Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Apakah Memberi Tanda Ucapan Termasuk Gratifikasi?
29 Januari 2025 14:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sosial, memberi tanda ucapan, seperti parsel, hampers, atau sekadar kartu ucapan sudah menjadi tradisi yang melekat di masyarakat kita. Setiap momen spesial, baik itu hari raya, ulang tahun, pernikahan, atau bahkan saat seseorang mendapat promosi jabatan, pasti ada saja bentuk perhatian dari kolega, rekan bisnis, atau bahkan bawahan. Tapi di tengah ketatnya aturan mengenai gratifikasi, muncul pertanyaan: apakah tanda ucapan semacam ini bisa dikategorikan sebagai gratifikasi?
ADVERTISEMENT
Kalau kita berbicara dari sisi moral, memberi hadiah sebagai bentuk apresiasi atau sekadar menjaga hubungan baik memang terkesan wajar. Namun, dari sudut pandang hukum, ini bisa menjadi wilayah abu-abu. Dalam konteks aparatur negara atau pejabat publik, setiap pemberian dalam bentuk apa pun yang berpotensi mempengaruhi keputusan atau kebijakan bisa masuk ke ranah gratifikasi.
Gratifikasi sendiri secara hukum didefinisikan dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pemberian dalam arti luas, yang mencakup pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, akomodasi, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Dalam konteks pejabat publik, setiap penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dianggap sebagai suap apabila tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari kerja sejak diterima.
ADVERTISEMENT
Kalau pemberian tersebut murni sebagai bentuk perhatian tanpa maksud tertentu, maka kecil kemungkinannya dianggap gratifikasi. Tetapi, jika ada niat tersembunyi, misalnya pemberian datang dari seorang pengusaha yang sedang mengerjakan proyek di instansi si penerima, maka bisa jadi ada unsur kepentingan di dalamnya. Misalnya, seorang pegawai di lembaga pemerintahan menerima hampers mewah dari seorang kontraktor yang sedang berurusan dengan instansinya. Bisa saja ini dianggap sebagai bentuk ucapan selamat hari raya, tapi bisa juga dilihat sebagai cara halus untuk membangun kedekatan atau bahkan mempengaruhi keputusan yang akan diambil pegawai tersebut. Inilah yang sering kali menjadi persoalan dalam kasus gratifikasi.
Sebagian orang beranggapan bahwa masalahnya bukan pada hadiah itu sendiri, tapi lebih ke nilai dari hadiah tersebut. Kalau cuma kartu ucapan atau makanan ringan, mungkin tidak akan dipermasalahkan. Tapi kalau hadiahnya barang mewah seperti gadget, jam tangan mahal, atau bahkan uang dalam bentuk angpao, jelas ini sudah masuk ke ranah gratifikasi. Di beberapa perusahaan dan instansi pemerintahan, bahkan ada aturan tertulis tentang batasan nilai hadiah yang bisa diterima tanpa harus dilaporkan. Misalnya, ada yang membatasi hanya sampai nominal tertentu agar tidak menimbulkan konflik kepentingan. Jika melewati batas tersebut, maka harus segera dilaporkan dan dikembalikan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, budaya memberi memang sudah mendarah daging. Menolak hadiah sering kali dianggap tidak sopan atau bahkan bisa menyinggung perasaan si pemberi. Ini yang membuat aturan soal gratifikasi menjadi tantangan tersendiri. Tidak sedikit pejabat atau pegawai yang merasa serba salah: kalau menerima, takut dianggap melanggar aturan; kalau menolak, takut dianggap tidak menghargai pemberi. Namun, semakin ke sini, kesadaran akan bahaya gratifikasi juga mulai meningkat. Banyak pejabat atau pegawai yang memilih untuk menolak pemberian yang berpotensi bermasalah. Bahkan, beberapa instansi sudah terang-terangan mengeluarkan imbauan agar para pegawai tidak menerima parsel atau hadiah dalam bentuk apa pun. Hal ini dilakukan demi menjaga profesionalitas dan menghindari konflik kepentingan di kemudian hari.
Tidak bisa dipungkiri, ada juga yang memanfaatkan budaya memberi ini sebagai celah untuk menyamarkan bentuk suap. Modusnya bermacam-macam, misalnya pengusaha yang mengirim hampers dengan isi barang mewah kepada pejabat dengan harapan proyeknya berjalan lancar. Atau seorang bawahan yang memberikan hadiah kepada atasannya supaya mendapatkan promosi jabatan lebih cepat. Ini adalah contoh nyata bagaimana sesuatu yang tampak sepele bisa berubah menjadi tindakan yang melanggar hukum.
ADVERTISEMENT
Kasus semacam ini pernah terjadi di beberapa instansi, di mana pemberian hadiah kecil-kecilan berujung pada gratifikasi yang lebih besar. Dari yang awalnya hanya hampers, bisa berkembang menjadi fasilitas perjalanan, tiket liburan, hingga pemberian uang dalam jumlah besar. Oleh karena itu, aturan soal gratifikasi dibuat bukan untuk mempersulit, tetapi untuk menjaga agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dalam sebuah institusi.
Masalah gratifikasi bukan hal sepele aja, tapi juga soal kesadaran diri. Baik pemberi maupun penerima harus memahami batasannya. Kalau memang niatnya sekadar memberi ucapan, mungkin cukup dengan kartu atau makanan ringan yang tidak memiliki nilai ekonomi tinggi. Sebaliknya, kalau seseorang menerima sesuatu yang mencurigakan, lebih baik segera melaporkan atau mengembalikannya.
Sebagai masyarakat, kita juga perlu lebih peka terhadap hal ini. Jangan sampai budaya saling memberi yang seharusnya menjadi bentuk penghormatan justru berubah menjadi praktik yang melanggengkan gratifikasi. Semua kembali pada niat dan transparansi. Kalau kita bisa memastikan bahwa pemberian tersebut tidak bertujuan untuk mempengaruhi keputusan atau mendapatkan keuntungan pribadi, maka kemungkinan besar itu bukan gratifikasi. Namun, kalau ada unsur kepentingan tertentu di dalamnya, maka lebih baik dihindari. Jangan sampai sesuatu yang terlihat kecil justru membuka pintu bagi praktik korupsi yang lebih besar. Karena, seperti yang sering kita dengar, korupsi itu tidak selalu dimulai dari tindakan besar, tapi bisa dari hal-hal sepele seperti tanda ucapan yang disalahgunakan.
ADVERTISEMENT