Saat Anak Berhadapan dengan Hukum (Berkaca dari Kasus Reynhard Sinaga)

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
Konten dari Pengguna
13 Januari 2020 8:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saat Anak Berhadapan dengan Hukum (Berkaca dari Kasus Reynhard Sinaga)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kasus pelecehan seksual terhadap 190 pria yang dilakukan oleh seorang Warga Negara Indonesia di Inggris awal tahun 2020 ini sedikit banyak membuat para orang tua khawatir. Sebagian merasa waswas jika anaknya menjadi korban predator seksual, sebagian merasa lebih takut lagi jika anak remajanya menjadi predator seksual seperti Reynhard Sinaga.
ADVERTISEMENT
Ketakutan para orang tua ini tidak berlebihan, mengingat isu kekerasan seksual dan penyimpangan seksual semakin umum dijumpai. Korban dan pelakunya pun semakin belia. Meskipun RS bukan lagi remaja (usianya sudah 36 tahun), namun statusnya sebagai mahasiswa dan belum menikah membuat kita turut berpikir bagaimana perasaan orang tuanya setelah RS dihukum 30 tahun penjara karena kasus perkosaan terbesar di Inggris.
Tentu kita tidak ingin anak yang sudah kita besarkan dengan susah payah harus berhadapan dengan hukum. Sayangnya, masa remaja merupakan masa di mana perkembangan otak anak belum sempurna. Pengambilan keputusan tidak melibatkan pertimbangan tentang konsekuensi di masa datang. Emosi yang lebih bergejolak, dorongan adrenalin, serta pentingnya pengakuan dari lingkungan pertemanan membuat anak remaja kerap melakukan hal yang dilarang. Pada sebagian kasus, hal tersebut membuat remaja harus berhadapan dengan hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam buku 1001 Cara Bicara Orang Tua dengan Remaja (download di sini) memberikan saran bagi orang tua ketika anaknya terpaksa berurusan dengan hukum.
1. Biarkan remaja merasakan ganjaran atas perbuatannya
Seberapapun khawatir orang tua pada proses hukum yang akan membuat anak takut dan sedih, mereka harus merelakan remaja untuk merasakan ganjaran atas perbuatannya. Walaupun nampak seperti musibah, namun anak akan belajar beberapa hal seperti lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan mempertimbangkan dampak dari perbuatannya, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.
2. Hindari mengambil alih tanggung jawab yang harus diterimanya
Orang tua mungkin memiliki relasi yang mungkin akan mampu membuat remaja terbebas dari hukuman. Mungkin juga orang tua memiliki cukup banyak uang untuk “membeli” hukum melalui oknum yang tidak memiliki integritas. Namun, remaja akan belajar bahwa hukum bisa dibeli, sehingga kali lain ia bisa saja mengulangi perbuatannya. Ia juga akan berpikir bahwa orang tuanya bisa melakukan apa pun untuk melindunginya, termasuk terhadap konsekuensi hukum yang berlaku. Remaja perlu mengetahui dengan konkrit akibat dari perbuatannya. Mengambil alih konsekuensi yang harus ia terima juga akan mencederai perasaan korban (jika ada).
ADVERTISEMENT
3. Tahan diri untuk tidak menyalahkan anak
Harus berurusan dengan hukum sudah menjadi ganjaran luar biasa yang harus ia terima. Tidak perlu menambah penyesalan dan kesedihannya dengan menyalahkannya. Melakukannya hanya akan membuat remaja merasa tidak ada yang dapat memahaminya, termasuk orang tuanya. Di kemudian hari, ia bisa mencari sosok lain yang ia percaya untuk bercerita tentang apa yang ia alami, namun bukan orang tuanya.
4. Tetap dampingi remaja
Bagaimanapun juga, remaja tetaplah anak yang masih memerlukan bimbingan dan kasih sayang orang tua. Hanya kasih sayanglah yang dapat melunakkan kerasnya hati. Jika selama ini hubungan orang tua dan anak remaja bermasalah, mungkin ini saatnya orang tua menunjukkan bahwa kasih sayang untuknya tanpa syarat. Tetap dampingi remaja menjalani proses hukum dan katakan bahwa kita ada untuknya.
ADVERTISEMENT
5. Tidak menunjukkan sikap memaklumi
Mendampinginya bukan berarti menunjukkan permakluman atas pelanggaran hukum yang dilakukannya. Tetap katakan pada anak bahwa apa yang ia lakukan adalah salah dan sebaiknya ia tidak mengulanginya lagi.
6. Menghubungi tenaga ahli jika perlu
Jika remaja mengalami hal-hal yang membutuhkan penanganan lebih lanjut, orang tua sebaiknya meminta bantuan pada tenaga ahli, seperti psikolog. Saat ini tenaga konselor/psikolog ada di tiap Puskemas di tingkat kecamatan atau Rumah Sakit Umum Daerah. Jika remaja mengalami masalah ketergantungan obat-obatan terlarang, orang tua sebaiknya segera menghubungi dokter atau Rumah Sakit spesialis untuk ketergantungan obat.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, jika orang tua yang merasakan tekanan atas kasus yang menimpa ananda, tidak ada salahnya berkonsultasi dengan psikolog. Anak yang berurusan dengan hukum, apalagi masih berusia remaja, merupakan pukulan besar bagi orang tua. Pastikan kesehatan fisik dan mental tetap terjaga.