Konten dari Pengguna

Apakah Membentak Termasuk Kekerasan Pada Anak?

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum, UIN Jakarta
3 Mei 2025 17:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/04/18/09/47/child-5058511_1280.jpg (Ilustrasi anak menggenggam tangan ayahnya)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/04/18/09/47/child-5058511_1280.jpg (Ilustrasi anak menggenggam tangan ayahnya)
ADVERTISEMENT
Banyak rumah di Indonesia masih menganggap membentak anak sebagai hal biasa. Namun, dari sudut pandang hukum dan psikologi, membentak bisa dianggap sebagai bentuk kekerasan verbal terhadap anak. Hukumnya ada, bukan hanya perasaan. Sayangnya, masyarakat tidak memiliki pemahaman yang lengkap tentang ini.
ADVERTISEMENT
Menyampaikan kemarahan dengan suara tinggi, intonasi keras, dan sering kali disertai dengan kata-kata kasar atau ancaman dikenal sebagai pembentak. Dampaknya masih kuat meskipun tidak pernah terjadi secara langsung. Anak-anak dapat mengalami trauma jangka panjang, ketakutan, intimidasi, dan kehilangan rasa aman.
Psikolog anak setuju bahwa kekerasan verbal seperti membentak dapat mengurangi kepercayaan diri anak, membuat mereka merasa tidak berharga, dan menanamkan pandangan negatif tentang diri mereka sendiri. Itu lebih buruk daripada kekerasan fisik.
Perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak di Indonesia menjelaskan bahwa kekerasan terhadap anak bukan hanya kekerasan fisik.
Pasal 1 Ayat (15a) menyebutkan:
ADVERTISEMENT
Artinya, kekerasan terhadap anak termasuk jika bentakan itu menyebabkan penderitaan psikis, terutama jika dilakukan secara teratur hingga anak merasa takut, cemas, atau terganggu secara mental.
Selain itu, Pasal 76C menyebut:
Dan sanksinya dijelaskan dalam Pasal 80 Ayat (1):
Kekerasan yang menyebabkan kematian atau luka berat dapat memiliki hukuman yang jauh lebih berat. Oleh karena itu, kekerasan menurut hukum masih dapat dikategorikan bahkan jika hanya "suara".
Banyak orang percaya bahwa akibat kekerasan harus meninggalkan bekas fisik. Namun, bukti psikis juga dapat diterima secara hukum. Kekerasan dapat menunjukkan anak mengalami trauma, stres, atau masalah psikologis lainnya sebagai akibat dibentak.
ADVERTISEMENT
Keterangan saksi, rekaman suara, dan laporan psikolog dapat digunakan dalam persidangan. Jadi, tidak hanya persoalan apakah anak itu dipukul atau tidak; orang yang memukul anak juga dapat didakwa secara hukum jika tindakannya benar-benar membahayakan kesehatan mental anak.
KPAI berkali-kali menyatakan bahwa membentak termasuk kekerasan verbal, dan anak-anak berhak dilindungi dari kekerasan apa pun, termasuk kekerasan emosional. Bahkan mereka mengatakan bahwa pola komunikasi yang tidak sehat adalah sumber banyak laporan kekerasan dalam rumah tangga, salah satunya karena bentakan dan hinaan terus-menerus terhadap anak.
Anak-anak harus diarahkan dan didisiplinkan, tetapi tidak dengan cara membentak mereka. Meskipun undang-undang mengakui hak orang tua untuk mendidik anak mereka, hal itu dilakukan dalam batas-batas perlindungan dan penghormatan terhadap hak anak.
ADVERTISEMENT
Metode yang lebih cocok adalah:
Bukan berarti orang tua tidak boleh marah; namun, marah bukan alasan untuk melakukan kekerasan fisik atau verbal. Semua emosi dapat dikomunikasikan tanpa membentak atau menyakiti.
Oleh karena itu, sesuai dengan UU Perlindungan Anak Indonesia, membentak anak dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap anak. Ini bukan lagi masalah metode pendidikan; itu lebih tentang hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang fisik dan mental aman.
Kita harus mulai dengan berbicara kepada anak-anak kita jika kita ingin mereka tumbuh menjadi individu yang kuat, stabil, dan sehat secara mental. Bagi anak-anak, bentakan bisa menjadi luka yang tak terlihat dan membekas seumur hidup.
ADVERTISEMENT