMENT
Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak pelaku dan penyebarnya berasal dari generasi muda. Perilaku kasar di dunia maya, mudahnya percaya pada informasi yang belum terverifikasi, serta kecenderungan untuk menyebarkan kebencian tanpa berpikir panjang menjadi gambaran nyata bagaimana etika dalam bermedia sosial mulai luntur.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah generasi muda sedang mengalami krisis etika dalam berkomunikasi di dunia digital?
1. Kebebasan Berpendapat yang Kebablasan
Kemajuan teknologi seharusnya membawa dampak positif, terutama dalam memberi kebebasan berekspresi bagi siapa saja. Namun, kebebasan ini justru sering disalahgunakan. Alih-alih digunakan untuk berdiskusi dengan sehat dan membangun, banyak anak muda justru menjadikan media sosial sebagai ajang menghina, menyebarkan kebencian.
Kritik yang seharusnya disampaikan secara objektif berubah menjadi serangan pribadi. Berbeda pendapat dianggap sebagai musuh, sehingga debat di media sosial lebih sering berujung pada pertengkaran dibandingkan pertukaran gagasan yang produktif. Fenomena "cancel culture" semakin marak, di mana seseorang bisa kehilangan reputasi hanya karena kesalahan kecil yang bahkan belum tentu benar. Ujaran kebencian bukanlah kebebasan berpendapat, melainkan ancaman bagi tatanan sosial jika tidak diiringi dengan tanggung jawab dan etika dalam berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
2. Hoaks: Ketika Generasi Muda Malas Memverifikasi Fakta
Di era digital, informasi semakin mudah diakses. Namun, alih-alih semakin cerdas dalam memilah berita, banyak anak muda justru semakin mudah tertipu oleh berita bohong atau hoaks.
Informasi yang mengandung unsur sensasional lebih cepat menyebar dibandingkan berita berbasis fakta. Banyak pengguna media sosial lebih suka membagikan informasi tanpa verifikasi hanya karena judulnya menarik atau sesuai dengan opini pribadi mereka
Misalnya, dalam isu politik, agama, atau kesehatan, sering kali hoaks tersebar dengan cepat dan menimbulkan kepanikan atau perpecahan di masyarakat. Literasi digital yang rendah menjadi salah satu faktor utama mengapa hoaks begitu mudah diterima dan disebarkan.
Jika hal ini terus berlanjut, kita akan menghadapi generasi yang mudah dimanipulasi dan tidak memiliki kemampuan berpikir kritis.
ADVERTISEMENT
3. Kurangnya Pendidikan Etika Digital di Kalangan Generasi Muda
Banyak orang beranggapan bahwa dunia maya adalah tempat yang bebas dan tidak memiliki konsekuensi nyata. Padahal, apa yang kita lakukan di internet tetap memiliki dampak sosial, psikologis, dan hukum.
Salah satu alasan mengapa ujaran kebencian dan hoaks begitu marak adalah minimnya pendidikan etika digital. Banyak anak muda yang menganggap bahwa menghina orang lain di media sosial adalah hal yang biasa.
Selain itu, banyak yang tidak menyadari bahwa tindakan mereka bisa memiliki konsekuensi hukum, seperti pelanggaran UU ITE. Pendidikan etika digital seharusnya menjadi bagian penting dalam kurikulum sekolah dan kampus agar generasi muda dapat menggunakan internet secara bertanggung jawab.
4. Dampak Nyata dari Krisis Etika Digital
ADVERTISEMENT
Jika fenomena ini terus berlanjut, dampaknya akan sangat besar. Beberapa dampak negatif yang sudah mulai terasa antara lain: Meningkatnya perpecahan sosial akibat penyebaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Menurunnya kepercayaan publik terhadap informasi karena banyaknya hoaks yang beredar. Dampak psikologis yang serius bagi korban perundungan siber (cyberbullying), yang bahkan bisa berujung pada depresi atau bunuh diri. Melemahnya daya pikir kritis karena masyarakat lebih suka menerima informasi secara instan tanpa melakukan verifikasi. Jika dibiarkan, kita akan kehilangan generasi yang memiliki nilai-nilai moral dan etika yang kuat. Generasi muda yang seharusnya menjadi pemimpin masa depan justru akan tumbuh dengan kebiasaan menyebarkan kebencian dan informasi yang tidak benar.
Kesimpulan: Saatnya Generasi Muda Berbenah!
ADVERTISEMENT
Generasi muda harus menyadari bahwa media sosial bukan hanya sekadar tempat untuk mengekspresikan diri, tetapi juga ruang publik yang harus digunakan secara bertanggung jawab. Ujaran kebencian dan hoaks bukan hanya sekadar "kesalahan kecil", tetapi masalah serius yang bisa berdampak luas pada kehidupan sosial. Medsos bukan tempat untuk menyebar kebencian, melainkan tempat untuk berbagi dan membangun. Pilihan ada di tangan kita: apakah kita ingin menjadi bagian dari solusi atau justru memperparah masalah?
Jika generasi muda tidak segera berbenah, maka kita akan menghadapi masa depan di mana kebencian dan kebohongan menjadi budaya yang normal. Jangan sampai generasi kita dikenang sebagai generasi yang kehilangan etika hanya karena tidak bisa bijak dalam bermedia sosial. Sudah saatnya kita berubah. Jangan biarkan kebebasan berpendapat berubah menjadi kebebasan menyakiti!
ADVERTISEMENT
Penulis Mahasiswa Manajemen Universitas Unika Santo Thomas