Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Akta Perdamaian dalam Persidangan Pengadilan Agama
12 Maret 2025 17:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam dunia hukum, terutama di lingkungan Pengadilan Agama, tidak semua perkara harus berakhir dengan ketukan palu hakim yang memenangkan salah satu pihak. Ada mekanisme yang sering kali lebih damai dan menguntungkan kedua belah pihak, yaitu akta perdamaian. Sayangnya, banyak orang yang belum sepenuhnya memahami apa itu akta perdamaian dan bagaimana prosesnya berjalan. Padahal, jika dilihat lebih dalam, akta ini bisa menjadi solusi yang lebih baik daripada harus bertarung panjang di meja hijau.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, akta perdamaian adalah dokumen hukum yang berisi kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan mereka secara damai. Kesepakatan ini dibuat di hadapan hakim dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Artinya, begitu disepakati dan disahkan oleh pengadilan, isi akta ini tidak bisa dilanggar begitu saja. Dalam praktiknya, akta perdamaian sering kali muncul ketika para pihak merasa bahwa menyelesaikan sengketa dengan cara damai jauh lebih menguntungkan daripada terus berkonflik di pengadilan.
Dalam hukum Indonesia, mekanisme ini memiliki dasar yang jelas. Hakim dalam persidangan diwajibkan untuk terlebih dahulu mengupayakan perdamaian sebelum masuk ke dalam pokok perkara. Hal ini diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam Pasal 130 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 154 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg). Selain itu, dalam konteks peradilan agama, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengatur pentingnya penyelesaian damai di setiap tahap persidangan.
ADVERTISEMENT
Ada banyak alasan mengapa sebuah perkara bisa berujung pada akta perdamaian. Salah satunya adalah kesadaran dari para pihak bahwa bersikeras mempertahankan sengketa justru bisa lebih merugikan dibandingkan dengan berdamai. Proses peradilan sering kali menguras banyak hal, mulai dari waktu, tenaga, hingga biaya. Selain itu, konflik yang berkepanjangan juga bisa merusak hubungan sosial, apalagi jika sengketa terjadi di antara keluarga, saudara, atau rekan bisnis. Dengan adanya akta perdamaian, kedua belah pihak bisa mengatur ulang hubungan mereka tanpa perlu menunggu putusan yang mungkin saja tidak memuaskan salah satu pihak.
Sebelum sampai pada tahap akta perdamaian, ada beberapa rangkaian proses yang harus dilalui. Semuanya diawali dengan pendaftaran perkara di pengadilan. Begitu gugatan masuk dan persidangan dimulai, hakim akan mencoba mendamaikan para pihak. Jika upaya ini belum berhasil, pengadilan biasanya akan menunjuk seorang mediator yang bertugas untuk menjembatani komunikasi dan mencari solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. Proses mediasi ini sangat penting karena di sinilah sering kali terjadi perubahan sikap dan kesadaran bahwa penyelesaian damai lebih baik daripada melanjutkan sengketa.
ADVERTISEMENT
Jika melalui mediasi para pihak berhasil mencapai kesepakatan, maka isi kesepakatan tersebut akan dituangkan dalam sebuah dokumen yang disebut akta perdamaian. Isinya bisa bermacam-macam, tergantung pada jenis sengketa yang terjadi. Bisa berupa pengaturan hak dan kewajiban baru, kesepakatan mengenai pembagian aset, atau bahkan aturan mengenai bagaimana hubungan ke depan akan dijalankan. Setelah kesepakatan disusun, hakim akan meninjaunya dan jika dinilai adil serta tidak bertentangan dengan hukum, maka akta ini akan disahkan dan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
Salah satu hal yang membuat akta perdamaian menarik adalah fleksibilitasnya. Tidak seperti putusan hakim yang sering kali bersifat kaku dan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, kesepakatan dalam akta perdamaian lebih menyesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan para pihak. Hal ini membuat solusi yang diberikan lebih realistis dan bisa diterapkan dengan lebih baik. Namun, tentu saja, kesepakatan ini tetap harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Jika salah satu pihak melanggar isi akta, maka pihak lain bisa meminta pengadilan untuk menegakkannya, tanpa harus memulai proses gugatan dari awal.
ADVERTISEMENT
Akta perdamaian ini salah satu cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan agama tanpa harus melalui proses panjang yang melelahkan. Selain menghemat waktu dan biaya, perdamaian juga menjaga hubungan baik antar pihak yang bersengketa. Apalagi dalam perkara keluarga atau perniagaan, hubungan jangka panjang sering kali lebih berharga daripada kemenangan di pengadilan. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk terus berperkara, ada baiknya mempertimbangkan kembali apakah ada kemungkinan untuk berdamai. Karena dalam banyak kasus, menyelesaikan masalah dengan hati yang dingin jauh lebih baik daripada bertarung habis-habisan di meja hijau.