Konten dari Pengguna

Apakah Catcalling termasuk Ke dalam Kategori Pelecehan Seksual?

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8 Januari 2025 13:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2014/07/24/05/25/pedestrians-400811_1280.jpg (ilustrasi pejalan kaki)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2014/07/24/05/25/pedestrians-400811_1280.jpg (ilustrasi pejalan kaki)
ADVERTISEMENT
Bayangkan Anda sedang berjalan santai di trotoar, menikmati sore hari yang cerah. Tiba-tiba, seseorang yang tidak Anda kenal bersiul atau melontarkan komentar seperti, "Wah, manis banget sih!" atau "Hai, sendirian aja nih?". Apa yang Anda rasakan? Bagi sebagian orang, mungkin hanya jengkel. Tapi bagi banyak lainnya, momen ini bisa berubah menjadi pengalaman menakutkan. Inilah yang disebut catcalling, bentuk pelecehan verbal yang sering kali dianggap remeh, namun sebenarnya memiliki dampak mendalam.
ADVERTISEMENT
Catcalling bukan hanya soal komentar atau siulan di jalan. Ini adalah ekspresi kekuasaan yang mencerminkan ketimpangan gender di masyarakat. Lebih dari itu, tindakan ini juga melanggar hak seseorang untuk merasa aman dan dihormati di ruang publik. Saatnya kita memahami lebih dalam mengapa catcalling adalah masalah serius yang harus dihentikan.
Di Indonesia, catcalling masuk dalam kategori pelecehan seksual verbal. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara khusus mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk yang berbentuk verbal. Pasal 5 UU TPKS menyebutkan bahwa pelecehan seksual verbal adalah tindakan yang meliputi perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan menyerang martabat seseorang berdasarkan tubuh dan/atau fungsi reproduksinya.
Dengan adanya undang-undang ini, pelaku catcalling sebenarnya bisa dijerat hukum, bahkan terancam hukuman penjara hingga satu tahun atau denda maksimal Rp10 juta. Sayangnya, meskipun hukum sudah ada, pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi banyak tantangan, mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat hingga keberanian korban untuk melapor.
ADVERTISEMENT
Sering kali, catcalling dibela dengan alasan bahwa itu hanyalah "cara bercanda" atau "memberi pujian". Namun, benarkah pujian perlu membuat seseorang merasa tidak nyaman atau terancam? Esensi sebuah pujian adalah memberikan rasa bahagia, bukan ketakutan. Catcalling berbeda karena dilakukan tanpa persetujuan.
Saat seseorang melontarkan komentar atau siulan kepada orang asing di jalan, mereka tidak memikirkan apakah penerima tindakan tersebut merasa nyaman atau tidak. Ini adalah tindakan sepihak yang mengobjektifikasi tubuh orang lain dan menunjukkan kurangnya rasa hormat terhadap batasan pribadi. Dalam konteks sosial, catcalling juga memperkuat stereotip gender yang merugikan, karena menggambarkan tubuh perempuan atau siapa pun yang menjadi target sebagai objek yang bebas dikomentari.
Banyak yang menganggap catcalling sebagai hal kecil, tetapi dampaknya bisa bertahan lama. Korban sering kali merasa ketakutan dan tidak aman. Catcalling menciptakan rasa cemas, terutama jika terjadi di tempat yang sepi atau gelap. Korban juga sering merasa marah dan tak berdaya karena sulit melawan pelaku tanpa risiko eskalasi situasi. Pengalaman ini dapat membekas, membuat korban menghindari ruang publik tertentu atau merasa rendah diri. Dalam beberapa kasus, trauma psikologis akibat pelecehan verbal seperti ini bahkan memengaruhi kesehatan mental secara lebih luas, menciptakan perasaan rendah diri dan gangguan kecemasan.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa alasan mengapa catcalling tetap ada di masyarakat. Salah satunya adalah budaya patriarki yang kuat, di mana norma sosial menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Di sisi lain, banyak orang tidak menyadari bahwa catcalling adalah pelecehan, bukan tindakan yang bisa diterima.
Kurangnya kesadaran ini diperparah dengan normalisasi di media, seperti dalam film atau iklan yang menggambarkan catcalling sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan romantis. Representasi ini memperkuat anggapan bahwa catcalling adalah bagian normal dari interaksi sosial. Selain itu, pelaku sering kali tidak menyadari dampak tindakannya. Mereka mungkin menganggap siulan atau komentar sebagai hal kecil tanpa menyadari bahwa itu dapat menciptakan rasa takut atau tidak aman bagi korban.
Untuk menghentikan catcalling, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak. Edukasi publik menjadi langkah penting. Kampanye kesadaran tentang dampak catcalling perlu digencarkan, baik melalui media, sekolah, maupun komunitas. Selain itu, penegakan hukum juga harus lebih aktif. Pihak berwenang perlu memastikan bahwa undang-undang yang sudah ada benar-benar diterapkan, sehingga memberikan efek jera kepada pelaku.
ADVERTISEMENT
Korban juga perlu didukung dengan menyediakan ruang aman untuk melapor tanpa takut disalahkan atau dihakimi. Dukungan ini dapat berupa layanan konseling yang membantu korban mengatasi trauma mereka. Di tingkat individu, setiap orang memiliki peran dalam menghentikan catcalling. Misalnya, dengan menegur pelaku atau mendukung korban agar merasa aman. Mengubah cara pandang masyarakat terhadap gender dan kesetaraan juga sangat penting sebagai langkah jangka panjang.
Catcalling bukanlah sesuatu yang harus diterima sebagai "bagian dari kehidupan". Di luar Indonesia, banyak negara telah mengambil langkah konkret untuk menanganinya. Misalnya, Prancis mengesahkan undang-undang yang mengkriminalisasi catcalling di ruang publik pada tahun 2018. Pelaku dapat dikenakan denda langsung di tempat, sebuah pendekatan yang efektif dalam memberikan efek jera. Organisasi internasional seperti UN Women juga aktif mempromosikan kampanye anti-catcalling, termasuk melalui program "Safe Cities and Safe Public Spaces" yang bertujuan menciptakan ruang publik yang bebas dari kekerasan berbasis gender.
ADVERTISEMENT
Catcalling adalah pelecehan yang melanggar batasan pribadi dan menciptakan ketidakadilan. Dengan memahami dampaknya, memperkuat hukum, dan mengedukasi masyarakat, kita bisa menciptakan ruang publik yang lebih aman bagi semua orang. Karena pada akhirnya, setiap orang berhak merasa nyaman dan dihormati, baik di jalanan maupun di ruang publik lainnya. Mari hentikan catcalling, mulai dari diri kita sendiri.